Friday, May 04, 2007

Catatan (16): "Ngeblog" Lagi





Setelah Suasana Terkuasai....



BANYAK teman bertanya mengapa selama satu bulan lebih, sepanjang bulan Maret hingga April, blog Beranda T4 Berbagi tidak pernah diisi? Malas, bosan atau sudah capek menulis?



Tentu saja tidak. Tidak ada kata "malas", "bosan", apalagi "capek" dalam menulis. Memang sepanjang April itu, artikel saya tidak muncul pula di Harian Kompas. Ini pun orang bertanya-tanya, setidaknya sahabat-sahabat dekat saya.



Benar, saya tidak mengisi blog ini, tetapi bukan berarti saya berhenti menulis. Saya tetap menulis. Ada kerinduan saya untuk kembali menulis cerita bersambung atau novel, seperti yang pernah saya lakukan 13 tahun lalu. Cerber saya antara lain dimuat di majalah remaja "Hai" dan "Aneka Yesss". Entah kerinduan macam apa yang menggerakkan jari saya untuk mencoba menulis cerber kembali. Sekarang cerber remaja itu sudah selesai seperempat jalan. Tidak ada salahnya kalau bagian "Prolog" atau bagian pembuka sebuah cerita remaja ini saya tampilkan di sini, di bawah ini.



Akan tetapi yang tidak terhindarkan, selama tiga bulan terakhir ini, saya menjadi "gila" membaca dan bahkan nyaris tidak terkendali. Ketika ada pameran buku di Istora Senayan, dompet saya terkuras habis untuk membeli sekitar 50-an buku, belum dari toko-toko buku. Seakan-akan berlomba dengan Mbak Sri Hartati Samhadi, kolega saya di pekerjaan, yang kebetulan sama-sama menghadiri pameran.



Sekadar menyebut beberapa judul buku yang saya baca selama tiga bulan terakhir itu antara lain "The Kite Runner", "Sang Sejarawan", "Biografi Muhammad", "Abrahamic Faiths", "Perang Suci", "Judas Iskariot", "Perang Salib dari kajian Islam", "The Historty of Arabs", "Intel", "Taliban", "Misteri Angka", "Dewa 19", "Bagito", dan masih banyak lagi, yang tidak bisa saya sebutkan semuanya di sini. Di perpustakaan kecil pribadi saya, masih ada belasan buku yang belum dikupas sampul plastiknya, masih tersusun rapi dalam rak buku, tetapi tidak lama lagi akan saya lahap semuanya, antara lain "Jilbab", "Haji", dan "Great Transformation"!



Oh, ya... soal pekerjaan di kantor. Mulai 1 April lalu, kantor menugaskan saya untuk mengurusi Kompas Online (KCM). Itu berarti, persis satu tahun saya bertugas di Desk Investigasi (Fokus) . Sekarang saya bekerja sebagai wakil kepala desk multimedia, desk yang mensuplai berita untuk KCM. Jelas, setiap penugasan adalah amanah, dan amanah itu saya jalankan dengan sepenuh hati. Tentu saja saya juga menulis berita di www.kompas.com itu. Saya diberi kebebasan untuk memberi atau menciptakan konten baru dan saya enjoy karenanya...
Dengan berbekal alat kerja dari kantor berupa palmtop yang bisa berfungsi sebagai PC Tablet, plus sambungan internet nirkabel, itu memungkinkan saya bisa bekerja di rumah atau dimanapun saya berada, selagi palmtop Fujitsu saya tersambung dengan internet. Bahkan selagi berada di kendaraan, saya bisa meng-upload berita dan memeriksa berita dari 100 wartawan Kompas yang semuanya dibekali communicator Nokia, khusus untuk Kompas Online.
Sungguh suatu situasi kerja yang sangat ideal dan menyenangkan, setidak-tidaknya yang saya rasakan sendiri. Tentu saja kenikmatan kerja yang saya rasakan ini berkat konsistensi saya menulis, khususnya menulis tentang perkembangan media massa online akhir-akhir ini.



Oke deh... agar tidak lupa, sebagaimana saya janjikan tadi, saya tulis bagian "Prolog" dari cerita bersambung saya yang masih saya kerjakan, meski tentu saja masih kasar. Saya tidak berpretensi untuk membukukannya, hanya senang menulis saja. Mungkin setelah selesai saya baru mempertimbangkannya, apakah menerbitkannya sendiri atau mengirimkan ke majalah, siapa tahu mereka berminat. Silakan....



PROLOG



SITI baru yakin diri kalau ia kini berada di sebuah ruang tertutup. Ruang isolasi sebuah penjara. Di ruangan dua kali satu setengah meter itu, layaknya ukuran luas sebuah kuburan, tidak ada perlengkapan apa-apa selain tembok dingin sekelilingnya.




Sewaktu usia enam, oleh teman-teman sepermainannya ia pernah dikurung dan dikunci dari luar di sebuah leuit, peti penyimpanan beras. Gelap dan pengap, seolah-olah hanya dia sendirilah yang hidup sebatang kara di dunia ini. Ia berontak, berteriak, dan menggedor-gedor peti itu dari dalam sebelum teman-temannya membuka kembali penutup peti itu sambil cekikikan. Sebaliknya, batin Siti menjerit dalam, tetapi tidak pernah ia ungkapkan dalam tangisan. Ini cuma permainan.



Tiga belas tahun kemudian trauma lama terulang kembali. Dulu ia bisa menggedor-gedor peti beras dari dalam, dalam kegelapan. Kini ia tidak bisa menggedor-gedor tembok dingin penjara yang melingkupi tubuhnya. Terlalu keras untuk sekedar ia gedor. Lagipula, siapa yang akan peduli dan membukakan pintu besi penjara untuknya. Tidak ada teman-teman yang dulu membukakan leuit untuknya setelah beberapa saat ia menderita.



Memang menderita, tetapi itu hanya dalam permainan anak-anak desa. Sekarang bukan lagi permainan. Ini dunia nyata.




Di ruang isolasi ini tidak ada daun jendela, yang ada hanyalah sebuah jeruji besi yang letaknya terlalu tinggi sebagai jendela biasa. Sebuah pintu besi yang sedikit lebih besar dari ukuran tubuh mengurungnya rapat. Lampu listrik yang menggantung di atas langit-langit hanya berkekuatan lima watt, yang mungkin hanya mampu menerangi jarak pandang sejauh tiga meter.



Gadis usia sembilan belas itu berupaya mengingat kejadian beberapa waktu lalu yang mengantarkannya ke sel isolasi penjara Polda Metro Jaya sel khusus wanita. Persisnya kejadian tadi malam, beberapa jam sebelum ia diseret ke tahanan isolasi karena dianggap berbahaya. Ya, gadis yang sangat berbahaya sehingga hanya ruang isolasi ini sajalah yang pantas untuknya!



Di luar penjara, puluhan wartawan koran cetak maupun media massa elektronik menunggu dengan tidak sabar kesempatan polisi memperlihatkan tersangka yang membunuh seorang mucikari ternama, setidak-tidaknya di kalangan pria hidung belang berkantong tebal. Mucikari yang selama ini dikenal sebagai pensuplai perempuan-perempuan muda pekerja seks kepada para pejabat, pengusaha, juga orang asing.



Siti adalah koleksi terbaru si mucikari. Tidak terlalu cantik, tetapi ia berparas manis. Perempuan belia itu kini harus mendekam di ruang isolasi dengan tangan yang masih tersaput darah kering. Tadi malam si mucikari menemui ajal secara mengenaskan dengan belasan luka tusukan di tubuh gemburnya. Kini gadis itu menekuk lutut di sudut sel yang gelap. Pikirannya berusaha mencerna apa yang telah terjadi sesungguhnya.

***

No comments: