Menulis Tajuk Rencana
SEKALI lagi tentang Ambon. Di sini saya ingin sekadar berbagi bagaimana sebuah isu “sepele”, yakni tidak sampainya para pejabat teras ke warga dan hanya mencari aman di bandara, menjadi perspektif lain ketika isu berada di level redaktur, redaktur pelaksana, pemimpin redaksi dan bahkan pemilik koran. Ia menjadi kajian menarik untuk ditampilkan di Tajuk Rencana.
Tajuk Rencana hanyalah sebuah nama, yang tidak lain dari editorial. Sebuah editorial adalah pendapat “pribadi” institusi koran itu sendiri. Media massa lain boleh menentukan sudut pandangnya sendiri-sendiri. Namun editorial tidak semata-mata menonjolkan sisi pribadi si koran secara membabi buta tanpa bersedia mendengar atau melihat reaksi khalayak. Itu arogan namanya. Ia adalah suara hati si koran yang mewakili kepentingan khalayak pembacanya. Untuk itulah dia selalu menyebut dirinya "kita", bukan "saya".
Kepada siapa editorial ditujukan? Kepada semua pihak: dari rakyat sampai pejabat, mulai pemerintah sampai yang diperintah. Tidak melulu kritik pedas, tajam, dan vulgar, tetapi juga bisa sindiran halus sampai usulan, imbauan, dan alternatif solusi atas sebuah permasalahan. Karena dibaca oleh beragam khalayak, ia harus menggunakan bahasa sederhana, kalimat pendek dan pokok pikiran yang jelas. Tidak sembarang orang bisa membuat Tajuk Rencana. Ia adalah hak istimewa para petinggi, penentu kebijakan, dan bahkan pemilik koran.
Dalam konteks inilah, betapa isu sederhana yang saya tangkap di lapangan lantas dikemas menjadi persoalan yang lebih besar lagi dari sekadar tidak punya nyalinya para pejabat, tetapi bersangkut paut dengan kepemimpinan (leadership). Di Ambom, saya tidak menangkap perluasan isu ini. Di Jakarta, para pemimpin redaksi memformulasikannya dalam sebuah Tajuk Rencana yang bisa sahabat baca di bawah ini.
Mungkin terlalu panjang dan melelahkan untuk dibaca, tetapi Tajuk Rencana yang dimuat hari Jumat 30 April 2004 itu memberi pelajaran tersendiri khususnya bagi sahabat yang menggeluti dunia tulis menulis dan jurnalistik. Silakan….
Tajuk Rencana
Pejabat Itu Belum Tentu Pemimpin
BETAPA bingungnya kita mencari yang namanya pemimpin. Banyak orang yang akhir-akhir ini mengaku dirinya sebagai pemimpin dan merasa pantas untuk menjadi pemimpin bangsa. Namun, kita ragu mana di antara mereka yang benar-benar seorang pemimpin.
Kita memang memiliki banyak pejabat, tetapi tidak banyak yang mempunyai kualifikasi pemimpin. Menjadi pemimpin sangatlah tidak mudah. Kualitas pemimpin diuji ketika ada sebuah persoalan besar. Di sanalah kita bisa melihat bagaimana pola tindak dan cara seseorang memecahkan persoalan itu.
Seorang pemimpin sejati tidak mengenal rasa gentar. Ia akan selalu berusaha dekat dengan rakyatnya. Ia akan berusaha mendengarkan apa kata rakyatnya dan mencoba menghibur ketika mereka berada dalam kesulitan.
Menjadi pemimpin sudah barang tentu memiliki banyak risiko. Termasuk risiko akan keselamatan jiwanya. Namun, sekali lagi, itulah ukuran sesungguhnya dari yang namanya seorang pemimpin.
Pemimpin sangat dibutuhkan pada saat sulit, bukan pada saat situasi normal. Ketika sedang "bulan purnama", siapa pun pasti bisa bertindak seperti seorang pemimpin. Untuk itulah kita mengenal ungkapan noblesse oblige. Bahwa kehormatan itu menuntut tanggung jawab. Keharuman dan privilese sebagai seorang pejabat harus dibayar dengan kemauan untuk memikul tanggung jawab.
Semua uraian itu kita sampaikan untuk menilai apa yang dilakukan pejabat di jajaran politik dan keamanan. Kita ikuti para pejabat polkam terbang ke Ambon untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di kota itu.
Namun, karena alasan keamanan, para pejabat itu tidak masuk ke Kota Ambon untuk melihat rakyatnya yang menderita. Mereka hanya berkumpul di Bandara Pattimura dan menggelar rapat dengan pejabat daerah di tempat itu.
Setelah merasa mendapat informasi yang cukup, para pejabat itu terbang kembali ke Jakarta. Bahan rapat itulah yang dipakai sebagai dasar pembahasan dalam sidang kabinet hari Kamis kemarin. Kita tidak menutup mata bahwa kondisi di Ambon sangat tidak aman. Kita ikuti sejak hari Minggu, setelah peringatan hari ulang tahun Republik Maluku Selatan (RMS), terjadi bentrokan antara kelompok RMS dan anti-RMS. Bentrokan meluas sampai saat ini di mana terjadi baku bunuh, pembakaran rumah dan gedung, sehingga lebih dari 32 orang dilaporkan tewas.
Akibat bentrokan yang berkembang meluas itu, rakyat Ambon sangat menderita. Mereka seperti dibawa kembali ke masa tahun 1999, di mana mereka hidup dalam kekerasan. Nyawa begitu mudah melayang dan warga dari satu rumpun itu harus hidup terpisah-pisah.
Mereka sangat mengharapkan adanya uluran tangan untuk membuat hidup mereka terlepas dari penderitaan. Masyarakat Ambon sangat mendambakan sentuhan nyata dari pemimpinnya. Pemimpin yang diharapkan itu memang sudah datang ke kota mereka, namun ternyata pemimpin itu tidak menyentuh mereka.
Kita sungguh menyayangkan para pejabat di jajaran polkam itu tidak masuk ke Kota Ambon, melihat langsung kehidupan warga bangsa yang sedang berada dalam kesulitan. Alasan keamanan sungguh bukan sebuah alasan yang bisa kita terima.
Sebagai pejabat tinggi di jajaran politik dan keamanan, bukankah tugas mereka untuk menciptakan keamanan bagi masyarakat. Kalau untuk dirinya sendiri saja mereka tidak mampu menciptakan keamanan, lalu bagaimana masyarakat bisa mengharapkan para pejabat itu menciptakan keamanan bagi seluruh rakyat.
Sungguh kita tidak habis mengerti mengapa para pejabat polkam itu tidak memaksa aparatnya di daerah untuk membuka kesempatan melihat langsung apa yang terjadi di kota itu. Untuk mengetahui seperti apa penderitaan yang dihadapi rakyat di sana.
Bagaimana seorang pemimpin tega membiarkan rakyat menderita, membiarkan rakyat tidak berdaya. Tindakan tidak melihat dan meninggalkan rakyat menderita begitu saja sungguh tidak menunjukkan sikap kesetiakawanan.
Menghadapi risiko merupakan pilihan seorang pemimpin. Kita boleh tidak suka kepada Soeharto, tetapi kita melihat bahwa ia adalah seorang pemimpin.
Kita tentunya belum lupa ketika ia terbang ke Bosnia, saat negeri itu sedang bergejolak. Sebagai Ketua Gerakan Non-Blok ia merasa bertanggung jawab untuk memberikan dukungan moral kepada rakyat di sana.
Pasukan Keamanan PBB merasa keberatan Presiden Soeharto masuk Kota Sarajevo karena banyak penembak gelap di sana. Tetapi Pak Harto memaksa untuk tetap masuk dan bahkan merasa tidak perlu menggunakan jaket antipeluru. Selama enam jam Presiden Soeharto berada di Sarajevo dengan menggunakan kendaraan lapis baja.
Kita lihat juga bagaimana Presiden AS George Walker Bush mengambil risiko untuk terbang ke Baghdad. Semua orang tahu bahwa kota itu sangat berbahaya bagi seorang pemimpin Amerika. Namun, ia tetap datang untuk merayakan Thanksgiving Day dengan para prajurit yang sedang bertugas di Irak.
Tidak salah kalau dikatakan negeri ini memang tidak memiliki pemimpin. Kita kekurangan pejabat yang mempunyai kepekaan atas penderitaan yang sedang dialami oleh warga bangsanya.
Semua orang berebut menuju kursi kekuasaan. Semua orang berusaha untuk bisa menjadi pejabat. Tetapi untuk apa semua itu? Hanya untuk dinikmati! Kekuasaan dan pangkat hanya dipakai untuk kesenangan pribadi. Bukan untuk pengabdian kepada bangsa dan negara.
Kita sangat prihatin dengan nasib yang dialami saudara-saudara kita yang tinggal di Ambon. Sepertinya kita tidak bisa hanya mengharapkan kepada elite politik. Kita, masyarakat, sendiri harus ikut menyelamatkan mereka. Caranya yang paling sederhana, tidak ikut memperkeruh suasana, tetapi ikut mendengungkan kedamaian.
SEKALI lagi tentang Ambon. Di sini saya ingin sekadar berbagi bagaimana sebuah isu “sepele”, yakni tidak sampainya para pejabat teras ke warga dan hanya mencari aman di bandara, menjadi perspektif lain ketika isu berada di level redaktur, redaktur pelaksana, pemimpin redaksi dan bahkan pemilik koran. Ia menjadi kajian menarik untuk ditampilkan di Tajuk Rencana.
Tajuk Rencana hanyalah sebuah nama, yang tidak lain dari editorial. Sebuah editorial adalah pendapat “pribadi” institusi koran itu sendiri. Media massa lain boleh menentukan sudut pandangnya sendiri-sendiri. Namun editorial tidak semata-mata menonjolkan sisi pribadi si koran secara membabi buta tanpa bersedia mendengar atau melihat reaksi khalayak. Itu arogan namanya. Ia adalah suara hati si koran yang mewakili kepentingan khalayak pembacanya. Untuk itulah dia selalu menyebut dirinya "kita", bukan "saya".
Kepada siapa editorial ditujukan? Kepada semua pihak: dari rakyat sampai pejabat, mulai pemerintah sampai yang diperintah. Tidak melulu kritik pedas, tajam, dan vulgar, tetapi juga bisa sindiran halus sampai usulan, imbauan, dan alternatif solusi atas sebuah permasalahan. Karena dibaca oleh beragam khalayak, ia harus menggunakan bahasa sederhana, kalimat pendek dan pokok pikiran yang jelas. Tidak sembarang orang bisa membuat Tajuk Rencana. Ia adalah hak istimewa para petinggi, penentu kebijakan, dan bahkan pemilik koran.
Dalam konteks inilah, betapa isu sederhana yang saya tangkap di lapangan lantas dikemas menjadi persoalan yang lebih besar lagi dari sekadar tidak punya nyalinya para pejabat, tetapi bersangkut paut dengan kepemimpinan (leadership). Di Ambom, saya tidak menangkap perluasan isu ini. Di Jakarta, para pemimpin redaksi memformulasikannya dalam sebuah Tajuk Rencana yang bisa sahabat baca di bawah ini.
Mungkin terlalu panjang dan melelahkan untuk dibaca, tetapi Tajuk Rencana yang dimuat hari Jumat 30 April 2004 itu memberi pelajaran tersendiri khususnya bagi sahabat yang menggeluti dunia tulis menulis dan jurnalistik. Silakan….
Tajuk Rencana
Pejabat Itu Belum Tentu Pemimpin
BETAPA bingungnya kita mencari yang namanya pemimpin. Banyak orang yang akhir-akhir ini mengaku dirinya sebagai pemimpin dan merasa pantas untuk menjadi pemimpin bangsa. Namun, kita ragu mana di antara mereka yang benar-benar seorang pemimpin.
Kita memang memiliki banyak pejabat, tetapi tidak banyak yang mempunyai kualifikasi pemimpin. Menjadi pemimpin sangatlah tidak mudah. Kualitas pemimpin diuji ketika ada sebuah persoalan besar. Di sanalah kita bisa melihat bagaimana pola tindak dan cara seseorang memecahkan persoalan itu.
Seorang pemimpin sejati tidak mengenal rasa gentar. Ia akan selalu berusaha dekat dengan rakyatnya. Ia akan berusaha mendengarkan apa kata rakyatnya dan mencoba menghibur ketika mereka berada dalam kesulitan.
Menjadi pemimpin sudah barang tentu memiliki banyak risiko. Termasuk risiko akan keselamatan jiwanya. Namun, sekali lagi, itulah ukuran sesungguhnya dari yang namanya seorang pemimpin.
Pemimpin sangat dibutuhkan pada saat sulit, bukan pada saat situasi normal. Ketika sedang "bulan purnama", siapa pun pasti bisa bertindak seperti seorang pemimpin. Untuk itulah kita mengenal ungkapan noblesse oblige. Bahwa kehormatan itu menuntut tanggung jawab. Keharuman dan privilese sebagai seorang pejabat harus dibayar dengan kemauan untuk memikul tanggung jawab.
Semua uraian itu kita sampaikan untuk menilai apa yang dilakukan pejabat di jajaran politik dan keamanan. Kita ikuti para pejabat polkam terbang ke Ambon untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di kota itu.
Namun, karena alasan keamanan, para pejabat itu tidak masuk ke Kota Ambon untuk melihat rakyatnya yang menderita. Mereka hanya berkumpul di Bandara Pattimura dan menggelar rapat dengan pejabat daerah di tempat itu.
Setelah merasa mendapat informasi yang cukup, para pejabat itu terbang kembali ke Jakarta. Bahan rapat itulah yang dipakai sebagai dasar pembahasan dalam sidang kabinet hari Kamis kemarin. Kita tidak menutup mata bahwa kondisi di Ambon sangat tidak aman. Kita ikuti sejak hari Minggu, setelah peringatan hari ulang tahun Republik Maluku Selatan (RMS), terjadi bentrokan antara kelompok RMS dan anti-RMS. Bentrokan meluas sampai saat ini di mana terjadi baku bunuh, pembakaran rumah dan gedung, sehingga lebih dari 32 orang dilaporkan tewas.
Akibat bentrokan yang berkembang meluas itu, rakyat Ambon sangat menderita. Mereka seperti dibawa kembali ke masa tahun 1999, di mana mereka hidup dalam kekerasan. Nyawa begitu mudah melayang dan warga dari satu rumpun itu harus hidup terpisah-pisah.
Mereka sangat mengharapkan adanya uluran tangan untuk membuat hidup mereka terlepas dari penderitaan. Masyarakat Ambon sangat mendambakan sentuhan nyata dari pemimpinnya. Pemimpin yang diharapkan itu memang sudah datang ke kota mereka, namun ternyata pemimpin itu tidak menyentuh mereka.
Kita sungguh menyayangkan para pejabat di jajaran polkam itu tidak masuk ke Kota Ambon, melihat langsung kehidupan warga bangsa yang sedang berada dalam kesulitan. Alasan keamanan sungguh bukan sebuah alasan yang bisa kita terima.
Sebagai pejabat tinggi di jajaran politik dan keamanan, bukankah tugas mereka untuk menciptakan keamanan bagi masyarakat. Kalau untuk dirinya sendiri saja mereka tidak mampu menciptakan keamanan, lalu bagaimana masyarakat bisa mengharapkan para pejabat itu menciptakan keamanan bagi seluruh rakyat.
Sungguh kita tidak habis mengerti mengapa para pejabat polkam itu tidak memaksa aparatnya di daerah untuk membuka kesempatan melihat langsung apa yang terjadi di kota itu. Untuk mengetahui seperti apa penderitaan yang dihadapi rakyat di sana.
Bagaimana seorang pemimpin tega membiarkan rakyat menderita, membiarkan rakyat tidak berdaya. Tindakan tidak melihat dan meninggalkan rakyat menderita begitu saja sungguh tidak menunjukkan sikap kesetiakawanan.
Menghadapi risiko merupakan pilihan seorang pemimpin. Kita boleh tidak suka kepada Soeharto, tetapi kita melihat bahwa ia adalah seorang pemimpin.
Kita tentunya belum lupa ketika ia terbang ke Bosnia, saat negeri itu sedang bergejolak. Sebagai Ketua Gerakan Non-Blok ia merasa bertanggung jawab untuk memberikan dukungan moral kepada rakyat di sana.
Pasukan Keamanan PBB merasa keberatan Presiden Soeharto masuk Kota Sarajevo karena banyak penembak gelap di sana. Tetapi Pak Harto memaksa untuk tetap masuk dan bahkan merasa tidak perlu menggunakan jaket antipeluru. Selama enam jam Presiden Soeharto berada di Sarajevo dengan menggunakan kendaraan lapis baja.
Kita lihat juga bagaimana Presiden AS George Walker Bush mengambil risiko untuk terbang ke Baghdad. Semua orang tahu bahwa kota itu sangat berbahaya bagi seorang pemimpin Amerika. Namun, ia tetap datang untuk merayakan Thanksgiving Day dengan para prajurit yang sedang bertugas di Irak.
Tidak salah kalau dikatakan negeri ini memang tidak memiliki pemimpin. Kita kekurangan pejabat yang mempunyai kepekaan atas penderitaan yang sedang dialami oleh warga bangsanya.
Semua orang berebut menuju kursi kekuasaan. Semua orang berusaha untuk bisa menjadi pejabat. Tetapi untuk apa semua itu? Hanya untuk dinikmati! Kekuasaan dan pangkat hanya dipakai untuk kesenangan pribadi. Bukan untuk pengabdian kepada bangsa dan negara.
Kita sangat prihatin dengan nasib yang dialami saudara-saudara kita yang tinggal di Ambon. Sepertinya kita tidak bisa hanya mengharapkan kepada elite politik. Kita, masyarakat, sendiri harus ikut menyelamatkan mereka. Caranya yang paling sederhana, tidak ikut memperkeruh suasana, tetapi ikut mendengungkan kedamaian.
No comments:
Post a Comment