Sunday, October 22, 2006

Karya Sahabat (3)


Tunjukkan, Bukan Katakan!

Dalam ilmu jurnalistik, juga ilmu menulis umumnya, dikenal adagium: show it, not tell it! Tunjukkan, bukan katakan. Kalau sahabat ingin menggambarkan kemiskinan seseorang, jangan katakan "orang itu miskin", tetapi tunjukkan saja gambaran yang menunjukkan bahwa orang itu miskin. Misalnya: "Sering sehari penuh ia tidak makan. Di dalam biliknya, tidak terdapat barang apapun, kecuali tumpukan baju rombeng untuk sehari-hari mengemis..." Begitu seterusnya: tunjukkan saja, jangan katakan ia miskin.

Cerita mini (Cermin) Luh Ayu dari Bali belum menampilkan adagium "tunjukkan, bukan katakan" itu tadi. Opini penulis bahwa "ibu emosi" dan "terdapat rasa sedih", masih "mengatakan sesuatu", bukan "menunjukkan sesuatu". Kita memberi kebebasan lisensi penulis untuk bercerita apapun, termasuk Luh Ayu yang bercerita tentang ibunya yanf diberi ponsel baru. Ada prasangka yang terlalu cepat dilontarkan, tetapi kemudian bisa guyub lagi dengan saudara-saudaranya. Selamat menikmati...

PONSEL UNTUK IBU

Suara ibu terdengar begitu emosi, namun tidak dipungkiri terdapat rasa sedih disana. Ibu merasa semenjak bapak meninggal banyak saudara yang justru menjadi sombong, meskipun yang tetap baik juga masih banyak. “Padahal dulu mereka itu disekolahkan dan dibantu Bapak, tapi mana balas budi mereka sekarang??”. Meskipun dalam hati aku kurang setuju dengan konsep kalau sudah memberi maka harus dapat balas jasa, aku bisa memaklumi. Itu bukan sifat asli Ibu. Pernyataan itu muncul karena rasa sedih dan belum bisa menerima kalau sekarang beliau menjadi tergantung pada orang lain.

Walaupun ibu termasuk wanita mandiri, namun untuk urusan pulang kampung setiap odalan atau acara adat lainnya beliau seringkali berangkat dengan Bapak. Aku yang sudah menikah jarang bisa ikut karena kesibukan dengan keluarga,sementara adikku juga disibukkan dengan urusan pekerjaan dan sekolahnya. Jika sekarang menjadi tergantung pada saudara yang lain untuk urusan pulang kampung, maka aku sungguh maklum jika ibu merasa ‘turun derajat’. Memang sih aku sebenarnya merasa juga kalau sebagian dari saudara-saudara Bapak menjadi merasa punya kelebihan di banding kami semenjak Bapak meninggal. Dan sejak itu juga aku cukup sering menerima telpon dari ibu yang berkeluh kesah mengenai keadaan ini.

“Coba Luh bayangkan! Mereka sudah tahu ibu pasti pulang kalau ada odalan di Pura. Tapi mana niat baik mereka? Menelpon saja tidak untuk menawarkan berangkat sama-sama. Disangkanya ibu tidak bisa pulang sendiri apa?? Mereka terkejut melihat ibu sudah sampai duluan di kampung…”. Begitulah yang sering aku dengar saat menerima telpon curhat ibu. Aku cuma bisa menenangkan dan mencoba memberi pandangan dari sisi berbeda untuk menghibur ibu.


“Mungkin mereka lupa Bu…, mungkin juga dipikirnya Ibu akan pulang dengan iLuh dan adik-adik. Tidak usah diambil hatilah..Belum tentu mereka sengaja kan. Yang penting kan ibu sudah sempat sembahyang jadi lebih baik tidak usah berpikir yang bukan-bukan.” Biasanya ibu bisa menerima penghiburanku, karena sesungguhnya beliau memang hanya membutuhkan pendengar. Selesai bercerita biasanya ibu sudah lega.

Aku bukannya tidak pernah mencoba mencari jalan keluar supaya ibu tidak merasa tersisihkan. Yang sementara bisa aku lakukan hanya menghiburnya dengan kata-kata. Jalan keluar itu datang tanpa diduga dan tidak perlu waktu yang terlalu lama. Awalnya aku khawatir karena ibu pulang kampung sendirian naik kendaraan umum. Jarak rumah kami di Denpasar dengan kampung kami di Karangasem, jika ditempuh dengan kendaraan umum membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam. Atau jika sepi penumpang,maka bisa sampai 3 jam, karena mobil angkutan akan mengisi penuh penumpang sebelum memulai perjalanan.


Karena di kampung tidak ada telpon rumah maka aku mencoba menghubungi ponsel salah satu sepupu yang cukup dekat denganku. Aku ingin tahu apakah ibu baik-baik saja dan sudah sampai dengan selamat. Ternyata syukurlah..ibu sudah sampai dan saat itu sedang berkumpul dengan keluarga lain untuk persiapan upacara.

Rencananya ibu hanya menginap dua malam (hal yang jarang terjadi saat Bapak masih ada. Karena bapak pasti akan lebih senang pulang balik ke Denpasar dan kembali lagi ke kampung keesokan harinya). Dan benar saja begitu Ibu sampai di Denpasar telponku berbunyi. Dari Ibu hehehe. Aku sudah siap-siap mendengarkan ceritanya. Namun ternyata kali ini berbeda, suara ibu terdengar gembira “iLuh waktu itu telpon yaaa? Pak De Abdhi yang bilang ke ibu..”.

Lalu ibu bercerita tentang hal-hal lain dan sama sekali tidak menyinggung soal ‘saudara-yang-tidak-tahu-balas-budi’ itu. Oh ternyata tanpa diduga teleponku tempo hari itu begitu luar biasa pengaruhnya. Setelah itu aku dan adik-adik berembug dan kemudian memutuskan untuk membekali ibu dengan ponsel setiap kali ibu pulang kampung. Awalnya sulit sekali membujuk ibu. Beliau sudah parno duluan begitu mendengar ide kami. Alasan repot lah, nanti hilang lah, macam-macam deh.

Tapi akhirnya ibu luluh juga (setelah kami mengeluarkan senjata terakhir, rayuan adik bungsu kami, yang memang sangat sulit ditolak ibu). Dan sekarang ibu sudah terbiasa dengan ponselnya, bisa menerima telpon dengan fasih walaupun untuk menelpon masih sering heboh karena –alasannya- fasilitas ponselnya kurang user friendly, dan yang terpenting ibu sudah tidak merasa diabaikan lagi.

*odalan = upacara sembahyang Hindu Bali

Denpasar, 14 Oktober 2006
Luh Ayu

Tulisan kedua hasil karya sahabat Lesca. Tulisan ringkas yang lebih merupakan refleksi si penulis. Refleksi biasanya bernada filasafati dan bahkan berisi religiositas. Tulisan itu tidak akan basi karena merupakan persoalan universal umat manusia, tanpa mengenal sekat agama dan golongan. Dengan "Daily Bread", sahabat diingatkan, juga kita semua, untuk tidak "kamaruk" atau tamak. Hidup secukupnya saja....


DAILY BREAD

"Give us this day our daily bread..." (Matt. 6:11)

Aneh, ya? Kenapa kita diajar: berikanlah pada hari ini, makanan kami yang secukupnya...? Kenapa ga sekalian aja buat 1 minggu, 1 bulan, 1 tahun, atau buat seumur hidup. Padahal dengan begitu kan 'pekerjaan' Tuhan juga akan jadi lebih ringan. Terus, kenapa hanya 'secukupnya'? Kenapa ga 'yang banyak' aja?

Emang kalo dikasihnya rapelan buat 1 minggu atau 1 bulan, bisa ngaturnya? Jangan2, hari ini ada banyak makanan, besoknya ada sedikit, besoknya lagi habis ga ada sisa. Terus kalo udah gitu, mau gimana?

Emang buat apa minta yang banyak2, melebihi yang kita perlukan? Kita toh ga bisa makan lebih dari 2 piring sekali makan. Ga bisa tidur di 2 kasur sekaligus, atau pake sepatu 3 pasang secara bersamaan.

Ternyata, kita memang ga perlu terlalu banyak. Secukupnya saja. Kalau laper, punya cukup uang untuk beli makanan. Kalau kedinginan, punya cukup uang untuk beli baju. Kalau sakit, punya cukup uang buat ke dokter dan beli obat. Kalo komputer rusak, punya cukup uang buat perbaikin atau beli baru. Kalau pengen jalan2 keliling Eropa, punya cukup uang buat beli tiket, bayar hotel, belanja dan beli oleh2.

Yah, yang nikmat itu emang yang cukup.


Lesca

Sahabat semua dimanapun berada, Selasa 24 Oktober 2006 bertepatan dengan Idul Fitri 1427 Hijriyah. Saya dalam kesempatan ini menyampaikan "Minal Aidzin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir dan Bathin..." Semoga Allah, Tuhan YME, masih memberi kita usia, agar kita semua dapat meneruskan perjuangan hidup yang belum tercapai, yakni hidup yang berguna buat sesama.

Kopo, 22 Oktober 2006

Pepih Nugraha

No comments: