Ironi sebagai Berita
MASIH tentang liputan di wilayah konflik, Ambon. Jika pada postingan lalu (Lihat Berbagi Pengalaman Menulis 27: Dibimbing Insting) saya tiba di Ambon Maret 2003, setahun kemudian saya harus kembali ke Ambon, persisnya 25 April saat meledak kerusuhan komunal yang dipicu kelompok FKM yang merayakan ulang tahun Republik Maluku Selatan (RMS).
Pada hari-hari pertama bentrokan komunal, saya masih tetap melaporkan suasana Kota Ambon yang masih mencekam, bertambahnya jumlah korban, dan bergentayangannya para “sniper” alias penembak jitu. Intinya, masih melaporkan pandangan mata, sekalian mengumpulkan data dan fakta untuk menulis feature. Di sini, saya mau berbagi mengenai “Ironi” yang bisa diolah sebagai isu besar, tetapi juga jenial dan orisinal. Bagaimana caranya?
Cuma sekadar blessing saja! Itupun setelah saya bosan melaporkan keadaan Ambon yang itu-itu saja. Kesempatan itu datang pada hari Rabu, 28 April 2004 atau empat hari setelah kerusuhan meledak. Hari itu hadir Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan ad interim Hari Sabarno bersama Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, Kepala Polri Jenderal (Pol) Da’i Bachtiar, Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono, dan Menteri Kesehatan Achmad Sujudi.
Di Ambon hari itu saya memasang mata dan telinga. Perkiraan saya, para pejabat itu akan ditampung di Kantor Gubernur dulu sebelum turun ke bawah (turba) menenangkan warga yang bertikai. Nyatanya? Saya dapat kabar, para pejabat terhormat dari Jakarta itu hanya akan “transit” di Bandara Pattimura saja tanpa menyapa langsung warga di kantong-kantong pertikaian, sebelum kembali lagi ke Jakarta. Sekadar piknik? Dalam hati saya berteriak: Ini berita! Berita besar!
Saya menumpang kendaraan militer ke pelabuhan dan menggunakan speed boat yang juga disediakan militer setempat, kendaraan umum belum beroperasi. Wartawan Jakarta dan wartawan lokal Ambon sudah pasti ada semua di sana. Dalam hati saya berbisik: semoga mereka tidak menangkap ironi di balik peristiwa ini. Ya ironi, sebab pejabat yang seharusnya bertatap langsung dengan warga, menenangkan warga kedua belah pihak baik Islam maupun Kristen, ternyata hanya mau cari aman dan selamat sendiri di ruang berpendingin udara di Bandara Pattimura. Enak betul mereka.
Sesampainya di bandara, saya ikuti semua percakapan para pejabat di bawah pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri itu, juga unek-unek tokoh masyarakat kedua belah pihak yang sengaja dihadirkan di bandara itu. Jadinya seperti kelompencapir zamannya Harmoko dulu. Wah, menyebalkan. Saya coba menahan perasaan saya.
Saat wartawan lain merekam segala suasana, diam-diam saya mengikuti Pangdam XVI Pattimura Mayjen Syarifuddin Sumah yang menyelinap ke belakang. Rupanya jenderal bintang dua itu mau ke toilet. Maka saya juga ke toilet. Sebelumnya kami telah saling mengenal selintas karena beberapa kali pasca bentrokan itu saya harus “memepet” Pangdam itu di markasnya.
Saya menyapa sang jenderal. Mungkin suasana hatinya sedang baik, dia mau saya ajak bicara sebentar. Saya tahu dia berasal dari Makassar, maka percakapan basa-basi pun dimulai mengenai kota Anging Mamiri, tempat dimana homebase saya berada.
“Sayang bapak-bapak pejabat itu hanya sampai di Bandara Pattimura saja ya, Pak, tidak langsung menemui warga,” kata saya. Sang jenderal menjawab, “Saya tidak mau ambil risiko, maka pertemuan itu terpaksa saya langsungkan di sini saja.” Saya menyambar lagi, “Boleh saya kutip, Pak?” Dia menjawab cepat, “Ya, tetapi jangan sebut ini dari saya, ya!” Jenderal yang baik!
Usai pertemuan, wartawan pun merancang isu. Rekan wartawan senior dari sebuah stasiun televisi swasta mengangkat isu kemungkinan penerapan darurat militer, yang bagi saya tentu saja terlalu dini. Wartawan lain mengangkat mau diapakan kelompok FKM yang diduga memprovokasi kerusuhan? Apa yang saya lakukan saat itu? Cukup diam menahan diri, tidak harus bertanya lagi. Semua bahan untuk berita besok sudah ada di kepala saya. Sejujurnya, saya ingin segera mengetik dan mengirimkan berita ke Jakarta.
Di hotel tempat saya menginap di kawasan Muslim, saya lalu memberi judul berita saya “Kunjungan Pejabat Jakarta Hanya Sampai di Bandara Pattimura.” Berita yang menggambarkan suasana itu lantas didukung oleh sejumlah fakta yang berkembang di lapangan. Oleh editor di Jakarta disempurnakan dan dipertajam menjadi lebih menukik dengan judul “Kunjungan Menko Polkam ‘Hanya Sampai’ Bandara”, yang dimuat sebagai berita utama (headline) di harian Kompas keesokan harinya, Kamis 29 April 2004.
Sahabat yang budiman bisa membaca berita saya di bawah ini setelah ditambah dengan “sumbangan” rekan-rekan wartawan lain yang mendapatkan sumber berita di luar Ambon, yakni di Jakarta. Sahabat juga bisa mengikuti postingan berikutnya bagaimana berita itu disikapi dan diperkuat dengan Tajuk Rencana (editorial) mengenai “Kepemimpinan” yang ditulis oleh para petinggi dan bahkan pemilik koran. Saya juga tidak menyangka tidak sampainya para pejabat Jakarta menemui warga itu bisa terkait dengan kepemimpinan. Ok, sampai jumpa lagi...
Kunjungan Menko Polkam "Hanya Sampai" Bandara
AMBON, KOMPAS- Akibat tidak adanya jaminan keamanan dari aparat keamanan setempat, rombongan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan ad interim Hari Sabarno yang melakukan kunjungan kerja ke Kota Ambon, Maluku, Rabu (28/4) kemarin terpaksa menggelar pertemuan dengan tokoh masyarakat dan agama serta politisi Maluku di Bandar Udara Pattimura, Ambon. Hari Sabarno didampingi Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, Kepala Polri Jenderal (Pol) Da'i Bachtiar, Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono, dan Menteri Kesehatan Achmad Sujudi.
Rombongan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) ad interim mendarat di Bandar Udara (Bandara) Pattimura pukul 13.45 waktu setempat, menggunakan pesawat khusus. Mereka mengadakan dialog dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan politisi Maluku di aula khusus Lantai 2 Bandara Pattimura hingga pukul 16.00 sebelum kembali ke Jakarta.
Dalam kesempatan itu Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) XVI Pattimura Mayor Jenderal Syarifuddin Sumah, Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Maluku Brigadir Jenderal (Pol) Bambang Sutrisno, dan Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu memaparkan laporan situasi terakhir di Kota Ambon.
Menurut keterangan aparat keamanan setempat, semula rombongan akan mengadakan kunjungan ke lokasi kerusuhan. Namun, karena kondisi kota itu dinilai belum kondusif, rencana tersebut dibatalkan. Bahkan, dialog pun akhirnya hanya dilangsungkan di Bandara Pattimura. "Saya tidak mau pejabat kita terancam keselamatannya," tutur pejabat militer setempat yang tidak bersedia disebutkan namanya.
Kemarin situasi di Kota Ambon masih panas dan eskalasi konflik semakin melebar. Konflik bahkan sudah merembet sampai ke kecamatan lain meski masih di dalam Kota Ambon. Dari Selasa tengah malam sampai Rabu dini hari kemarin, rentetan tembakan dan dentuman bom masih terdengar berkali-kali. Apabila sebelumnya konflik antarwarga terjadi di wilayah Talake Dalam dan Waringin di Kecamatan Nusaniwe, kini konflik sudah merembet ke daerah Karang Panjang, Kecamatan Sirimau.
Kemarin pagi sekitar pukul 08.00, massa yang berjumlah ratusan orang dari Karang Panjang, yang rumahnya terbakar, mendatangi Markas Polda untuk berunjuk rasa dengan membawa bendera Merah Putih setengah tiang sebagai tanda duka. Dalam orasinya mereka meminta pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari Maluku ditarik saja karena mereka mengaku melihat adanya oknum TNI berpakaian loreng yang turut memprovokasi massa, bahkan turut membakar rumah penduduk.
Namun, tudingan itu disangkal Syarifuddin Sumah dengan mengatakan sangat mudah mendiskreditkan TNI. Dia berharap semua pihak tidak termakan isu semacam itu atau terpengaruh opini yang sengaja diciptakan karena hanya akan memperburuk situasi. Gubernur Ralahalu menyebutkan, sampai kemarin jumlah korban tewas sudah mencapai 32 orang dengan tambahan tujuh korban baru. Korban seluruhnya berjumlah 203 orang. Sebanyak 84 orang masih dirawat di berbagai rumah sakit dan 87 orang sudah pulang setelah menjalani perawatan. Konflik hari keempat juga menghanguskan atau menghancurkan 430 rumah dan bangunan serta menyebabkan sebanyak 2.150 orang atau 340 keluarga mengungsi.
Musuh bersama
Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto mengatakan, terdapat satu titik temu dan pemahaman bersama di antara warga masyarakat Ambon bahwa tidak ada satu kelompok pun yang mendukung keberadaan kelompok separatis Front Kedaulatan Maluku/Republik Maluku Selatan (FKM/RMS). Organisasi itu juga tidak identik dengan agama tertentu. Dengan begitu, apabila sudah ada titik temu, sebaiknya FKM/RMS dijadikan musuh bersama yang harus ditindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.
"Tidak sepatutnya sebagai orang Indonesia memberi dukungan kepada kelompok separatis. Aparat keamanan akan berbuat maksimal untuk menindak FKM/RMS," kata Panglima TNI tegas, saat bertemu dengan jajaran Pemerintah Provinsi Maluku di Bandara Pattimura. Menurut Endriartono, pihaknya siap memberikan bantuan tambahan personel berapa pun banyaknya apabila hal itu diminta. Meski demikian, pihaknya lebih menyerahkan inisiatif untuk menyelesaikan konflik atau menjaga agar konflik tidak meluas kepada masyarakat Ambon sendiri. "Seberapa pun besarnya jumlah personel TNI, apabila masyarakatnya memang tidak mau berdamai, kedamaian tidak akan pernah terwujud," katanya.
Hari Sabarno dan Hendropriyono tidak menanggapi adanya keinginan sebagian warga Ambon untuk memberlakukan darurat militer. Menurut mereka, proses pemberlakuan darurat militer terlalu lama karena harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan melihat intensitas konflik yang terjadi. "Lebih baik masyarakat sendiri yang berupaya menyelesaikannya," kata Hari Sabarno. Pernyataan senada disampaikan Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono.
Hendropriyono mengatakan, hasil analisis intelijen mengenai konflik baru di Ambon yang berasal dari peringatan Hari Ulang Tahun Ke-54 FKM/RMS itu sama dengan yang dikemukakan tokoh masyarakat Ambon, pemerintah provinsi, dan jajaran aparat keamanan Maluku.
Meski demikian, lanjut Hendropriyono, apa yang terjadi pada hari Minggu 25 April lalu itu bukanlah suatu bentuk kecolongan, sebab aparat keamanan sudah mengantisipasi sebelumnya. Hanya saja, bagaimanapun kokohnya, sebuah pertahanan tetap akan jebol karena orang lain bersifat aktif menyerang.
Hendropriyono juga mengatakan, kelompok separatis seperti FKM/RMS pasti memiliki sponsor di belakang mereka. Bisa saja sponsor itu negara asing, sedangkan konflik harus diciptakan untuk menarik perhatian dan isu pun terus diembuskan. "Pokoknya masyarakat dibuat bingung, misalnya dengan adanya penembak gelap yang kita tidak tahu siapa pelakunya," katanya.
Kepala Polda Maluku Bambang Sutrisno dan Panglima Kodam Syarifuddin Sumah mengakui adanya eskalasi atau peningkatan intensitas konflik. Panglima Kodam, misalnya, menyebutkan, jika pada hari pertama kerusuhan terjadi pada 10 titik konflik yang kemudian menyatu dalam satu wilayah, yakni Talake dan Waringin, kemarin titik konflik sudah menyebar ke wilayah Karang Panjang. "Kondisi Ambon masih tegang," kata Syarifuddin.
Dipindah ke Jakarta
Dalam pertemuan itu Kepala Polda Maluku menyarankan agar anggota FKM/RMS yang kini ditahan di Markas Polda dipindahkan ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di Jakarta untuk dilakukan penyelesaian hukum, sebagaimana pernah dilakukan terhadap Alex Manuputty.
Dalam pertemuan itu, baik tokoh agama Islam seperti Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku Idrus Toekan dan Kepala STAIN Muhammad Attamimi, maupun tokoh agama Kristen seperti Uskup Amboina Mgr PC Mandagi dan Ketua BPH Sinode GPM Pendeta IWJ Hendriks, mengutuk tindakan FKM/RMS yang mereka sebut sebagai kelompok separatis.
Muhammad Attamimi menegaskan, jika ada umat Islam yang mendukung FKM/RMS, diultimatum akan dihabisi saja. Dia meminta pihak Kristen memiliki sikap yang sama terhadap FKM/RMS. Sementara itu, Pendeta Hendriks meminta aparat keamanan menindak tegas FKM/RMS sesuai hukum.
Kepala Polri Jenderal (Pol) Da'i Bachtiar mengatakan, tindakan hukum terhadap kelompok separatis seperti FKM/RMS akan dilakukan secara tegas dan transparan agar masyarakat luas mengetahuinya.
Ia juga menyatakan persetujuannya agar seluruh senjata yang ada pada warga masyarakat dilucuti.
Di Jakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak Presiden Megawati agar serius menuntaskan kasus kerusuhan di Ambon.
Menurut rencana, seperti dijelaskan Menko Kesra A Malik Fadjar, sidang kabinet hari Kamis ini memang akan membahas masalah Ambon. (Pepih Nugraha)
MASIH tentang liputan di wilayah konflik, Ambon. Jika pada postingan lalu (Lihat Berbagi Pengalaman Menulis 27: Dibimbing Insting) saya tiba di Ambon Maret 2003, setahun kemudian saya harus kembali ke Ambon, persisnya 25 April saat meledak kerusuhan komunal yang dipicu kelompok FKM yang merayakan ulang tahun Republik Maluku Selatan (RMS).
Pada hari-hari pertama bentrokan komunal, saya masih tetap melaporkan suasana Kota Ambon yang masih mencekam, bertambahnya jumlah korban, dan bergentayangannya para “sniper” alias penembak jitu. Intinya, masih melaporkan pandangan mata, sekalian mengumpulkan data dan fakta untuk menulis feature. Di sini, saya mau berbagi mengenai “Ironi” yang bisa diolah sebagai isu besar, tetapi juga jenial dan orisinal. Bagaimana caranya?
Cuma sekadar blessing saja! Itupun setelah saya bosan melaporkan keadaan Ambon yang itu-itu saja. Kesempatan itu datang pada hari Rabu, 28 April 2004 atau empat hari setelah kerusuhan meledak. Hari itu hadir Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan ad interim Hari Sabarno bersama Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, Kepala Polri Jenderal (Pol) Da’i Bachtiar, Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono, dan Menteri Kesehatan Achmad Sujudi.
Di Ambon hari itu saya memasang mata dan telinga. Perkiraan saya, para pejabat itu akan ditampung di Kantor Gubernur dulu sebelum turun ke bawah (turba) menenangkan warga yang bertikai. Nyatanya? Saya dapat kabar, para pejabat terhormat dari Jakarta itu hanya akan “transit” di Bandara Pattimura saja tanpa menyapa langsung warga di kantong-kantong pertikaian, sebelum kembali lagi ke Jakarta. Sekadar piknik? Dalam hati saya berteriak: Ini berita! Berita besar!
