Jika Pikiran Macet (2)
SETELAH mengupas penyebab pertama pikiran macet saat menulis pada postingan 9 September 2007 lalu (lihat Berbagi Pengalaman Menulis 30), yaitu adanya hasrat si penulis untuk mengejutkan pembacanya dengan membuat lead sespektakuler mungkin, saya mau melanjutkan dengan membahas penyebab kedua, yaitu hasrat ingin hasil tulisan sempurna.
Percayalah akan peribahasa lama, tak ada gading yang tak retak. Sesempurnanya mobil atau rumah, pasti ada cacatnya. Demikian pula tulisan. Jadi jangan terlalu berharap tulisan yang ingin kita buat itu (baik cerpen, opini maupun catatan harian) hasilnya sangat sempurna. Lagi pula sempurna menurut siapa?
Hasrat ingin agar hasil tulisan sempurna biasanya menjebak kita pada pikiran yang macet. Sesuatu yang diimpikan atau dihayalkan bisa menjerat otot-otot kreativitas berpikir kita menjadi mandek dan bahkan beku, sebab apa yang kita buat ukurannya menjadi “tidak sempurna”. Karena itulah perintah di otak pun tidak otomatis menyuruh tangan bergerak di atas tuts komputer atau menggerakkan pena di atas kertas untuk segera menyusun kalimat pertama, tetapi terbelenggu pikiran harus menghasilkan tulisan yang sempurna itu.
Syukur kalau sudah mulai menyusun satu persatu kata untuk merangkai kalimat. Lebih parah kalau ide hanya berhenti di pikiran atau di khalayan saja. Kalaupun kemudian sudah memulai dengan membuat kalimat pertama di awal tulisan atau yang biasa disebut lead pada berita, kita akan membacanya berulang-ulang. Dua kali, tiga, lima, atau bahkan belasan kali! Tentu saja waktu kita akan tersedot karenanya. Mubadzir dan sia-sia.
Membaca berulang-ulang tulisan kita hanya karena kita ingin menghasilkan tulisan yang sempurna adalah pekerjaan sia-sia. Kalau sahabat seorang wartawan, maka setiap hari akan dimaki editor. Boleh jadi besok-besok akan dipecat karena dianggap menghambat produksi. Artinya, jangan terlalu banyak membaca ulang tulisan awal kita. Salah-salah, tulisan itu akan dihapus lagi karena tidak sesuai harapan Anda, yakni ingin sebuah tulisan yang sempurna.
Membaca berulang-ulang sebuah tulisan yang belum usia hanya membuang-buang waktu belaka. Saya kira sahabat harus belajar pada air sungai dalam hal ini, yakni biarkan air mengalir terlebih dahulu. Biarkan pikiran dan ide kita tertuang dalam tulisan. Labrak saja. Jangan pikir huruf salah, kata kurang tepat, kalimat belepotan, tanda baca keliru, atau alinea kacau. Tulis dan tulis saja, terus dan terus saja. Ingat, pikiran sahabat adalah air yang mengalir yang tidak bisa terbendung, paling tidak untuk sementara waktu.
Setelah sahabat bisa menyiasati hal kedua ini, yakni terbebas dari pikiran ingin menghasilkan sebuah tulisan yang sempurna, saya akan melangkah kepada hal ketiga. Tetapi tidak kali ini, lain waktu. Wasallam…
SETELAH mengupas penyebab pertama pikiran macet saat menulis pada postingan 9 September 2007 lalu (lihat Berbagi Pengalaman Menulis 30), yaitu adanya hasrat si penulis untuk mengejutkan pembacanya dengan membuat lead sespektakuler mungkin, saya mau melanjutkan dengan membahas penyebab kedua, yaitu hasrat ingin hasil tulisan sempurna.
Percayalah akan peribahasa lama, tak ada gading yang tak retak. Sesempurnanya mobil atau rumah, pasti ada cacatnya. Demikian pula tulisan. Jadi jangan terlalu berharap tulisan yang ingin kita buat itu (baik cerpen, opini maupun catatan harian) hasilnya sangat sempurna. Lagi pula sempurna menurut siapa?
Hasrat ingin agar hasil tulisan sempurna biasanya menjebak kita pada pikiran yang macet. Sesuatu yang diimpikan atau dihayalkan bisa menjerat otot-otot kreativitas berpikir kita menjadi mandek dan bahkan beku, sebab apa yang kita buat ukurannya menjadi “tidak sempurna”. Karena itulah perintah di otak pun tidak otomatis menyuruh tangan bergerak di atas tuts komputer atau menggerakkan pena di atas kertas untuk segera menyusun kalimat pertama, tetapi terbelenggu pikiran harus menghasilkan tulisan yang sempurna itu.
Syukur kalau sudah mulai menyusun satu persatu kata untuk merangkai kalimat. Lebih parah kalau ide hanya berhenti di pikiran atau di khalayan saja. Kalaupun kemudian sudah memulai dengan membuat kalimat pertama di awal tulisan atau yang biasa disebut lead pada berita, kita akan membacanya berulang-ulang. Dua kali, tiga, lima, atau bahkan belasan kali! Tentu saja waktu kita akan tersedot karenanya. Mubadzir dan sia-sia.
Membaca berulang-ulang tulisan kita hanya karena kita ingin menghasilkan tulisan yang sempurna adalah pekerjaan sia-sia. Kalau sahabat seorang wartawan, maka setiap hari akan dimaki editor. Boleh jadi besok-besok akan dipecat karena dianggap menghambat produksi. Artinya, jangan terlalu banyak membaca ulang tulisan awal kita. Salah-salah, tulisan itu akan dihapus lagi karena tidak sesuai harapan Anda, yakni ingin sebuah tulisan yang sempurna.
Membaca berulang-ulang sebuah tulisan yang belum usia hanya membuang-buang waktu belaka. Saya kira sahabat harus belajar pada air sungai dalam hal ini, yakni biarkan air mengalir terlebih dahulu. Biarkan pikiran dan ide kita tertuang dalam tulisan. Labrak saja. Jangan pikir huruf salah, kata kurang tepat, kalimat belepotan, tanda baca keliru, atau alinea kacau. Tulis dan tulis saja, terus dan terus saja. Ingat, pikiran sahabat adalah air yang mengalir yang tidak bisa terbendung, paling tidak untuk sementara waktu.
Setelah sahabat bisa menyiasati hal kedua ini, yakni terbebas dari pikiran ingin menghasilkan sebuah tulisan yang sempurna, saya akan melangkah kepada hal ketiga. Tetapi tidak kali ini, lain waktu. Wasallam…
1 comment:
tips menulis yang menarik, nuhun kang.
Post a Comment