Saturday, October 07, 2006

Catatan (11): Bercerita Sebelum Tidur


Membuat Cerita Sendiri

Saya tidak tahu lagi apakah para orangtua sekarang biasa bercerita kepada anak-anaknya sebelum berangkat tidur? Kadang karena terbebani penat sehabis seharian bekerja, tidak ada lagi tenaga buat kita, orangtua, sekadar bercerita kepada anak. Setidak-tidaknya, anak ingin mendengar apa saja yang sudah kita lakukan sepanjang tadi siang.

Dulu, orangtua saya, biasa bercerita kepada saya sebelum kami berangkat tidur. Ayah yang biasanya lebih ekpresif dalam bertutur membuat saya dan adik, Dadang, terbuai dan membawa sepotong cerita ayah tadi ke dalam mimpi. Pernah ayah cerita tentang "Si Boncel", anak durhaka yang pada penghujung hidupnya menderita lahir dan batin karena mengusir orangtuanya dari Kandangwesi.

Jika diminta, saya bisa mengulang atau menceritakan kembali (retold) kisah anak durhaka ala Sunda itu meski itu sudah terjadi 35 tahun lalu. Saat itu saya berusia tujuh atau delapanan tahun, tetapi bisa menyimak dan menikmati dramatisasi kisah sederhana itu. Efeknya bukan main: bercerita sebelum tidur adalah pembelajaran yang baik di samping ujud dari kehangatan dan kedekatan anak dengan orangtuanya.

Dari bercerita sebelum tidur itulah beberapa tahun kemudian saya bisa menyusun cerita sendiri. Mula-mula pengalaman sederhana yang saya tuangkan dalam catatan harian. Lalu menyusun cerita dengan keluar dari arus utama cerita-cerita pada masa itu seperti "Si Kancil dan Buaya", "Sakadang Kuya Jeung Sakadang Monyet", "Si Boncel", "Budak Teuneung" (anak pemberani), dan serenceng cerita anak-anak lainnya. Dari hasil menyusun cerita sendiri, Alhamdulillah saya bisa mendapat uang jajan tambahan setelah naskah cerita bikinan sendiri itu dimuat majalah Bobo, Tomtom, dan Ananda. Itu saya lakukan saat saya duduk di bangku SMA dan perguruan tinggi, jauh-jauh hari sebelum menekuni bidang jurnalistik.

Bercerita bukanlah monopoli pencerita ulung saja, penulis hebat atau novelis laris. Tidak. Kita, para sahabat, juga bisa membuat cerita. Paling sederhana adalah menceritakan kembali riwayat hidup kita semasa kecil kepada anak kita, niscaya dia akan menikmati riwayat itu, apalagi bila itu disampaikan dengan dramatisasi yang hidup. Ceritakanlah semua itu sebelum tidur, jangan bercerita dengan cara memaksa. Semua dilakukan dalam waktu luang yang hangat.

Kalau itu biasa dan bisa sahabat lakukan, mengapa tidak ditulis atau disusun saja dalam sebuah catatan. Sekarang mungkin bisa segera ditulis dalam laptop atau PDA, lalu simpan dan bila perlu dicetak dalam huruf yang besar-besar, biar anak juga penasaran, siapa tahu memintanya. Kalau dia meminta dan ingin membacanya sendiri cerita yang kita gubah, artinya setengah pekerjaan kita mendidik dan mengarahkan anak kita sudah berhasil.

Menyusun cerita sendiri secara tidak langsung adalah pekerjaan menulis. Menulis. Ya, menulis. Tidak ada di dunia ini penulis yang tiba-tiba jadi dan hebat berkibar-kibar di ranah sastra tanpa proses pelatihan sebelumnya. Tahukah sahabat, siapa di antara kita yang sesungguhnya memiliki waktu luang untuk menulis? Ibu-ibu, ya ibu-ibu!

Ini bukan bicara soal gender atau menafikan peran perempuan yang dikira tidak punya pekerjaan. Sama, ibu-ibu juga punya pekerjaan seabrek. Tetapi jangan lupa, yang namanya kehangatan atau passion mutlak lebih banyak dimiliki ibu-ibu dibanding bapak-bapak berkaitan dengan anak-anak. Kita boleh tidak setuju, tetapi saya tidak bermaksud membuka diskusi ke arah sana. Saya hanya ingin mengatakan, gubah atau susunlah cerita bikinan kita itu dalam sebuah tulisan. Cerita atau pengalaman yang sudah kita tulis itulah yang kemudian kita ceritakan kembali kepada anak-anak sebelum mereka beranjak tidur.

Mau coba? Silakan....

Pepih Nugraha

Bintaro, 7 Oktober 2006.

4 comments:

Lawni Tenisa said...

bapak saya dulu seorang guru SD. di rumah ato di sekolah pasti cerita. tentang kancil, tentang pak tani, tentang wayang ato tentang gunung2. sampe kami, murid2nya yg bandel, dibikin gak berkutik kalo beliau sudah ngasih ancaman tidak akan bercerita lagi kalo kami nakal. saya pikir waktu itu, saya akan lebih nurut sama orang yg ngancem gak bakal cerita daripada orang yg ngancem pake kekerasan.

i miss those days :D

Anonymous said...

Ada satu cerpennya Pepih yg gak bisa saya lupakan sampe sekarang...judulnya "Si Enton"...yg dimuat di majalah berbahasa Sunda, Mangle, sekitar thn 85-an wkt Pepih msh mahasiswa Fikom Unpad. Jangan2 Pepihnya sendiri dah gak inget lagi ya sama Cerpen itu....(Hallo Pepih, apa kabar? Mudah2an msh inget saya.....salam buat Tantri)

Sultan Dito said...

wah...aku dah punya nih crita sendiri!ada 3 judul..tapi smuanya macet ditengah...:(
rencana mang utk warisan anak cucu

ratnaningsih said...

saya juga inget dulu sering diberi dongeng sebelum bobo. dan sekarang juga ngasih dongeng sebelum bobo.dan sekarang mau coba tak tulis,semangat.semangat. kalo ke sini mah semangat nulis deh mas.