Saturday, September 22, 2007

Catatan (27): Pak Rum Telah Tiada



Selamat Jalan Pak Rum...



TANGGAL 11 Juni 2007 lalu saya bertemu Pak Rumhardjono, wartawan seniorKompas yang sudah pensiun sekaligus pengajar yang sabar bagi calon-calon wartawan Kompas. Saya hanyalah salah satu dari sekian wartawan yang ada berkat bimbingannya. Saat bertemu di Kantor Redaksi Kompas Lantai 3 di Jalan Palmerah Selatan, Jakarta, saya langsung menimba ilmu dari Pak Rum, demikianlah ia biasa dipanggil. Rekan-rekan lain memanggilnya Mas Rum.



Hasil dari menimba ilmu itu langsung saya postingkan di blog ini hari itu juga, lengkap dengan foto yang saya ambil atas seizinnya (lihat http://pepihnugraha.blogspot.com/search/label/Rumhardjono ). Maksud saya, biar pengalaman Pak Rum yang segudang, baik sebagai wartawan yang ahli Asia Tenggara maupun guru bagi para wartawan, bisa sahabat ketahui juga. Berbagi ilmulah.



Hari Kamis, 20 September lalu, saya mendapat pesan singkat dari seorang kawan yang mengabarkan bahwa Pak Rum telah pergi untuk selamanya karena serangan stroke. Ia meninggal di RSCM pukul 03.30. Satu hal yang menjadi penyesalan, saya tidak dapat mengantarkannya ke tempat peristirahatannya yang abadi di pemakaman karet bivak karena terkunci oleh pekerjaan.



Untuk mengenangnya, saya tampilkan obituari yang ditulis senior saya, wartawan Kompas, James Luhulima, yang tulisannya dimuat Kompas, Jumat 21 September 2007 halaman 1. Obituari adalah tulisan untuk mengenang orang yang telah meninggal dunia. Di Indonesia, orang yang dikenal mahir menulis obituari adalah wartawan senior Rosihan Anwar. Suatu waktu saya akan berbagi ilmu bagaimana menulis obituari. Tetapi kali ini, kita bisa baca obituari Pak Rumhardjono di bawah ini:


Obituari

Selamat Jalan Mas Rum!



Kabar bahwa eks wartawan Kompas Rumhardjono (68) terserang stroke diterima Redaksi Harian Kompas hari Rabu (19/9) malam, tepatnya pukul 22.00. Keponakannya, Endang Basanto Ratri, menelepon dan mengabarkan bahwa Mas Rum, begitu ia akrab disapa, dirawat di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo di Lantai 2.



Layanan pesan singkat atau SMS pun berseliweran, dan wartawan-wartawan Kompas segera menyempatkan diri untuk menjenguknya. Di harian Kompas, Mas Rum memiliki banyak peran, baik sebagai wartawan yang ahli Asia Tenggara, sebagai tutor bagi wartawan yang lebih muda, maupun sebagai guru, khususnya bagi wartawan-wartawan Kompas yang masuk pada tahun 1987-1998.



Di antara wartawan Kompas yang datang ke IGD RSCM tampak Pemimpin Redaksi Suryopratomo dan beberapa rekan yang merupakan murid-murid pertama Mas Rum. Saya dan rekan saya, Taufik H Mihardja dan Andi Surudji, adalah tiga wartawan Kompas yang terakhir menjenguknya di IGD RSCM. Kamis dini hari, menjelang pukul 02.00, kami bertiga meninggalkan pelataran parkir RSCM.



Pada pukul 03.30, tiba-tiba masuk SMS yang menyatakan bahwa Mas Rum telah tiada. Ia meninggal dunia pada pukul 02.50. Perasaan kehilangan pun segera muncul ke permukaan. Mas Rum yang lahir pada 13 April 1939 memang telah pensiun dari harian Kompas pada tahun 1999. Namun, sesungguhnya hubungan Mas Rum, yang sampai akhir hayatnya melajang itu, dengan harian Kompas tidak pernah berakhir. Sesekali ia menelepon saya dan rekan lain apabila ia merasa ada hal yang perlu mendapatkan perhatian.



Kadang ia juga mengirimkan tulisan tentang masalah-masalah tertentu, terutama yang berkaitan dengan Asia Tenggara, dengan catatan, tidak untuk dimuat, hanya untuk background saja.



Ahli Asia Tenggara



Mas Rum bergabung dengan harian Kompas pada tahun 1974 dan bertugas di Desk Luar Negeri. Itu sebabnya, ia tercatat sebagai wartawan peliput di Departemen Luar Negeri (Deplu). Perhatiannya yang intens pada masalah-masalah yang berkaitan dengan Asia Tenggara menjadikan Rumhardjono dikenal sebagai wartawan yang ahli Asia Tenggara pada akhir tahun 1970-an dan tahun 1980-an. Beberapa kepala pemerintahan dan Menteri Luar Negeri ASEAN mengenalnya dengan baik.



Saya mengenalnya pada tahun 1983 ketika sebagai wartawan baru saja ditugaskan untuk meliput kegiatan di Deplu, yang menjadi tempat tugas Rumhardjono sejak akhir tahun 1970-an. Saat saya bertugas di sana, segala sesuatunya menjadi mudah, karena ia langsung berperan sebagai tutor saya.



Bahkan, ketika saya pertama kali ditugaskan untuk meliput Pertemuan Tahunan Menteri Luar Negeri ASEAN Ke-17 di Kuala Lumpur, Malaysia, tahun 1984, ia memberi saya semacam kertas kerja panduan mengenai bagaimana meliput suatu konferensi internasional dengan efisien dan efektif. Termasuk mengenai bagaimana cara memperoleh draf joint communique (komunike bersama), yang merupakan salah satu keahliannya. Dan, juga tentang bagaimana menggunakannya sebagai bahan berita.



Pengalamannya yang luas dalam meliput konferensi internasional menjadikan ia selalu bersikap santai. Sikap seperti itu diperlihatkannya saat meliput Jakarta Informal Meeting (JIM) di Istana Bogor tahun 1988. Pada saat wartawan lain sudah hadir sejak pagi, Mas Rum masih enak-enak tidur. Ia baru bangun pukul 10.00 dan datang ke Istana Bogor menjelang pukul 11.30. Namun, sore harinya, ia sudah memegang draf komunike bersama JIM. Lobinya yang sangat luas di kalangan pejabat Deplu dan kementerian luar negeri negara-negara ASEAN lain menjadikan ia selalu bisa mendapatkan draf komunike bersama yang akan keluar.



Sebagai wartawan senior, Mas Rum asyik diajak berdiskusi. Daya analisanya tajam, mendalam, dan jernih. Kemampuan berabstraksinya pun cukup menonjol. Ia selalu menemukan angle (sudut pandang) yang tepat untuk menulis.



Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama yang turut mengantarnya ke pemakaman di TPU Karet Bivak, Kamis, dalam sambutannya mengatakan, analisa mendalam dan jernih, dan selalu dikemukakan dengan dingin, tanpa emosi. Mungkin itu karena latar belakangnya sebagai periset.



Menurut mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja, yang merupakan adik ipar Mas Rum, sebelum menjadi wartawan, Mas Rum adalah seorang periset. (James B Luhulima)

No comments: