Sebuah Reuni Keluarga*
SAYA membaca tulisan Taufik H Mihardja di Kompasiana ini, Mudik Menciptakan “Reuni Kecil” saat saya melaju dalam perjalanan mudik balik. Saya terkesan dengan isinya yang sederhana. Saya coba merekonstruksi kebahagiaan penulisnya saat bertemu teman-teman lawasnya, setelah lebih 20 tahun tidak bertemu. Pastilah ada cerita-cerita yang tak terungkap di antara pelaku peristiwa!
Reuni pada hari kedua lebaran adalah tradisi di keluarga saya dari pihak ayah yang punya 11 saudara. Bayangkan, setiap 12 tahun barulah reuni kembali berlangsung di tempat semula. Reuni kali ini berlangsung di rumah salah seorang bibi saya di Sindangbarang. Anda tahu dimana itu Sindangbarang? Di tempat yang sulit dibayangkan meski dengan imaji liar sekalipun!
Sindangbarang ada di “atap dunia”, paling tidak kalau dilihat dari Ciawi, Tasikmalaya, desa tempat saya dilahirkan, padahal jaraknya tidak lebih dari 20 kilometer. Anda punya mobil sedan? Jangan berangan-angan bisa sampai ke sana. Dari Ciawi, Anda harus melintas kecamatan Pagerageung yang masih termasuk Kabupaten Tasikmalaya, sebelum moncong kendaraan mengarah ke angkasa, melintas pepohonan pinus dan jati.
Sindangbarang? Itu sebuah desa yang berada di Kabupaten Ciamis. “Atap dunia” itu diapit batas tiga kabupaten; Tasikmalaya, Ciamis, dan Kawali! Siaplah dengan posisi duduk astronot saking menanjaknya jalan sempit dan berliku menuju ke sana. Untunglah sekarang jalannya sudah beraspal. Dua tahun lalu, saya nyaris balik arah turun lagi karena jalannya yang masih berbatu dan berlubang seperti mengancam jiwa. Reuni kali ini, saya bahkan berani menumpang mobil bak terbuka.
Tetapi bukan soal kurun waktu, bukan soal pertemuan menyenangkan dengan teman-teman seperti yang dialami Taufik, bukan pula soal sulitnya menjangkau “atap dunia” yang mau saya cerita. Saya mau bercerita tentang perjalanan hidup dan nasib seseorang yang begitu cepat berganti hanya dengan mengalami reuni itu saja.
Bayangkan, setahun lalu, salah seorang paman masih bergelimang kekayaan berkat menantunya yang “berhasil dalam usaha”. Paman bersama istrinya, juga dua anak mereka, dengan enteng membagi-bagikan “angpao” berupa uang segar dan pakaian dengan kepala masih mendongak. Reuni kali ini, saya melihat paman itu tertunduk lesu dan menangis saat bersalaman dengan siapapun.
Selama setahun ini paman dan istri serta anak-anaknya menjadi “buronan” preman yang mengejar-ngejarnya karena urusan piutang berbau penipuan. Menantu yang “usahanya berhasil” itu ternyata menggelapkan uang perusahaan, menjual mobil rental milik orang, dan akhirnya harus berurusan dengan preman suruhan yang menagihnya. Rumah yang menjadi simbol sebuah keberhasilan usaha disita bank. Tidak ada seorang pun yang tahu dimana istri paman, menantu dan anak-anaknya sekarang berada.
Reuni tahun lalu, suami salah seorang bibi saya masih segar-bugar dan bahkan masih membanggakan anak-anaknya yang konon berhasil dalam usahanya di Jakarta. Reuni kali ini, suami bibi itu sudah tidak tampak lagi di antara kami karena ia baru dipanggil Yang Kuasa tiga minggu sebelumnya.
Reuni keluarga kali ini, juga tanpa kehadiran salah seorang adik kandung saya karena harus menjaga istrinya yang menderita sakit cukup berat, yang mengharuskannya menjalani kemoterafi!
Salah seorang keponakan saya, seorang lelaki muda, sangat berhasil dalam usahanya di Jakarta. Ia punya mobil truk, mobil bak terbuka, dan beberapa mobil keluarga. Ia mengaku berjualan buah-buahan di Jakarta. Akan tetapi, tidak seorang pun boleh tahu tempat usahanya menjual buah-buahan di Jakarta, bahkan adik dan orangtuanya pun tidak boleh tahu! Aneh! Usaha apa gerangan? Dari tahun ke tahun hartanya bertambah tetapi siapapun tidak boleh tahu apa yang dikerjakannya itu!
Sebagai jurnalis, saya mencium hal ganjil dari salah seorang keponakan yang tidak pernah dekat dengan saya itu karena saking banyaknya keturunan ketiga (para cucu) di keluarga besar itu. Pun tidak pernah tahu dimana dia tinggal di Jakarta meski saya juga bekerja di ibukota ini. Ia seorang pemuda gagah berusia 25-an tahun.Tetapi saya melihat “jiwa yang terbelah” pada dirinya. Ia “kemayu”, lebih luwes dari seorang perempuan. Salah seorang suami bibi saya berbisik, “Anak saya pernah menemukan fotonya dengan pakaian perempuan dan bergaya sebagai perempuan pula!” Naudzubillahi mindzalik!
Well, tidak harus diberitahu, saya cukup tahu. Masuk akalkah ia berjualan buah-buahan di Jakarta dengan hasil ratusan juta setahunnya? Mengapa ia melarang siapapun untuk mengetahui dimana rumah dan tempat usahanya di Jakarta? Ah, peduli amat dia keponakan kalau ternyata tidak lebih seorang seorang homo yang menjadi piaraan ekspatriat berduit, yang bisa dan biasa memberinya tips jutaan rupiah sekali main sehingga menghasilkan harta berlimpah!
Saya menjadi bingung sendiri, di rumah orangtunya di sebuah desa di ujung dunia, saya melihat stiker menempel di kaca-kaca jendela rumah dengan tulisan mencolok: “Waspada AIDS!”. Tidak ada seorang pun peduli dengan stiker itu, kecuali saya. Ya Tuhan, apakah stiker itu dimaksudkan sebagai peringatan untuk dirinya sendiri? Hanya dia yang tahu!
Waktu pasti akan terus berputar dan reuni demi reuni keluarga pasti akan datang lagi. Saya tidak tahu lagi apakah saya masih bisa menulis cerita tentang reuni itu tahun depan dan menyaksikan nasib demi nasib saudara-saudara saya silih berganti, atau nasib lebih kejam justru akan menimpa diri saya? Tentu saya berharap tidak, tetapi saya tidak tahu!
Bandung, lebaran hari ketiga 1429 H.
Tulisan saya ini diambil utuh dari Kompasiana, blog jurnalis Kompas.
Monday, October 13, 2008
Dari Kompasiana (4)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment