Belajar Menjadi Pewarta Warga
BEBERAPA kali saya pernah menulis mengenai citizen journalism atau jurnalisme warga di Harian Kompas. Antara lain saya menulis mengenai koran online Ohmy News di Korea Selatan dan blog Stomper milik The Straits Times, Singapura. Kedua koran online itu memuat berita yang semuanya ditulis oleh warga biasa. Saya mengistilahkannya sebagai citizen journalist atau pewarta warga.
Saya adalah wartawan profesional harian Kompas, yang kini diminta menangani masalah komunitas di Kompas.com. Saya bekerja berdasarkan etika jurnalis secara umum yang biasa disebut kode etik wartawan. Saya juga diikat oleh etika secara khusus dari Kompas, yang jauh lebih ketat dibanding kode etik wartawan pada umumnya.
Sebagai warga yang sedang tidak bekerja (karena hak libur), saya tetap memasang mata dan telinga. Kemanapun saya pergi, saya tidak lepas dari ponsel internet multimedia. Alat mungil ini bisa untuk merekam video selama satu jam lebih, mengambil gambar foto, merekam suara, menulis di office word dan mengirimkannya ke redaksi via internet. Sedangkan palmtop saya simpan di tas atau mobil.
Dengan cara ini, saya berkesempatan menjadi pewarta warga, yang bisa memberitakan sebuah peristiwa dengan gaya sesuka saya, asalkan tidak bohong. Beritanya memang "ecek-ecek" yang tidak mungkin dimuat di media massa mainstream. Maka saat di halaman parkir sebuah mal saya melihat sesuatu yang "aneh". Saya pun langsung saja membuat berita dan memberi judul berita itu sesuka saya, "Egois". Begini beritanya:
EGOIS
PADA hari Minggu, 22 Juni 2008 lalu, saya bersama keluarga mengunjungi Pondok Indah Mal (PIM), sebuah mal yang cukup megah di Jakarta Selatan. Karena hari libur, banyak orang berkunjung sehingga tempat parkir pun semuanya terisi. Di tempat parkir tidak ada indikator elektronik yang menunjukkan berapa lagi tempar parkir yang kosong, sehingga pengemudi harus berulang-ulang mengelilingi halaman parkir dengan harapan ada satu tempat parkir kosong.
Namun, alangkah jengkelnya hati saat saya melihat sebuah sedan hitam memarkir kendaraannya di dua tempat parkir sekaligus. Artinya, seperempat badan mobil berada di tempar parkir mobil orang lain. Tentu saja hak satu mobil untuk parkir terampas secara egois oleh orang itu.
Tidak ada kata lain selain menyebut pengemudi sedan hitam itu sebagai "egois". Saya bisa saja menyebutnya "kurang ajar", "tidak berpendidikan", "asosial", atau bahkan "sinting". Saya cukup memakai kata "egois" saja, sebab kalau empat predikat tadi saya gunakan, saya kuatir dikira orang jenius karena tebakan saya tepat.
Saya keluarkan kamera ponsel saya. Lalu saya jepret saja tanpa rasa takut ditegur satpam, toh saya seorang pewarta warga. Bukti hasil foto itu saya tampilkan di sini, tanpa ada montase atau sesuatu yang disembunyikan. Nomor polisi, warna dan jenis mobil bisa dilihat dengan jelas.
Jika nanti si pemilik mobil mewah itu marah dan mencak-mencak karena merasa dipermalukan, Anda boleh bilang saya memang seorang jenius karena perkiraan bahwa orang itu "kurang ajar", "tidak berpendidikan", "asosial", dan "sinting", menjadi terbukti dengan sendirinya. Ya iyalah.... sudah salah masih marah-marah! (PEPIH NUGRAHA)
Tuesday, June 24, 2008
Citizen Journalism (12)
Diposting oleh Pepih Nugraha di 1:43 PM
Label: Citizen Journalism, parkir
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
4 comments:
bos, saya comot ya gambarnya. mohon izin nih. thx. :)
Oke, boss... silakan!
Gimana nih.., boleh kerjasama pelatihan menulis buat Mahasiswa? Terima Kasih.
Seperti yang saya tulis di Selayang Info, silakan mas Sukron kirim proposalnya via email saya, pepih_nugraha@yahoo.com. Tim Diklat Kompas nanti memverifikasi dulu kepersetaan dan materi yang ingin dikembangkan.
Post a Comment