Ponsel Untuk Ibu
Suara ibu terdengar begitu emosi, namun tidak dipungkiri terdapat rasa sedih disana. Ibu merasa semenjak bapak meninggal banyak saudara yang justru menjadi sombong, meskipun yang tetap baik juga masih banyak. "Padahal dulu mereka itu disekolahkan dan dibantu Bapak, tapi mana balas budi mereka sekarang??"
Meskipun dalam hati aku kurang setuju dengan konsep kalau sudah memberi maka harus dapat balas jasa, aku bisa memaklumi. Itu bukan sifat asli Ibu. Pernyataan itu muncul karena rasa sedih dan belum bisa menerima kalau sekarang beliau menjadi tergantung pada orang lain.
Walaupun ibu termasuk wanita mandiri, namun untuk urusan pulang kampung setiap odalan atau acara adat lainnya beliau seringkali berangkat dengan Bapak. Aku yang sudah menikah jarang bisa ikut karena kesibukan dengan keluarga,sementara adikku juga disibukkan dengan urusan pekerjaan dan sekolahnya. Jika sekarang menjadi tergantung pada saudara yang lain untuk urusan pulang kampung, maka aku sungguh maklum jika ibu merasa 'turun derajat'.
Memang sih aku sebenarnya merasa juga kalau sebagian dari saudara-saudara Bapak menjadi merasa punya kelebihan di banding kami semenjak Bapak meninggal. Dan sejak itu juga aku cukup sering menerima telpon dari ibu yang berkeluh kesah mengenai keadaan ini.
"Coba Luh bayangkan! Mereka sudah tahu ibu pasti pulang kalau ada odalan di Pura. Tapi mana niat baik mereka? Menelpon saja tidak untuk menawarkan berangkat sama-sama. Disangkanya ibu tidak bisa pulang sendiri apa?? Mereka terkejut melihat ibu sudah sampai duluan di kampung…".
Begitulah yang sering aku dengar saat menerima telpon curhat ibu. Aku cuma bisa menenangkan dan mencoba memberi pandangan dari sisi berbeda untuk menghibur ibu. "Mungkin mereka lupa Bu…, mungkin juga dipikirnya Ibu akan pulang dengan Luh dan adik-adik. Tidak usah diambil hatilah..Belum tentu mereka sengaja kan. Yang penting kan ibu sudah sempat sembahyang jadi lebih baik tidak usah berpikir yang bukan-bukan." Biasanya ibu bisa menerima penghiburanku, karena sesungguhnya beliau memang hanya membutuhkan pendengar. Selesai bercerita biasanya ibu sudah lega.
Aku bukannya tidak pernah mencoba mencari jalan keluar supaya ibu tidak merasa tersisihkan. Yang sementara bisa aku lakukan hanya menghiburnya dengan kata-kata. Jalan keluar itu datang tanpa diduga dan tidak perlu waktu yang terlalu lama. Awalnya aku khawatir karena ibu pulang kampung sendirian naik kendaraan umum.
Jarak rumah kami di Denpasar dengan kampung kami di Karangasem, jika ditempuh dengan kendaraan umum membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam. Atau jika sepi penumpang,maka bisa sampai 3 jam, karena mobil angkutan akan mengisi penuh penumpang sebelum memulai perjalanan.
Karena di kampung tidak ada telpon rumah maka aku mencoba menghubungi ponsel salah satu sepupu yang cukup dekat denganku. Aku ingin tahu apakah ibu baik-baik saja dan sudah sampai dengan selamat. Ternyata syukurlah..ibu sudah sampai dan saat itu sedang berkumpul dengan keluarga lain untuk persiapan upacara.
Rencananya ibu hanya menginap dua malam (hal yang jarang terjadi saat Bapak masih ada. Karena bapak pasti akan lebih senang pulang balik ke Denpasar dan kembali lagi ke kampung keesokan harinya). Dan benar saja begitu Ibu sampai di Denpasar telponku berbunyi. Dari Ibu hehehe. Aku sudah siap-siap mendengarkan ceritanya. Namun ternyata kali ini berbeda, suara ibu terdengar gembira "iLuh waktu itu telpon yaaa? Pak De Abdhi yang bilang ke ibu.."
Lalu ibu bercerita tentang hal-hal lain dan sama sekali tidak menyinggung soal 'saudara-yang-tidak-tahu-balas-budi' itu. Oh ternyata tanpa diduga teleponku tempo hari itu begitu luar biasa pengaruhnya. Setelah itu aku dan adik-adik berembug dan kemudian memutuskan untuk membekali ibu dengan ponsel setiap kali ibu pulang kampung. Awalnya sulit sekali membujuk ibu.
Beliau sudah parno duluan begitu mendengar ide kami. Alasan repot lah, nanti hilang lah, macam-macam deh. Tapi akhirnya ibu luluh juga (setelah kami mengeluarkan senjata terakhir, rayuan adik bungsu kami, yang memang sangat sulit ditolak ibu). Dan sekarang ibu sudah terbiasa dengan ponselnya, bisa menerima telpon dengan fasih walaupun untuk menelpon masih sering heboh karena -alasannya- fasilitas ponselnya kurang user friendly, dan yang terpenting ibu sudah tidak merasa diabaikan lagi.
*odalan = upacara sembahyang Hindu Bali
Denpasar, 14 Oktober 2006
Luh Ayu
Sunday, October 22, 2006
Karya Sahabat (3)
Diposting oleh Pepih Nugraha di 5:15 PM
Label: Cerpen, Karya Sahabat
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment