Jika Tertekan Waktu
WARTAWAN akan selalu ditekan waktu. Ini hukum yang harus dipahami secara baik oleh mereka yang hendak terjun di profesi ini. Ditekan editor atau atasan kita, itu biasa. Paling tidak konduite akan anjlok jika kita mengerjakan tidak sesuai harapan mereka. Ini subyektif. Tetapi jika ditekan waktu? Ini baru luar biasa.
Sang Waktu bukanlah makhluk hidup seperti halnya editor yang bisa memelototkan mata sampai nyaris keluar atau berkacak pinggang, tetapi ia (waktu) lebih berkharisma dan disegani karena ia obyektif. Ia punya otoritas untuk menilai apakah seseorang mampu atau tidak menjadi wartawan yang baik. Dengan sendirinya waktu menjadi sang penentu. Tidak ada yang lebih membahagiakan hati seorang wartawan jika ia bisa melepaskan diri dari tekanan waktu.
Dulu semasa Orde Baru berkuasa, muktamar atau kongres sebuah organisasi harus diliput secara penuh, sampai sang ketua organisasi tersebut terpilih. Pernah saat pemilihan Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) di Asrama Pondok Haji tahun 1996-1997, saya tidak cukup waktu untuk pulang ke kantor di Palmerah, apalagi menulis, sebab waktu sudah menunjukkan pukul 24.00 tengah malam alias koran sudah nyaris "tutup warung".
Akan tetapi, editor politik saya saat itu, James Luhulima, memberi peluang proses terpilihnya ketua KNPI baru itu di halaman pertama, sehingga masih ada sedikit waktu. Darimana sedikit waktu itu? Dari Handi Talkie alias HT! Maklum, saat itu ponsel belum memasar, sehingga hanya alat komunikasi dua arah itulah yang bisa saya pergunakan. Maka, bikinlah saya berita di kepala hanya dengan mengandalkan coretan di notes, lalu saya komunikasikan ke editor. Di sana, James akan menuliskan kata-kata saya di atas papan ketik komputernya. Kapan lagi bisa memerintah editor dengan daulat sebesar itu? Mendikte!
Kadang dalam kesempatan lain, misalnya saat ada tamu penting ke kediaman Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Ciganjur, saya harus nongkrong di sana sampai larut malam. Ketika sampai di kantor, editor dengan enteng mengatakan, "Waktumu sepuluh menit!"
Bayangkan, belum juga rasa capek mengemudi dari Ciganjur-Palmerah yang lumayan berbilang jarak itu, kita harus menyelesaikan satu berita hanya dalam tempo sepuluh menit hanya karena waktu sudah menjelang tengah malam. Anehnya, entah ada kekuatan darimana, berita bisa diselesaikan dengan baik. Disebut dengan baik, toh berita itu bisa dan layak muat di koran yang besok akan dibaca jutaan pembaca itu.
Kelak saya akan berbagi pengalaman darimana "kekuatan" menulis dalam ketersediaan waktu yang sangat minim itu datang?
Di sini ada tips bagaimana menerjemahkan berita dari wires atau kantor berita asing jika dipandang berita itu sangat penting, atau menarik perhatian karena akan dibaca oleh komunitas yang besar. Mengapa harus diambil dari wires, banyak alasannya. Mungkin wartawan tidak memperoleh berita atau itu memang berita luar negeri yang punya pengaruh di negeri ini. Kalau dari kantor berita Antara yang berbahasa Indonesia, itu tinggal copy paste saja. Urusan selesai. Tetapi kalau berita berbahasa Inggris atau Perancis, jelas harus dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia.
Bagaimana mengalihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dengan cepat saat ditekan waktu? Saran saya: terjemahkan apa adanya! Tidak perlu bumbu-bumbu pemanis kata, persis seperti apa yang tertulis saja, bila perlu kutipannya pun sama. Niscaya, satu berita dari wires bisa selesai hanya dalam tempo kurang dari sepuluh menit!
Di bawah ini adalah berita tentang tinju dari kantor berita asing AFP (Agance France Press) yang saya alihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dalam waktu kurang dari sepuluh menit itu dan dimuat untuk Kompas.com atau Kompas Cyber Media (KCM) edisi Jumat, 18 Mei, hari ini pukul 05.00.
WARTAWAN akan selalu ditekan waktu. Ini hukum yang harus dipahami secara baik oleh mereka yang hendak terjun di profesi ini. Ditekan editor atau atasan kita, itu biasa. Paling tidak konduite akan anjlok jika kita mengerjakan tidak sesuai harapan mereka. Ini subyektif. Tetapi jika ditekan waktu? Ini baru luar biasa.
Sang Waktu bukanlah makhluk hidup seperti halnya editor yang bisa memelototkan mata sampai nyaris keluar atau berkacak pinggang, tetapi ia (waktu) lebih berkharisma dan disegani karena ia obyektif. Ia punya otoritas untuk menilai apakah seseorang mampu atau tidak menjadi wartawan yang baik. Dengan sendirinya waktu menjadi sang penentu. Tidak ada yang lebih membahagiakan hati seorang wartawan jika ia bisa melepaskan diri dari tekanan waktu.
Dulu semasa Orde Baru berkuasa, muktamar atau kongres sebuah organisasi harus diliput secara penuh, sampai sang ketua organisasi tersebut terpilih. Pernah saat pemilihan Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) di Asrama Pondok Haji tahun 1996-1997, saya tidak cukup waktu untuk pulang ke kantor di Palmerah, apalagi menulis, sebab waktu sudah menunjukkan pukul 24.00 tengah malam alias koran sudah nyaris "tutup warung".
Akan tetapi, editor politik saya saat itu, James Luhulima, memberi peluang proses terpilihnya ketua KNPI baru itu di halaman pertama, sehingga masih ada sedikit waktu. Darimana sedikit waktu itu? Dari Handi Talkie alias HT! Maklum, saat itu ponsel belum memasar, sehingga hanya alat komunikasi dua arah itulah yang bisa saya pergunakan. Maka, bikinlah saya berita di kepala hanya dengan mengandalkan coretan di notes, lalu saya komunikasikan ke editor. Di sana, James akan menuliskan kata-kata saya di atas papan ketik komputernya. Kapan lagi bisa memerintah editor dengan daulat sebesar itu? Mendikte!
Kadang dalam kesempatan lain, misalnya saat ada tamu penting ke kediaman Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Ciganjur, saya harus nongkrong di sana sampai larut malam. Ketika sampai di kantor, editor dengan enteng mengatakan, "Waktumu sepuluh menit!"
Bayangkan, belum juga rasa capek mengemudi dari Ciganjur-Palmerah yang lumayan berbilang jarak itu, kita harus menyelesaikan satu berita hanya dalam tempo sepuluh menit hanya karena waktu sudah menjelang tengah malam. Anehnya, entah ada kekuatan darimana, berita bisa diselesaikan dengan baik. Disebut dengan baik, toh berita itu bisa dan layak muat di koran yang besok akan dibaca jutaan pembaca itu.
Kelak saya akan berbagi pengalaman darimana "kekuatan" menulis dalam ketersediaan waktu yang sangat minim itu datang?
Di sini ada tips bagaimana menerjemahkan berita dari wires atau kantor berita asing jika dipandang berita itu sangat penting, atau menarik perhatian karena akan dibaca oleh komunitas yang besar. Mengapa harus diambil dari wires, banyak alasannya. Mungkin wartawan tidak memperoleh berita atau itu memang berita luar negeri yang punya pengaruh di negeri ini. Kalau dari kantor berita Antara yang berbahasa Indonesia, itu tinggal copy paste saja. Urusan selesai. Tetapi kalau berita berbahasa Inggris atau Perancis, jelas harus dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia.
Bagaimana mengalihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dengan cepat saat ditekan waktu? Saran saya: terjemahkan apa adanya! Tidak perlu bumbu-bumbu pemanis kata, persis seperti apa yang tertulis saja, bila perlu kutipannya pun sama. Niscaya, satu berita dari wires bisa selesai hanya dalam tempo kurang dari sepuluh menit!
Di bawah ini adalah berita tentang tinju dari kantor berita asing AFP (Agance France Press) yang saya alihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dalam waktu kurang dari sepuluh menit itu dan dimuat untuk Kompas.com atau Kompas Cyber Media (KCM) edisi Jumat, 18 Mei, hari ini pukul 05.00.
Taylor Pertahankan Mahkota Tinju Melawan Spinks
TENNESSEE, KAMIS- Juara tinju kelas menengah World Boxing Council (WBC) tak terkalahkan Jermain Taylor akan mempertahankan mahkotanya melawan juara kelas menengah ringan Cory Spinks, Sabtu mendatang atau Minggu waktu Indonesia, dalam pertandingan 12 ronde.
Taylor yang membukukan kemenangan 26-0, hanya satu kali seri dengan 17 knockouts (KO) lebih difavoritkan menang atas Spinks yang kini menorehkan prestasi 36-3 dengan 11 KO, dalam upayanya mempertahankan gelar juara yang keempat kalinya.
Putra mantan juara dunia tinju kelas berat Leon Spinks ini adalah juara tinju kelas menengah ringan International Boxing Federation (IBF) dan mantan juara kelas welter yang naik kelas untuk mencoba merebut mahkota Taylor.
“Cory petinju yang sangat bagus dan saya sangat menghormatinya," kata Taylor. Ia menambahkan, “Kami sudah saling mengenal sejak kami di amatir. Saya tahu ia akan mempersiapkan diri dengan baik untuk merebut sabuk juara saya dan saya tidak akan menganggapnya enteng."
“Ia juga seorang juata dunia dan Anda harus hormat kepada petarung seperti ini," kata Taylor.
Taylor menang angka tipis dalam pertarungan 12 ronde melawan Bernard Hopkins tahun 2005, mengakhiri pemegang juara selama 12 tahun. Ia juga bertarung melawan Winky Wright dengan hasil seri sebelum menang atas petinju Uganda Kassim Ouma Desember lalu.
“Semua pertarungan itu membuat saya menjadi petarung yang lebih baik dan saya belajar dari mereka semua,” kata Taylor.
Bagi Spinks ini akan menjadi pertarungan legendaris seperti yang dilakukan ayahnya dulu. Leon Spinks mengalahkan Muhammad Ali tahun 1978 dan menggenggam mahkota juara dunia tinju kelas berat selama tujuh bulan sebelum Ali mengumumkan keinginan pertarungan ulang.
“Ayah memberi saya inspirasi bahwa saya merasa dapat melakukannya,” Cory Spinks mengatakan. “Berkesempatan melawan dia (Taylor) akan memberi saya tambahan tenaga. Itu akan membuat saya bertarung lebih keras."
“Ia mengalahkan juara tinju yang lebih besar dan itulah yang akan saya lakukan melawan Jermain," pungkas Spinks.
No comments:
Post a Comment