Tuesday, September 18, 2007

Berbagi Pengalaman Menulis (34)



Nuansa Religi sebagai Inspirasi



TAHUN 1976 atau 31 tahun lalu, saat saya duduk di bangku kelas lima sekolah dasar, saya terkesan dengan sebuah carita pondok (carpon) yang dimuat di koran berbahasa Sunda, Giwangkara. Kalau tidak salah judulnya “Mawakeun”, sayang saya lupa siapa pengarangnya.



Carpon adalah cerita pendek (cerpen), yang oleh masyarakat Jawa Barat sangat disukai, selain carita nyambung (carnyam) alias cerita bersambung. Masih di tahun yang sama, Dudi S. Iskandar, kalau saya tidak keliru, membuat cerita bersambung di Majalah bahasa Sunda, Gondewa. Sekarang, kedua penerbitan itu telah tiada.



Pada majalah itu, Dudi memunculkan tokoh silat “Si Brangbrang”, tokoh muda pembela kebenaran yang memiliki jurus-jurus silat mengagumkan, setidak-tidaknya teringat oleh saya sampai sekarang. Antara lain jurus “Gorentel Monyet” ketika Si Brangbrang menggelundung di tanah menghindari serangan lawan. Atau jurus “Kalakay Katebak Angin” saat tokoh silat yang digambarkan simpatik itu melayang di udara saat menerjang lawannya. “Kalakay Katebak Angin” dalam bahasa Sunda berarti daun kering yang tertiup angin. Banyak lagi jurus-jurus lainnya yang membuat saya kecanduan cerita saat itu.



Kembali ke carpon “Mawakeun” tadi. “Mawakeun” adalah tradisi masyarakat Jawa Barat dimana pada bulan puasa orang yang mampu memberi sedekah berupa makanan siap santap. Biasanya diberikan menjelang buka puasa dekat-dekat lebaran. Bila jarak agak jauh, tempat makanan ada yang menggunakan rantang bersusun tiga dan jika jarak dekat cukup menggunakan piring atau mangkuk saja. Para tetangga dekat biasanya prioritas untuk dikirim makanan.



Dalam carpon “Mawakeun” itu, tersebutlah seorang anak laki-laki usia sembilan tahun yang setiap sore berdiri di depan rumah kayunya di balik pagar bambu, menantikan adanya seseorang yang mengirim makanan. Tunggu punya tunggu sampai lebaran akan tiba keesokan harinya, si pengirim makanan tidak datang jua. Sampai kemudian ibu si anak menghampirinya dan bertanya mengapa tidak masuk rumah padahal adzan maghrib sudah berkumandang.



“Mak, kenapa tetangga tidak ada yang mengirim kita makanan?” tanyanya pada ibunya yang menghampirinya. Adzan maghrib puasa terakhir sudah terdengar. Si Ibu mencoba menghibur sambil menahan rasa pedih, “Sudahlah, Nak, mungkin tetangga kita itu lupa mengirim kita makanan.”



“Apa karena kita miskin ya, Mak? Atau karena Bapak belum pulang dari Jakarta?” tanya si anak seperti tak percaya. Kali ini ibunya tak bisa menahan rasa harunya, benteng ketahanan jiwanya runtuh seketika. Air mata meleleh membasahi pipinya. “Tidak, Nak, para tetangga itu hanya lupa saja,” hiburnya.



Diceritakan bahwa si Anak menantikan datangnya makanan dari tetangga, sementara si Ibu sebenarnya menantikan suaminya (ayah si anak) yang sedang bekerja di Jakarta. Ibu si anak tahu, suaminya tak akan pernah datang lagi ke gubuk itu karena ia mendengar dari tetangga, suaminya telah menikah lagi di Jakarta. Uniknya, si Anak tidak pernah menantikan kadatangan ayahnya, sekadar menantikan datangnya makanan dari tetangga. Itu saja.



Mengapa saya panjang lebar bercerita seperti ini? Saya ingin mengatakan bahwa inspirasi sebuah cerita pendek atau bahkan cerita bersambung bisa datang dari suasana religius seperti ini, yakni saat-saat ramadhan atau lebaran tiba dalam konteks Islam. Dalam konteks Kristen, ada natal atau mungkin paskah, atau apapun namanya. Suasana “di luar keseharian” yang datang setiap tahun itu sungguh obyek empuk untuk dijadikan inspirasi, dengan catatan kita mau menggalinya. “Mawakeun” hanyalah salah satu contoh kecil saja.



Tanpa bermaksud menggurui, sahabat kini sudah bisa merangkai cerita apa di balik datangnya bulan suci ramadhan atau hari raya lebaran. Mau dijadikan fiksi atau opini, tidak jadi soal. Dari soal kesusahan hidup, kekayaan bertumpuk, kesibukan sebuah pasar atau supermarket, sulitnya mudik, sampai ziarah ke kuburan mendiang. Pasti ada cerita di sana. Tidak percaya? Mulailah menggali!

No comments: