Monday, July 28, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (67)

Isu untuk Menulis Artikel (1)


PADA pelatihan jurnalistik di Universitas Diponegoro, Semarang, 24 hingga 27 Juli 2008 lalu, saya mendapat banyak pertanyaan seputar jurnalistik. Ini lumrah. Akan tetapi, ada pula peserta yang bertanya seputar bagaimana membuat artikel untuk media massa, meski pertanyaan itu dilontarkan saat rehat. Kebetulan, ada lulusan S1 Undip yang beberapa kali artikelnya dimuat di Harian Kompas edisi Jawa Tengah. Kepada dialah saya memberi sedikit ilmu.


Tidak usahlah disebut namanya. Tetapi sejujurnya, saya senang mendapat pertanyaan kritis seputar artikel yang ia buat. Ia mengaku menulis mengenai "dunia pendidikan". Tanpa bermaksud mengujinya, saya melontarkan beberapa pertanyaan. Bukan apa-apa, inilah cara saya sharing dan berbagi ilmu. Jelek-jelek begini artikel saya pernah dimuat di Halaman Opini Kompas, 20 Juni 1990, jauh-jauh hari sebelum saya menjadi jurnalis!



"Kalau kamu mengikuti dunia pendidikan, jadilah pakar pendidikan. Jangan beralih ke lain subyek. Geluti saja pendidikan dari hulu sampai hilir," demikian saya membuka percakapan. "Sebenarnya, apa concern kamu terhadap persoalan pendidikan mutakhir?" tanya saya lagi. Ia ragu menjawab, dan memang tidak menjawab. Saya katakan, "Tengoklah persoalan besar pendidikan nasional dewasa ini. Tengoklah dunia pendidikan tinggi yang semakin matre dan mata duitan. Jangan harap orang desa yang tidak berpunya seperti saya bisa masuk perguruan tinggi, meskipun mungkin saya bisa lolos."



Dia mengangguk. Mungkin mengerti. Saya meneruskan meski bukanlah seorang ahli pendidikan, kecuali seorang jurnalis. "Pendidikan di perguruan tinggi sekarang tidak adil! Menteri Pendidikannya tidak punya visi ke depan soal pendidikan yang seharusnya!" Ia agak terkejut, tetapi masih mau mendengarkan saya.



Saya melanjutkan, "Disebut tidak adil karena hanya orang-orang berpunya saja yang bisa masuk perguruan tinggi negeri ternama. Anak-anak tidak berpunya walaupun pintar, jangan harap bisa masuk. Tengok produk manusia-manusia Indonesia 10, 15, atau 20 tahun mendatang! Apa jadinya kalau SDM Indonesia dijejali anak-anak orang kaya yang karena berpunya bisa belajar di perguruan tinggi, meski otaknya pas-pasan? Sementara anak-anak pintar yang tidak berpunya cukup menjadi buruh atau petani. Tidak tertarikkah kamu pada persoalan mendasar ini?"



"Tertarik. Tetapi saya harus mulai darimana?" jawabnya sekaligus melempar tanya.



"Coba baca UUD 1945 dan perubahannya, di situ tertera dana APBN untuk pendidikan sebesar 20 persen," kata saya lagi. Dia balik bertanya, "Sangat sedikit ya, Pak?" Saya lalu memotong, "Itu sudah cukup besar! Tapi coba kamu lihat. Perguruan Tinggi yang seharusnya disubsidi biar mahasiswanya tidak harus bayar mahal uang uliah, malah disuruh cari duit sendiri. Coba kamu tengok semrawutnya buku pelajaran yang selalu terjadi setiap tahun! Janganlah lihat jauh-jauh, karena kamu tinggal di Semarang, coba belajar kedekatan (proximity), apa imbas dari semrawutnya dunia pendidikan nasional ini di Provinsi Jawa Tengah?"



"Wah, terima kasih atas penjelasannya, Pak," katanya lagi. Tetapi saya masih mau menjelaskan sedikit lagi kepadanya tentang kesamaan jurnalis dengan kolumnis dalam menangkap isu, mengembangkan, dan menuliskannya. Lain kali sajalah ya... (Bersambung)

No comments: