Sunday, September 09, 2007

Berbagi Pengalaman Menulis (32)



Jika Pikiran Macet (1)



ADA teman senior bercerita, ia bisa menghabiskan berlembar-lembar bahkan belasan kertas hanya untuk menulis satu berita saja. Asap rokok tidak lepas mengepul dari mulut, menjalar ke hidung sampai kadang menutupi wajahnya. Cangkir kopi untuk ketiga kalinya sudah tandas. Waktu semakin memepetnya menuju deadline. Tetapi, satu alinea pun belum juga usai.



Ini gambaran suasana kerja di tempat saya bekerja, Harian Kompas, di tahun 1980 atau bahkan 1970-an. Zaman komputer belum menguasai dunia, segala aktivitas tulis menulis mutlak ada di tangan mesin tik manual yang suaranya bising bukan kepalang. Saat saya masuk bekerja tahun 1990, mesin tik sudah tergusur, tergantikan mesin komputer canggih pada zamannya. Menggunakan program untuk menulis WS4 saja waktu itu sudah merasa menguasai dunia, sudah merasa menjadi bagian dari manusia-manusia cyber.



Hari pertama di Jakarta, misalnya, saya pernah ditegur pemilik rumah kost gara-gara masih bersemangat menekan tuts-tuts mesin tik merek Brother sampai larut malam. Bayangkan, dengan ruangan yang tidak begitu luas dan dengan meja yang saling berdekatan satu sama lain, betapa bisingnya kantor redaksi saat menjelang tenggat waktu berakhir. Dan ketika pikiran sedang mengalir, tidak ada suatu apapun yang bisa menghentikannya!



Kembali ke soal pikiran macet alias buntu. Apa yang harus dilakukan? Itu tadi, sekadar ingin terbebas dari penderitaan teman saya sampai menghabiskan berlembar-lembar kertas yang kemudian hanya menjadi penghuni keranjang sampah, habis berbatang-batang rokok, dan menandaskan kopi kental beberapa kali. Ketika editor menanyakan tulisannya untuk segera disetorkan, ia hanya berdesah, “Belum kelar, Bos, sori!”



Itu cerita lama. Zaman sudah berubah. Sekarang setiap penulis, baik amatiran maupun pro, wartawan dan bahkan ibu-ibu rumah tangga, terbiasa menulis di depan komputer. Sekarang menulis bahkan di atas communicator yang ukurannya tidak lebih besar dari telapak tangan. Tidak ada lagi berlembar-lembar kertas terbuang, tidak perlu lagi tip-ex untuk menghapus huruf yang salah di atas mesin tik. Semua huruf , kata atau kalimat yang salah dengan mudah di-delete, diamankan dan disimpan secara otomatis, bahkan bisa diedit kapanpun jika mau.



Tetapi kalau terkena pikiran macet? Tetap saja tulisan tidak akan pernah selesai. Jadi, baik menulis di atas mesin tik, komputer maupun communicator, kalau macet pikiran menghadang, perkaranya tetap sama saja. Pertanyaannya, mengapa pikiran macet saat menulis? Ada beberapa sebab.



Pertama, kita ingin awal tulisan itu bagus. Untuk menjadi bagus, sering ada anggapan bahwa tulisan itu harus masuk ketagori luar biasa, bukan biasa-biasa saja, spektakuler. Ada efek mengentak di awal pembukaan, sehingga membuat orang terperangah, terusik, dan syukur kalau sampai berdecak kagum. Berdasarkan pengalaman, saya menganggap ini pemahaman yang keliru. Pikiran Anda terlalu dikuasai hal-hal yang tidak perlu yang belum terjadi. Pikiran Anda terpenjara oleh ambisi sendiri untuk mengejutkan orang.



Percayalah, untuk mencuri perhatian orang, tidak perlu memberi rangkaian kata yang mengejutkan! Salah-salah pembaca terkena shock yang ujung-ujungnya malas melanjutkan membaca tulisan kita. Kontraproduktif. Karena terobsesi membuat kejutan di awal tulisan, akhirnya penulis terjebak kata-kata bombastis, vulgar, sarkastis, sadistis, hiperbolis, megalomanis dengan membesar-besarkan fakta. Hati-hati, semua itu sudah dekat dengan kebohongan!



Penyakit ini kerap berjangkit pada setiap penulis, dari penulis pemula sampai penulis manula yang kaya pengalaman. Itu tadi, ingin para pembaca itu terkejut dengan kata-kata atau kalimat pertama kita. Hasilnya, kita tidak akan pernah puas dengan satu atau dua kalimat. Hapus, hapus, dan hapus lagi. Pastilah tuts komputer untuk “delete” atau “backspace” terus ditekan sampai gundul. Hasilnya? Layar komputer masih bersih, kursor berkedip-kedip seperti ikut lelah dan putus asa, dan tulisan tidak pernah jadi.



Oke deh… Saya akan melanjutkan uraian ini lain waktu. Sekarang, saya harus bekerja dulu. Wassalam!

No comments: