Monday, October 16, 2006

Berbagi Pengalaman Menulis (10)


Memulai Menulis Fiksi Lebih Mudah?

Benarkah memulai menulis fiksi lebih mudah dibanding memulai menulis nonfiksi? Jawabannya relatif. Bagi yang terbiasa menulis berita, artikel atau analisa (nonfiksi), memulai menulis fiksi jauh lebih sulit. Demikian pula sebaliknya, bagi mereka yang terbiasa menulis cerita pendek atau novel, memulai menulis nonfiksi adalah siksaan.

Sekelumit contoh kasus di atas membawa kita pada satu kesadaran: benarkah orang terspesialisasi atau terkotak-kotak dalam menulis? Penulis fiksi hanya menulis fiksi dan penulis artikel hanya menulis artikel. Tidak bisakah penulis fiksi menulis artikel atau sebaliknya penulis nonfiksi menulis fiksi? Atau, adakah seseorang yang menguasai dua keterampilan dalam menulis sekaligus: menulis fiksi sekaligus nonfiksi?

Atas pengalaman saya sekian tahun menulis, saya harus katakan: bersyukurlah sahabat yang terbiasa menulis fiksi dibanding menulis artikel! Mengapa? Apakah menulis fiksi lebih sulit? Bukankah menulis fiksi tinggal mengkhayal saja lantas jadilah cerpen atau novel? Sekali lagi ini relatif. Tetapi saya katakan, menulis fiksi ternyata jauh lebih sulit! Terbiasa menghadapi hal-hal sulit adalah suatu keuntungan.

Menulis artikel, bukan bermaksud angkuh, adalah jauh lebih mudah karena kita pasti paham apa yang hendak kita tulis. Kita punya gagasan utama. Jika gagasan itu mentok, maka tinggal ambil buku-buku referensi, kita gares artikel terkait, dan kita kunyah seluruh informasi terbaru yang mendukung permasalahan yang mau kita tulis. Kita siap dengan segala amunisi, bukan? Makanya saya katakan menulis nonfiksi jauh lebih mudah. Bila tidak sepaham, sahabat bisa mendebatnya, silakan...

Kalau demikian menulis fiksi lebih sulit? Terpaksa harus saya katakan “ya”. Tetapi, saya tidak bermaksud menakut-nakuti atau mengendurkan semangat sahabat untuk menulis fiksi. Segala apa yang sudah kita anggap sebagai suatu kebiasaan, rutinitas, dan bahkan pekerjaan, pasti akan dengan mudah kita kerjakan. Demikian juga menulis fiksi. Jadi, jangan hanya sesekali dan coba-coba, terus saja menulis cerita, dimuat atau tidak dimuat media massa!

Sulitnya memulai menulis, fiksi maupun nonfiksi adalah “penyakit kronis” yang biasa datang menyergap penulis. Tetapi tidak ada penyakit yang tidak bisa disiasati untuk diobati sepanjang kita mau berusaha, bukan? Berikut tips ringan untuk memulai menulis fiksi maupun nonfiksi:

Pertama, kalau mentok dengan memulai sebuah tulisan, khususnya dalam menulis fiksi, mulailah dengan “bentuk percakapan” atau kutipan langsung:
“Jadi kamu yang membunuh perempuan muda itu, Badri?
“Aku terpaksa, benar-benar terpaksa, dia menuntutku kawin, aku belum siap.”
“Tetapi kenapa kamu harus membunuhnya!?”
“Aku khilaf, aku bingung…”

Dari percakapan atau kutipan langsung itu, alinea berikutnya baru kita masuk ke penggambaran suasana percakapan di atas, menggambarkan siapa pelaku percakapan, berikut suasana yang mendukung berlangsungnya percakapan itu.

Kedua, memulai menulis dengan melakukan pengataman intensif. Ini berlaku buat menulis fiksi maupun nonfiksi, tergantung gagasan yang hendak dikembangkan. Jika setiap pagi kita melihat pemulung pria setengah baya yang menyeret gerobak berpenumpang dua anak kecil lewat di rumah kita, misalnya, kita bisa memulainya dengan:
Pria berusia paruh baya itu setiap pagi lewat di depan rumah kami. Wajahnya tidak asing lagi, sebab ia satu-satunya pemulung yang menyeret gerobak sampah. Lebih tidak asing lagi, sebab ia selalu membawa serta dua anaknya di atas gerobak itu. Pernah kami berpikir, jangan-jangan ia bukan pemulung sampah, tetapi pemulung anak-anak!

