Tertidur Dibuai “Abah”
Malam itu, Rabu 23 Agustus 2006, ratusan penikmat musik dan senandung Iwan Abdulrachman, memenuhi ruang utama Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Penonton duduk di kursi dipan di bagian belakang, tetapi ada juga yang lesehan hampir mendekat “Abah” Iwan. Mereka yang tidak bisa masuk ke auditorium BBJ, terpaksa menikmati petikan gitar dan senandung merdu pria berusia 58 tahun ini dari layar kaca televisi.
Malam itu, Rabu 23 Agustus 2006, ratusan penikmat musik dan senandung Iwan Abdulrachman, memenuhi ruang utama Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Penonton duduk di kursi dipan di bagian belakang, tetapi ada juga yang lesehan hampir mendekat “Abah” Iwan. Mereka yang tidak bisa masuk ke auditorium BBJ, terpaksa menikmati petikan gitar dan senandung merdu pria berusia 58 tahun ini dari layar kaca televisi.
Sunyi, gelak tawa, dan tepuk tangan adalah tiga unsur yang menyatu dari penonton beragam warna, saat Iwan mengakhiri setiap lagunya. Penonton yang hadir antara lain mantan menteri Siswono Yudohusodo, aktivis pecinta alam Wanadri dan Mapala, wartawan dan seniman seperti Ully Sigar Rusady.
Aku bersama anakku, Kakang, dan Alet yang kebutulan menemani Kakang di Jakarta, duduk lesehan paling depan. Hanya berjarak sekitar dua meter saja dari sang maestro gitar akustik dan penyenandung alam yang paling legenderis di tanah Parahyangan, bahkan mungkin di negeri ini. Di sebelah kanan duduk Ully Sigar Rusady, juga penyenandung nyanyian alam dari Garut. Setelah bercakap-cakap dengan Ully sejenak, aku berikan kartu nama sebagai sikap profesional.
Acara dibuka dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Semua hadirin berdiri dan bendera dikibarkan seniman Bandung, Aat. Setelah lama tidak menyanyikan lagu kebangsaan, hati mendesir juga, teringat Indonesia yang kian renta, tetapi di usianya ke-61 masih tetap setia sebagai tanah air, tanah tumpah keringat, dan bahkan tanah tumpah darah. Iwan tampil dengan jas hitam, yang tampak terlalu formal untuk aksesori nyanyian sebuah alam. Kelak baju jas ini dibuka untuk digantikan pakaian hutan warna coklat saat dia membawakan nyanyian yang biasa diperdengarkan di saat api unggun menyala di tengah hutan atau gunung.
Lagu pertama terkesan “main-main” karena seperti nyanyian anak-anak. Itu ia bawakan sambil sesekali bercerita tentang lagu itu. Kadang saat menikmati lagu, harus terpotong dengan ocehannya yang seperti tiada henti. Yang mendambakan keheningan dan kesyahduan sebuah pertunjukkan seni, pastilah menggerutu karena terganggu. Sejujurnya, akupun seperasaan. Tetapi apa boleh buat, ia yang di atas pentas punya daulat mutlak untuk membawa kita kemana saja. Toh kalau kita tidak bisa menikmati, bisa saja keluar ruangan pertunjukkan. Tapi itu tidak aku lakukan, tidak akan pernah, tidak juga yang lainnya.
Akan tetapi ketika Iwan mulai bersenandung sepenggal flamboyant penonton histeris, tetapi sejenak kemudian menggerutu saat Iwan tidak melanjutkan lagi lagu legendarisnya itu, malah cerita tentang pohon flamboyant yang menurutnya masih ada di Kota Bandung, masih flamboyant yang dulu. “Aduh, terusin dong, Bah!” pinta Ully.
“Saya akan membawakan sebuah lagu yang pasti belum Anda kenal, karena belum dirilis,” katanya kemudian. Denting gitar pun terdengar jernih, menjentik-jentik bagian terdalam dari hati para penonton, setidak-tidaknya aku… “Kau tersenyum dan bunga pun bermekaran…Lagu tentang musim bunga… Burung-burung terbang bersama angin, dan bernyanyi dari balik awan…”
Penonton terkesima, termasuk Kakang. Tetapi bagiku, lagu itu sudah tak asing lagi sebab sekitar tahun 1977-an sudah dirilis Bimbo. Di malam pertunjukkan ini juga, sungguh sangat mengherankan, Iwan tidak pernah sekalipun menyebut nama “Bimbo”! Padahal aku tahu persis, hampir sebagian besar lagu Bimbo saat pertama muncul kelompok musik balada itu adalah gubahan Iwan Abdulrachman. Hemmm… mesti ada sesuatunya antara Iwan dan Bimbo. Tetapi, apa peduliku, yang penting bisa menikmati senandung Iwan, sekarang.
Kakang tersihir dan kemudian tertidur saat “Melati dari Jayagiri” berkumandang. Lagu yang demikian menyatu dengan jiwa Iwan sendiri. Kakang sempat memberi aplause untuk kemudian tertidur, sampai akhir pertunjukkan. Anakku dibuai oleh keindahan irama denting gitar, yang barangkali mengusap-usap jiwa dan membuai sukmanya, mengantarkannya ke alam kelelapan tidur.
Iwan terus bernyanyi, penonton lebih banyak menarik nafas. Bagiku, lagu “Sejuta Kabut” adalah puncak dari senandung Iwan malam itu. Suaranya masih prima, melengking tetapi merdu, juga kadang menggema, menggetarkan jiwa. “Sejuta kabut turun perlahan, merayapi jemari jalanan…Merapat, melolong, lalu menjauh… menggoreskan kesan curam di hati… Lalu kusibak tirai hatiku, kubuka lebar-lebar pintu jiwaku...”
Pikiranku melayang pada saat aku duduk di bangku kelas 5 SD tahun 1976 lalu, teringat saat Iwan dengan kelompok Kalikausar menyenandungkan lagu itu di tengah kabut Puncak Bogor, dengan dentingan tremolo gitar akustiknya. Tetapi malam itu, tanpa teknik tremolo yang bergetar sepanjang lagu telah cukup menggetarkan siapa pun meski dengan petikan gitar apoyando yang kuat, berjiwa, yang setiap dentingnya seperti berkata-kata punya makna. Iwan semakin menekan jiwaku, juga penonton, dengan lagu yang ditunggu… “Melati dari Jayagiri, kuterawang keindahan kenangan… Hari-hari lalu di mataku, tatapan yang sejuk dan penuh kasih… Kuingat di malam itu…”
Kala kecil, aku sempat ingin mahir bermain gitar akustik seperti Iwan dan Bimbo. Kesempatan datang tahun 1977 ketika diajari Mang Usman, ayah Ayi, meski mengenali beberapa akor gitar seperti C-G-F atau D-A-G. Saat duduk di bangku SMA, 1981-1982, malah sempat ikut les gitar klasik di Yamaha Music Centre Tasikmalaya sampai tingkat II dari XII grade. Tetapi itupun bagiku sudah lumayan, yang penting bisa mengiringi beberapa lagu Bimbo dan tentunya Iwan Abdulrachman. Di Surabaya, Kakang malah sempat privat gitar klasik dari Arnold, tetapi berhenti saat ia pindah lagi ke Jakarta.
Pada akhir pertunjukkan, aku bangunkan Kakang dan meminta dia menyalami Iwan. Tetapi Kakang belum berani. Aku saja yang menyodorkan tangan untuk mengajak Iwan salaman, dan dia menyambutnya hangat … Sebagai wartawan, rasa malu harus kuenyahkan dari alam pikiranku saat berhadapan dengan siapapun, bersikap untuk tidak minder, meski di hadapan orang kaya atau penguasa sekalipun, termasuk Iwan yang mengguncang tanganku kencang. “Nuhun, nuhun…,” kata Iwan yang malah berterima kasih kepadaku.
Mungkin karena aku duduk terpaku selama kurang lebih dua jam, mengunyah rangkaian kata-kata indah, menikmati denting gitar akustik yang dominan klasik, atau mengungkap syukur karena malam itu menikmati penampilan Iwan. Sungguh malam yang sangat berkesan…
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha
Palmerah, 24 Agustus 2006
No comments:
Post a Comment