Dimana Mereka Sekarang?
TIDAK sering saya pulang kampung, bisa dihitung jari dalam setahun. Akhir-akhir ini, kalau pun pulang kampung, tidak pakai menginap merasakan kesejukan udara dan wangi tanah kelahiran. Datang sebentar, lalu pergi tanpa kesan. Padahal, di tanah kelahiran inilah, desa Ciawi, Tasikmalaya, separuh nafas saya tertinggal. Kelak jika saya mati, saya ingin tubuh ini ditanam di sana, di tanah dimana saya dilahirkan!
Selalu ada cerita kalau saya berada di tanah kelahiran. Setidak-tidaknya mencium aroma jerami dan tanah sawah, ingatan melayang ke masa silam. Ke masa-masa saya kanak-kanak dulu, ke masa dimana saya pernah disuapi almarhumah Ibu nasi dan ikan gurami goreng yang masih panas. Telur ayam tinggal ambil saja dari kandang. Kadang belut pepes yang masih mengepul dan diambil dari bara panas menjadi makanan sehari-hari.
Itu peristiwa empat dasawarsa lalu, saat saya masih berumur tiga atau empat tahun. Belut adalah makanan favorit saya sejak kecil, sampai ini hari. Bertemu daging sapi, mungkin hanya dua atau tiga kali dalam setahun. Bukan tidak mau, tetapi mungkin Ibu menganggap tidak perlu. Selebihnya apa yang ada di sekeliling rumah saja, mulai beras, lalap-lalapan, telur, belut, dan ikan. Tentunya di Ciawi, tanah kelahiran saya itu. Suasananya seperti foto di atas, yang diambil rekan Amir Sodikin tahun 2006 lalu.
Sewaktu saya bersekolah dasar di SD Ciawi I, masuk 1972 sampai 1977, saya punya sahabat karib dalam bermain. Kami akrab mulai kelas dua atau tiga, ketika sudah sedikit tahu arti pertemanan. Karib saya itu adalah Dadan Hamdani, Asep Dedi, Asep Wahyu, dan Uus Kusnadi. Berlima kami sering berenang di Ciherang di Leles, yang dulu airnya sangat bening. Makanya disebut ciherang, berarti air yang bening. Kami berenang dengan telanjang bulat, tanpa malu-malu, dan diam-diam sering membandingkan satu sama lain.
Ketika berada di kampung halaman, kadang terlintas teman-teman saya itu. Dimana mereka sekarang setelah empat puluh tahun berlalu?
Maksud saya menulis catatan ini adalah, saya ingin mendapat respons dari teman-teman saya sewaktu di SD itu. Setidak-tidaknya jika ada di antara sahabat yang membaca tulisan ini dan kebetulan tahu keberadaan teman-teman saya itu, sahabat bisa menyampaikannya agar kontak saya bisa terjalin kembali. Sengaja saya menebalkan nama teman-teman saya itu, agar lebih mudah dibaca.
Saya coba mengandalkan ingatan saya untuk menyebut teman-teman saya itu, tentunya mohon maaf kepada mereka yang terlewat saya sebut. Selain keempat teman yang sudah saya sebutkan di atas, teman-teman saya lainnya yang saya ingat adalah: Cucu Suryana, Eman Sulaeman, Sumpena, Titin A, Titin B, Lela Kamila, Oki, Eli, Kuslia, Cicih Sukaesih, Ida, Adah, Eti, Elsa, Mimi, Nanih, Nono, Iin, Endang, Atikah, Sumarni, Apong, Gan Mamat, Agus Ridar dan Riki. Nama yang saya sebut terakhir, Riki, adalah kakak penyanyi Vetti Vera dan Adam. Riki bahkan pernah “kos” di rumah orangtua selama setahun.
Terbatas sekali ingatan saya. Setidak-tidaknya itu saja dululah. Coba saya ingat-ingat lagi yang lainnya…
TIDAK sering saya pulang kampung, bisa dihitung jari dalam setahun. Akhir-akhir ini, kalau pun pulang kampung, tidak pakai menginap merasakan kesejukan udara dan wangi tanah kelahiran. Datang sebentar, lalu pergi tanpa kesan. Padahal, di tanah kelahiran inilah, desa Ciawi, Tasikmalaya, separuh nafas saya tertinggal. Kelak jika saya mati, saya ingin tubuh ini ditanam di sana, di tanah dimana saya dilahirkan!
Selalu ada cerita kalau saya berada di tanah kelahiran. Setidak-tidaknya mencium aroma jerami dan tanah sawah, ingatan melayang ke masa silam. Ke masa-masa saya kanak-kanak dulu, ke masa dimana saya pernah disuapi almarhumah Ibu nasi dan ikan gurami goreng yang masih panas. Telur ayam tinggal ambil saja dari kandang. Kadang belut pepes yang masih mengepul dan diambil dari bara panas menjadi makanan sehari-hari.
Itu peristiwa empat dasawarsa lalu, saat saya masih berumur tiga atau empat tahun. Belut adalah makanan favorit saya sejak kecil, sampai ini hari. Bertemu daging sapi, mungkin hanya dua atau tiga kali dalam setahun. Bukan tidak mau, tetapi mungkin Ibu menganggap tidak perlu. Selebihnya apa yang ada di sekeliling rumah saja, mulai beras, lalap-lalapan, telur, belut, dan ikan. Tentunya di Ciawi, tanah kelahiran saya itu. Suasananya seperti foto di atas, yang diambil rekan Amir Sodikin tahun 2006 lalu.
Sewaktu saya bersekolah dasar di SD Ciawi I, masuk 1972 sampai 1977, saya punya sahabat karib dalam bermain. Kami akrab mulai kelas dua atau tiga, ketika sudah sedikit tahu arti pertemanan. Karib saya itu adalah Dadan Hamdani, Asep Dedi, Asep Wahyu, dan Uus Kusnadi. Berlima kami sering berenang di Ciherang di Leles, yang dulu airnya sangat bening. Makanya disebut ciherang, berarti air yang bening. Kami berenang dengan telanjang bulat, tanpa malu-malu, dan diam-diam sering membandingkan satu sama lain.
Ketika berada di kampung halaman, kadang terlintas teman-teman saya itu. Dimana mereka sekarang setelah empat puluh tahun berlalu?
Maksud saya menulis catatan ini adalah, saya ingin mendapat respons dari teman-teman saya sewaktu di SD itu. Setidak-tidaknya jika ada di antara sahabat yang membaca tulisan ini dan kebetulan tahu keberadaan teman-teman saya itu, sahabat bisa menyampaikannya agar kontak saya bisa terjalin kembali. Sengaja saya menebalkan nama teman-teman saya itu, agar lebih mudah dibaca.
Saya coba mengandalkan ingatan saya untuk menyebut teman-teman saya itu, tentunya mohon maaf kepada mereka yang terlewat saya sebut. Selain keempat teman yang sudah saya sebutkan di atas, teman-teman saya lainnya yang saya ingat adalah: Cucu Suryana, Eman Sulaeman, Sumpena, Titin A, Titin B, Lela Kamila, Oki, Eli, Kuslia, Cicih Sukaesih, Ida, Adah, Eti, Elsa, Mimi, Nanih, Nono, Iin, Endang, Atikah, Sumarni, Apong, Gan Mamat, Agus Ridar dan Riki. Nama yang saya sebut terakhir, Riki, adalah kakak penyanyi Vetti Vera dan Adam. Riki bahkan pernah “kos” di rumah orangtua selama setahun.
Terbatas sekali ingatan saya. Setidak-tidaknya itu saja dululah. Coba saya ingat-ingat lagi yang lainnya…
No comments:
Post a Comment