Saya menumpang kendaraan militer ke pelabuhan dan menggunakan speed boat yang juga disediakan militer setempat, kendaraan umum belum beroperasi. Wartawan Jakarta dan wartawan lokal Ambon sudah pasti ada semua di sana. Dalam hati saya berbisik: semoga mereka tidak menangkap ironi di balik peristiwa ini. Ya ironi, sebab pejabat yang seharusnya bertatap langsung dengan warga, menenangkan warga kedua belah pihak baik Islam maupun Kristen, ternyata hanya mau cari aman dan selamat sendiri di ruang berpendingin udara di Bandara Pattimura. Enak betul mereka.
Sesampainya di bandara, saya ikuti semua percakapan para pejabat di bawah pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri itu, juga unek-unek tokoh masyarakat kedua belah pihak yang sengaja dihadirkan di bandara itu. Jadinya seperti kelompencapir zamannya Harmoko dulu. Wah, menyebalkan. Saya coba menahan perasaan saya.
Saat wartawan lain merekam segala suasana, diam-diam saya mengikuti Pangdam XVI Pattimura Mayjen Syarifuddin Sumah yang menyelinap ke belakang. Rupanya jenderal bintang dua itu mau ke toilet. Maka saya juga ke toilet. Sebelumnya kami telah saling mengenal selintas karena beberapa kali pasca bentrokan itu saya harus “memepet” Pangdam itu di markasnya.
Saya menyapa sang jenderal. Mungkin suasana hatinya sedang baik, dia mau saya ajak bicara sebentar. Saya tahu dia berasal dari Makassar, maka percakapan basa-basi pun dimulai mengenai kota Anging Mamiri, tempat dimana homebase saya berada.
“Sayang bapak-bapak pejabat itu hanya sampai di Bandara Pattimura saja ya, Pak, tidak langsung menemui warga,” kata saya. Sang jenderal menjawab, “Saya tidak mau ambil risiko, maka pertemuan itu terpaksa saya langsungkan di sini saja.” Saya menyambar lagi, “Boleh saya kutip, Pak?” Dia menjawab cepat, “Ya, tetapi jangan sebut ini dari saya, ya!” Jenderal yang baik!
Usai pertemuan, wartawan pun merancang isu. Rekan wartawan senior dari sebuah stasiun televisi swasta mengangkat isu kemungkinan penerapan darurat militer, yang bagi saya tentu saja terlalu dini. Wartawan lain mengangkat mau diapakan kelompok FKM yang diduga memprovokasi kerusuhan? Apa yang saya lakukan saat itu? Cukup diam menahan diri, tidak harus bertanya lagi. Semua bahan untuk berita besok sudah ada di kepala saya. Sejujurnya, saya ingin segera mengetik dan mengirimkan berita ke Jakarta.
Di hotel tempat saya menginap di kawasan Muslim, saya lalu memberi judul berita saya “Kunjungan Pejabat Jakarta Hanya Sampai di Bandara Pattimura.” Berita yang menggambarkan suasana itu lantas didukung oleh sejumlah fakta yang berkembang di lapangan. Oleh editor di Jakarta disempurnakan dan dipertajam menjadi lebih menukik dengan judul “Kunjungan Menko Polkam ‘Hanya Sampai’ Bandara”, yang dimuat sebagai berita utama (headline) di harian Kompas keesokan harinya, Kamis 29 April 2004.
Sahabat yang budiman bisa membaca berita saya di bawah ini setelah ditambah dengan “sumbangan” rekan-rekan wartawan lain yang mendapatkan sumber berita di luar Ambon, yakni di Jakarta. Sahabat juga bisa mengikuti postingan berikutnya bagaimana berita itu disikapi dan diperkuat dengan Tajuk Rencana (editorial) mengenai “Kepemimpinan” yang ditulis oleh para petinggi dan bahkan pemilik koran. Saya juga tidak menyangka tidak sampainya para pejabat Jakarta menemui warga itu bisa terkait dengan kepemimpinan. Ok, sampai jumpa lagi...
Kunjungan Menko Polkam "Hanya Sampai" Bandara
AMBON, KOMPAS- Akibat tidak adanya jaminan keamanan dari aparat keamanan setempat, rombongan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan ad interim Hari Sabarno yang melakukan kunjungan kerja ke Kota Ambon, Maluku, Rabu (28/4) kemarin terpaksa menggelar pertemuan dengan tokoh masyarakat dan agama serta politisi Maluku di Bandar Udara Pattimura, Ambon. Hari Sabarno didampingi Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, Kepala Polri Jenderal (Pol) Da'i Bachtiar, Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono, dan Menteri Kesehatan Achmad Sujudi.
Rombongan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) ad interim mendarat di Bandar Udara (Bandara) Pattimura pukul 13.45 waktu setempat, menggunakan pesawat khusus. Mereka mengadakan dialog dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan politisi Maluku di aula khusus Lantai 2 Bandara Pattimura hingga pukul 16.00 sebelum kembali ke Jakarta.
Dalam kesempatan itu Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) XVI Pattimura Mayor Jenderal Syarifuddin Sumah, Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Maluku Brigadir Jenderal (Pol) Bambang Sutrisno, dan Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu memaparkan laporan situasi terakhir di Kota Ambon.
Menurut keterangan aparat keamanan setempat, semula rombongan akan mengadakan kunjungan ke lokasi kerusuhan. Namun, karena kondisi kota itu dinilai belum kondusif, rencana tersebut dibatalkan. Bahkan, dialog pun akhirnya hanya dilangsungkan di Bandara Pattimura. "Saya tidak mau pejabat kita terancam keselamatannya," tutur pejabat militer setempat yang tidak bersedia disebutkan namanya.
Kemarin situasi di Kota Ambon masih panas dan eskalasi konflik semakin melebar. Konflik bahkan sudah merembet sampai ke kecamatan lain meski masih di dalam Kota Ambon. Dari Selasa tengah malam sampai Rabu dini hari kemarin, rentetan tembakan dan dentuman bom masih terdengar berkali-kali. Apabila sebelumnya konflik antarwarga terjadi di wilayah Talake Dalam dan Waringin di Kecamatan Nusaniwe, kini konflik sudah merembet ke daerah Karang Panjang, Kecamatan Sirimau.
Kemarin pagi sekitar pukul 08.00, massa yang berjumlah ratusan orang dari Karang Panjang, yang rumahnya terbakar, mendatangi Markas Polda untuk berunjuk rasa dengan membawa bendera Merah Putih setengah tiang sebagai tanda duka. Dalam orasinya mereka meminta pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari Maluku ditarik saja karena mereka mengaku melihat adanya oknum TNI berpakaian loreng yang turut memprovokasi massa, bahkan turut membakar rumah penduduk.
Namun, tudingan itu disangkal Syarifuddin Sumah dengan mengatakan sangat mudah mendiskreditkan TNI. Dia berharap semua pihak tidak termakan isu semacam itu atau terpengaruh opini yang sengaja diciptakan karena hanya akan memperburuk situasi. Gubernur Ralahalu menyebutkan, sampai kemarin jumlah korban tewas sudah mencapai 32 orang dengan tambahan tujuh korban baru. Korban seluruhnya berjumlah 203 orang. Sebanyak 84 orang masih dirawat di berbagai rumah sakit dan 87 orang sudah pulang setelah menjalani perawatan. Konflik hari keempat juga menghanguskan atau menghancurkan 430 rumah dan bangunan serta menyebabkan sebanyak 2.150 orang atau 340 keluarga mengungsi.
Musuh bersama
Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto mengatakan, terdapat satu titik temu dan pemahaman bersama di antara warga masyarakat Ambon bahwa tidak ada satu kelompok pun yang mendukung keberadaan kelompok separatis Front Kedaulatan Maluku/Republik Maluku Selatan (FKM/RMS). Organisasi itu juga tidak identik dengan agama tertentu. Dengan begitu, apabila sudah ada titik temu, sebaiknya FKM/RMS dijadikan musuh bersama yang harus ditindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.
"Tidak sepatutnya sebagai orang Indonesia memberi dukungan kepada kelompok separatis. Aparat keamanan akan berbuat maksimal untuk menindak FKM/RMS," kata Panglima TNI tegas, saat bertemu dengan jajaran Pemerintah Provinsi Maluku di Bandara Pattimura. Menurut Endriartono, pihaknya siap memberikan bantuan tambahan personel berapa pun banyaknya apabila hal itu diminta. Meski demikian, pihaknya lebih menyerahkan inisiatif untuk menyelesaikan konflik atau menjaga agar konflik tidak meluas kepada masyarakat Ambon sendiri. "Seberapa pun besarnya jumlah personel TNI, apabila masyarakatnya memang tidak mau berdamai, kedamaian tidak akan pernah terwujud," katanya.
Hari Sabarno dan Hendropriyono tidak menanggapi adanya keinginan sebagian warga Ambon untuk memberlakukan darurat militer. Menurut mereka, proses pemberlakuan darurat militer terlalu lama karena harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan melihat intensitas konflik yang terjadi. "Lebih baik masyarakat sendiri yang berupaya menyelesaikannya," kata Hari Sabarno. Pernyataan senada disampaikan Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono.
Hendropriyono mengatakan, hasil analisis intelijen mengenai konflik baru di Ambon yang berasal dari peringatan Hari Ulang Tahun Ke-54 FKM/RMS itu sama dengan yang dikemukakan tokoh masyarakat Ambon, pemerintah provinsi, dan jajaran aparat keamanan Maluku.
Meski demikian, lanjut Hendropriyono, apa yang terjadi pada hari Minggu 25 April lalu itu bukanlah suatu bentuk kecolongan, sebab aparat keamanan sudah mengantisipasi sebelumnya. Hanya saja, bagaimanapun kokohnya, sebuah pertahanan tetap akan jebol karena orang lain bersifat aktif menyerang.
Hendropriyono juga mengatakan, kelompok separatis seperti FKM/RMS pasti memiliki sponsor di belakang mereka. Bisa saja sponsor itu negara asing, sedangkan konflik harus diciptakan untuk menarik perhatian dan isu pun terus diembuskan. "Pokoknya masyarakat dibuat bingung, misalnya dengan adanya penembak gelap yang kita tidak tahu siapa pelakunya," katanya.
Kepala Polda Maluku Bambang Sutrisno dan Panglima Kodam Syarifuddin Sumah mengakui adanya eskalasi atau peningkatan intensitas konflik. Panglima Kodam, misalnya, menyebutkan, jika pada hari pertama kerusuhan terjadi pada 10 titik konflik yang kemudian menyatu dalam satu wilayah, yakni Talake dan Waringin, kemarin titik konflik sudah menyebar ke wilayah Karang Panjang. "Kondisi Ambon masih tegang," kata Syarifuddin.
Dipindah ke Jakarta
Dalam pertemuan itu Kepala Polda Maluku menyarankan agar anggota FKM/RMS yang kini ditahan di Markas Polda dipindahkan ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di Jakarta untuk dilakukan penyelesaian hukum, sebagaimana pernah dilakukan terhadap Alex Manuputty.
Dalam pertemuan itu, baik tokoh agama Islam seperti Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku Idrus Toekan dan Kepala STAIN Muhammad Attamimi, maupun tokoh agama Kristen seperti Uskup Amboina Mgr PC Mandagi dan Ketua BPH Sinode GPM Pendeta IWJ Hendriks, mengutuk tindakan FKM/RMS yang mereka sebut sebagai kelompok separatis.
Muhammad Attamimi menegaskan, jika ada umat Islam yang mendukung FKM/RMS, diultimatum akan dihabisi saja. Dia meminta pihak Kristen memiliki sikap yang sama terhadap FKM/RMS. Sementara itu, Pendeta Hendriks meminta aparat keamanan menindak tegas FKM/RMS sesuai hukum.
Kepala Polri Jenderal (Pol) Da'i Bachtiar mengatakan, tindakan hukum terhadap kelompok separatis seperti FKM/RMS akan dilakukan secara tegas dan transparan agar masyarakat luas mengetahuinya.
Ia juga menyatakan persetujuannya agar seluruh senjata yang ada pada warga masyarakat dilucuti.
Di Jakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak Presiden Megawati agar serius menuntaskan kasus kerusuhan di Ambon.
Menurut rencana, seperti dijelaskan Menko Kesra A Malik Fadjar, sidang kabinet hari Kamis ini memang akan membahas masalah Ambon. (Pepih Nugraha)
No comments:
Post a Comment