Obat Setengah Resep
KEMARIN, Rabu (2/8/06), pukul 19.00-20.30, saat menunggu obat diracik di Apotik Palmerah, seorang bapak, barangkalai seusiaku atau malah lebih muda, berusaha menawar si penjaga apotik agar resep obatnya bisa dibuatkan setengahnya saja. Dua jenis obat bisa dibuatkan setengah resep dengan harga Rp 40.000 (kalau penuh seharusnya Rp 80.000). Persoalannya untuk obat antibiotik, tidak bisa dibuatkan setengah resep.
KEMARIN, Rabu (2/8/06), pukul 19.00-20.30, saat menunggu obat diracik di Apotik Palmerah, seorang bapak, barangkalai seusiaku atau malah lebih muda, berusaha menawar si penjaga apotik agar resep obatnya bisa dibuatkan setengahnya saja. Dua jenis obat bisa dibuatkan setengah resep dengan harga Rp 40.000 (kalau penuh seharusnya Rp 80.000). Persoalannya untuk obat antibiotik, tidak bisa dibuatkan setengah resep.
“Obat antibiotik harus penuh untuk lima hari, tidak bisa setengah-setengah,” kata penjaga apotik.
“Jadi berapa yang harus saya bayar?” tanya si bapak.
“Tujuh puluh lima ribu rupiah ditambah empat puluh ribu rupiah. Bagaimana?”
“Jadi yang antibiotik itu tidak bisa setengah resep saja ya, Bu?”
“Tidak bisa, Pak.”
Percakapan ini mengingatkanku pada kebiasaan mendiang ibu (wafat 20 Oktober 1999 pukul 19.00 di RS Hasan Sadikin Bandung) kalau menebus obat dari apotik. Ibu, dan juga ayah, adalah pegawai negeri. Bagi keduanya yang berprofesi guru SD, harga obat pastilah terlalu mahal karena dengan gaji yang mereka terima, seharusnya aku, adikku, pergi berobat ke Puskesmas. Karena ingin anak-anaknya lekas sembuh, ibu selalu membawa kami ke dokter swasta dengan konsekuensi menebus obat dengan harga mahal. Cara mengatasi obat yang mahal itu, ibu selalu memesan setengah resep saja. Ini sah saja, meski tidak baik dari segi medis.
Aku membayangkan betapa obat dan berobat kini kian mahal dan mahal saja. Sehingga kupikir, orang miskin di negeri ini tidak boleh sakit. Kalau sakit, urusannya lebih sakit lagi: sakit hati (karena tidak bisa beli obat di apotik dan berobat di dokter bagus), juga sakit betulan karena sakit yang lama tidak tersembuhkan.
Mungkin aku masih beruntung, sebab perusahaan dimana aku bekerja, harian Kompas, cukup bagus dalam mengganti uang obat, berobat, dan pengobatan. Sekadar contoh, semahal apapun obat yang harus kubeli, untukku maupun keluarga, aku hanya dikenakan biaya 10 persen saja dari harga obat. Uang dokter juga diganti dengan plafon yang telah ditentukan. Tidak ada salahnya kalau aku berterima kasih pada perusahaan ini.
Hanya saja atas peristiwa bapak itu tadi, aku jadi teringat mendiang ibuku. Itu saja.
Pepih Nugraha
Palmerah Selatan, 2 Agustus 2006
No comments:
Post a Comment