Itu adalah aliena atau pembuka tulisan kita berdasarkan pengamatan kita terhadap seseorang, binatang, atau benda yang biasa kita lihat, kejadian yang berulang-ulang, Nah, sekarang sahabat sudah bisa menulis cerpen sendiri dengan melanjutkan alinea pembuka tulisan yang cukup nakal hasil pengamatan tersebut.

Ketiga, memulai tulisan dengan puisi buah karya pujangga ternama atau pidato negarawan besar, juga sering dipakai sebagai pembuka sebuah tulisan, daripada sulit mencari kalimat lainnya. Puisi bikinan sendiri juga boleh:
Kutikam jantungmu dengan pedang cintaku
Agar darah kasihmu yang segar bisa mengaliri seluruh arteri kehidupanku

Jadikanlah puisi ecek-ecek ini sebagai pembuka tulisan dan gambarkan apakah si tokoh cerita suka atau benci tulisan itu, lalu masuklah ke dalam alur cinta yang bisa saja tidak lagi terkait dengan puisi pembuka tulisan tadi.

Keempat, cuplikan peristiwa. Ini adalah moment of the truth, sebuah momen yang terekam dengan baik. Tentunya harus peristiwa yang tidak biasa, baik itu yang menyangkut drama kehidupan, upaya menyelamatkan seseorang dari kematian, atau kejadian mengejutkan lainnya. Misalnya:
Keretaapi itu meluncur di atas rel bagai peluru lepas dari senapan. Di ujung rel, seorang ibu berdiri menggendong anaknya, seakan-akan menantang kehadiran kendaraan besi itu datang. Penggembala kerbau itu tahu, ibu itu hendak mengakhiri hidupnya di atas rel panas. Tanpa pikir panjang, ia menerjang perempuan itu beberapa detik sebelum moncong keretaapi melumatkan tubuhnya berikut anaknya.

Kelima, masih ingat 'kan postingan saya tentang "Ibarat Langit dan Comberan"? Di sana saya celoteh soal kebalikan, perbandingan, atau perbedaan yang tajam. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak lepas dari unsur-unsur kebalikan ini, bukan? Baik-buruk, tinggi-rendah, hidup-mati, yin-yang, hitam-putih. Memulai tulisan fiksi atau nonfiksi, bisa dengan menggunakan perbandingan atau perbedaan tajam ini. Contohnya:
Dari balik kaca tembus pandang, Aini, pengemis cilik, itu hanya bisa menelan ludah saat memperhatikan anak-anak seusianya berpesta pora menyantap ayam goreng tepung MacDee. Air liurnya menetes hebat. Pikiran membayangkan enaknya menyantap makanan itu di saat udara dingin menggigit begini. Hal itu ia lakukan sekadar membujuk perutnya yang memberontak keras karena lapar tak tertahankan.

Keenam, mulailah tulisan dengan tokoh “aku”. Mengapa harus menokohkan “aku” atau diri sendiri. Boleh jadi karena kita akan jauh lebih muda menceritakan pengalaman diri sendiri daripada menggambarkan pengalaman orang lain. Bukankah dalam catatan harian kita selalu menceritakan tokoh “aku”? Maka, mulailah dengan tokoh “aku”:
Aku menyeret pemabuk jalanan itu ke pinggir jalan. Aku tahu, dia adalah pemabuk yang membuat nyawaku hampir melayang beberapa malam lalu akibat pisau yang dihujamkan ke arah pinggangku. Tetapi ketika pemabuk itu tergeletak di tengah jalan seperti binatang tak berdaya dengan ancaman roda-roda truk yang siap melindas, aku menyeretnya ke tepi jalan .

Dari sini, sahabat bisa melanjutkannya dengan mulai membuka sebuah percakapan antara “aku” dan “si pemabuk”, atau masih mendeskripsikan suasana malam yang kelam di sebuah pinggir jalan sepi itu. Pokoknya suka-suka saja. La liberte d’ecrivain, suka-suka penulis.

Memulai menulis nonfiksi jauh lebih terstruktur, bisa mulai dengan kutipan berita koran atau majalah, cuplikan peristiwa, kutipan sebuah buku atau kitab suci, kutipan pernyataan orang, dan masih banyak kisi-kisi lainnya yang memudahkan seseorang menulis tulisan nonfiksi. Tetapi yang penting, sekarang sahabat punya amunisi tambahan sebagai pendorong dalam memulai sebuah tulisan, tidak hanya terpukau dan terpaku pada rumus klasik Rudyard Kiplling "5W + 1H" seperti yang telah saya uraikan dalam kesempatan sebelumnya.

Pepih Nugraha
Palmerah, 14 Oktober 2006.

No comments: