Wednesday, August 16, 2006

Berbagi Pengalaman Menulis: (2)

Menghalau Mitos Lama

ILHAM untuk menulis artikel atau analisa bisa datang setelah kita mengamati, bercakap-cakap dengan teman, membaca, atau mengikuti perkembangan zaman bidang khusus, misalnya jurnalistik. Akan tetapi kesan mendalam tentang seseorang, ikatan batin dengan kota dimana kita tinggal atau singgahi, berikut dengan keunikan penduduknya, bisa juga menghasilkan ilham tulisan.


Ikatan batin saya dengan Kota Makassar yang begitu kuat, membuat saya mencermati dan harus selalu dekat dengan kota ini. Kehadiran koran maya "Panyingkul" dari netizen atau citizen journalism Makassar, termasuk perhatian saya yang kemudian saya tulis dan dimuat Kompas edisi, Rabu 16 Agustus 2006, halaman 48.


Ada beberapa penulis cerita pendek atau novel, atau bentuk fiksi lainnya, yang "terpaksa" mendaki gunung atau menyeberang lautan hanya untuk menyepi mencari ilham. Konon ilham menulis akan datang saat kita menyendiri, saat kita menyepi sambil menyeruput kopi. Tetapi mungkin itu berlaku dalam dunia menulis fiksi.


Menyepi dan menyendiri itu diyakini sebagai "cara lama" dalam menghadirkan ilham. Padahal untuk masa sekarang, itu tidak diperlukan lagi dan tidak banyak menolong. Sekarang ilham bisa didapat dengan cara membaca banyak buku berkualitas, berdiskusi dengan teman, menghadiri seminar dan kuliah umum, travel atau bepergian di alam terbuka, menonton film atau mendengar radio, bahkan sekadar window shopping.


Ilham bisa datang dengan sendirinya asalkan kepekaan kita menangkap suatu masalah terus terasah.
Penulis yang jempolan juga harus bisa menulis dalam berbagai medan, termasuk dalam keadaan ramai dan bising sekalipun. Jadi, sepi, hening dan harus menyendiri itu adalah mitos lama. Sekarang menulis bisa lebih enjoy, dan itu bisa kita lakukan di tengah keramaian, di cafe, di tengah gangguan anak kita yang lucu-lucu, atau "gangguan" pacar" yang terus merajuk dan gelendotan. Menulis, jalan terus...


Sahabat dapat mengikuti tulisan saya tentang "Panyingkul" di bawah ini. Datangnya ilham untuk tulisan ini bukan karena adanya "gangguan" pacar yang merajuk atau gelendotan, tetapi setelah saya bercakap-cakap dengan komunitas teman-teman Makassar di Warung Kopi Phoenam di Jalan Wahid Hasyim Jakarta. Kebetulan belum lama muncul "Panyingkul", situs bernuansa Makassar, yang menjadi topik hangat pembicaraan kala itu.


Bila penasaran, sahabat bisa mengikuti tulisan berdasarkan ilham tadi di: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0608/16/ilpeng/2886288.htm. Atau membacanya langsung...

Panyingkul: Di Simpang Jalan?
PEPIH NUGRAHA

Dalam bahasa Makassar, panyingkul berarti sebuah titik yang merupakan hasil persilangan dua jalan. Ia merupakan penanda sebuah persilangan atau perempatan dari empat arah mata angin.
Akan tetapi, dalam dunia maya, Panyingkul berarti sebuah pewarta warga (citizen journalism) yang sejatinya hadir sebagai pelepas dahaga warga Makassar, khususnya warga di perantauan, akan sebuah warta "tanai air" mereka.

Diluncurkan di Hotel Quality yang menghadap Pantai Losari, 1 Juli 2006, sampai 1,5 bulan usianya Panyingkul baru dikunjungi 389 netter, sebuah kunjungan yang boleh dibilang sepi untuk sebuah koran maya yang memproklamirkan diri sebagai citizen journalism. Bandingkan dengan blog pribadi yang bisa dikunjungi ratusan tamu setiap harinya. Apalagi bila dibandingkan blog milik foto model Indonesia yang pernah berpose tanpa busana di majalah Playboy edisi asli, yang dikunjungi ribuan tamu per harinya.

So, ada apa dengan Panyingkul? Tidak cukupkah peluncurannya sebagai penanda kelahirannya dilakukan di sebuah hotel yang cukup ternama di Kota Anging Mamiri? Mengapa hanya segelintir saja warga Makassar, atau mereka yang terikat batin dengan kota ini, yang mampir di Panyingkul? Apakah Panyingkul itu penanda sebuah persilangan atau justru ia sedang berada di persimpangan jalan itu sendiri?

Sejumlah wartawan Makassar saat berkumpul beberapa waktu lalu di Warung Kopi Phoenam Jakarta mengkritik, sajian berita Panyingkul terlalu kaku dan formal karena menggunakan bahasa tinggi jurnalisme sehingga tidak mencerminkan lagi berita itu ditulis oleh warga biasa. Padahal, salah satu kalimat yang keluar saat peluncuran dan juga yang selalu tertera dalam situsnya selalu dikatakan, "Mari merayakan jurnalisme orang biasa"!

"Terlalu bakunya bahasa jurnalistik yang dipergunakan membuat bahasa Panyingkul seperti layaknya bahasa jurnalistik umum yang ditulis wartawan profesional sebuah koran konvensional. Mungkin karena pendirinya ingin koran maya itu tampil perfect," kata Arsyad, wartawan Fajar, sebuah harian yang terbit di Makassar.

Yusran, wartawan Tribun Timur, harian yang juga terbit di Makassar, tidak lupa mengkritik tampilan Panyingkul yang sejak kelahirannya tidak pernah ada tambahan posting baru atau berita-berita baru yang dikirim para pewarta warganya. "Isinya itu-itu saja, tidak berubah, sehingga pengunjung tidak mendapatkan hal baru. Terlalu lama kami menunggu," katanya.

Harus diakui, informasi Panyingkul sejak awal kelahirannya masih berita yang itu-itu saja, tidak lebih dari tujuh cerita seputar Lapangan Karebosi, sebuah kawasan yang menjadi ikon Kota Makassar. Namun, harus diakui pula bahasa yang ditampilkan dengan gaya bercerita itu cukup memikat sehingga terkesan justru tidak ditulis oleh warga biasa.

"Kami mengadakan kelas online tentang jurnalistik, reportasi dan penulisan feature ber-genre narrative journalism, sebuah gaya penulisan yang sulit dikembangkan dengan baik media lokal yang penuh ’statement atau straight news’. Tentu kami ingin hadir tidak ingin menjadi pesaing media mainstream, tetapi justru ingin menjadi bagian dari ekosistem media," kata Lily Yulianti Farid, pendiri Panyingkul, dalam surat elektronik yang kami terima beberapa waktu lalu.

Sedangkan mengenai seretnya tambahan informasi di Panyingkul, Lily yang mantan wartawan sebuah media mainstream itu mengatakan, "Kami menyiasati akses internet yang masih terbatas dan rendahnya minat menulis masyarakat di Makassar. Kami memang menargetkan terbit bulanan di tahun pertama dengan mengedepankan featured-news style tentang Makassar."

Laporan dan tulisan untuk Panyingkul edisi perdana disiapkan oleh peserta "Pelatihan Jurnalisme Orang Biasa" angkatan pertama, yang dilakukan beberapa bulan sebelum peluncurannya. Mereka yang menjadi pewarta warga terdidik ini ialah Aan Mansyur, Nilam Indahsari, Nurhady Sirimorok, Mansyur Rahim, Irayani Queencyputri, dan Rahmat Hidayat. Sedangkan proses editorial dikerjakan oleh The Private Editors dan Dekat Rumah Project.

Salah satu tulisan Panyingkul berjudul Karebosi dan Cinta Seorang Pebasket yang ditulis Nurhady Sirimorok, misalnya, menampilkan profil mantan pebasket lokal. Mukhtar, pemuda berusia 31 tahun, kini tidak lagi menjadi tulang punggung tim basket Sulawesi Selatan, tetapi menjadi medical representative. "Tugas saya membawa brosur produk, menjelaskan keunggulan obat-obatan yang diproduksi perusahaan kami kepada para dokter dan klinik. Jadi, jangan bayangkan saya berkeliling menjajakan obat," kata Mukhtar, sebagaimana ditulis Nurhady.

Diceritakan pula, sudah dua tahun Mukhtar menjalani profesi barunya itu. Dengan mengendarai sepeda motor, ia mendatangi klinik dan para dokter di Kota Makassar. Sumber nafkah utamanya adalah dari profesinya ini, sementara waktu di luar kesibukannya bekerja mempromosikan obat dicurahkan untuk melatih bola basket dua kali seminggu di sebuah SMP swasta yang terletak tidak jauh dari Karebosi, serta ikut menjadi wasit dalam pertandingan.
"Pekerjaan yang pertama adalah demi uang, sementara pekerjaan kedua adalah demi panggilan hati dan kecintaan pada olahraga bola basket," demikian Panyingkul menulis.

Penyampaiannya menggunakan gaya bercerita yang memikat, lepas dari ikatan rumus lawas jurnalistik "5W+1H" dari Rudyard Kipling, yakni what, when, who, where, why, dan how. Bayangkan saja seorang warga yang bercerita tentang seseorang, yang tidak harus diinterupsi dengan pertanyaan. Tulisan ini mendapat tanggapan dari seorang pengunjung, Nesia Andriana, yang menilai tulisan ini bagus. "Karena mengangkat apa yang tidak dilirik media massa mainstream," komentarnya.

Panyingkul sendiri, sebagaimana tertulis dalam pengantar edisi pertamanya, bertekad ingin mendekati peristiwa yang juga didekati media mainstream, tetapi dengan sudut pandang orang biasa. Ia berada di tepi jalan ketika arak-arakan demonstrasi buruh lewat. Pada saat yang lain, ia berada di tengah-tengah buruh itu sendiri.

Ia, katanya, bisa tiba-tiba berada di rumah wali kota atau gubernur, kemudian juga hadir di kamar para pegawai rendah. Ia mengembangkan gairah bercerita, bukan sekadar melaporkan peristiwa. Ia, antara lain, membagi kesan mendalam tentang kemiskinan dan bukan sekadar mengabarkan berapa jumlah orang yang dikategorikan miskin di suatu tempat di suatu masa.

"Berangkat dari gairah bercerita inilah, kami tidak mengembangkan jurnalisme yang angkuh dan tentu tak pernah berangan-angan untuk menjadi bagian dari elitisme media mainstream. Jurnalisme kami adalah berbagi dengan segenap inisiatif dan gairah. Berbagi kabar, juga impresi, bahkan emosi yang menyertainya, seperti dalam kehidupan sehari-hari kala kita saling bertukar cerita," demikian tekad Panyingkul.

Pendirinya, Lily, kini bekerja sebagai spesialis bahasa untuk NHK dan tinggal di Tokyo. Ia kini menjadi salah satu warga biasa penyumbang tetap blog ternama di Korea Selatan, Ohmynews International yang didirikan Oh Yeong Ho. Lily bergabung sejak Oktober tahun 2005 dan kini sudah masuk satu dari 20 penulis pilihan yang memiliki kolom yang harus diisi minimal tiga kali sebulan.

Dalam kata pengantar Panyingkul yang disebut Kitakita itu juga disebutkan, semangat yang diusung koran tanpa kertas beralamat di www.panyingkul.com ini adalah menjadi bagian dari ekosistem media secara keseluruhan dan selalu berharap terjadinya dialog dinamis dengan melibatkan masyarakat biasa dalam proses lahirnya sebuah berita. Persoalannya, mengapa Panyingkul masih sepi dari pengunjung?

Rusman Madjulekka, mantan wartawan dan kini bekerja sebagai penerbit rumahan, mengusulkan, sebaiknya Panyingkul tidak usah terlalu diformalkan dengan gaya bahasa baku yang sudah pasti terkesan kaku.

"Biarkanlah warga biasa yang melaporkan berita mereka, bukan warga yang sudah dilatih secara khusus. Pelatihan akan menciptakan keseragaman, padahal yang kita inginkan adalah keberagaman. Kalau Panyingkul mengubah paradigma ini, saya mau kembali berkunjung ke Panyingkul dan bahkan dengan sukarela akan mengajak warga mengirimkan beritanya," papar Rusman.
Pepih Nugraha
Palmerah, 18 Agustus 2006

1 comment:

Anonymous said...

Saya hanya ingin berbagi pengalaman seputar shopping. Saya sendiri berlangganan di www.yt-shopping.com harga nya sangat sangat terjangkau dan model baju nya juga bagus lo.. kalau tidak percaya, anda lihat saja komentar nya…dijamin puas de di www.yt-shopping.com