Sekali Lagi, Jubing!
HARI yang ditunggu oleh penggemar gitar klasik adalah Kamis, 17 Juli 2008, yakni saat jawara gitar Indonesia Jubing Kristianto menggelar pertunjukkan di Bentara Budaya Jakarta berkaitan dengan album CD terbarunya, Hujan Fantasy.
Saya tidak melewatkan kesempatan itu. Saya minta istri mengantarkan anak saya, Kakang, naik kereta dari Bintaro ke Palmerah untuk mengejar waktu 20.00 WIB saat pertunjukkan dimulai.
Saya bahkan berjanji pada Mas Jodhie Yudono dari Kanal Entertainment untuk mengulas pertunjukkan itu di Kompas.com. Saat saya menyusun tulisan beberapa menit setelah usai pertunjukkan, Mas Jodhie meminta saya menuliskannya dengan gaya personal, suatu gaya yang menurutnya berbeda dari sekedar laporan. Artinya, sah-sah saja menggunakan kata "saya" untuk menyebut diri sendiri. Saya menyanggupinya.
Hasilnya adalah sebuah ulasan dari pertunjukkan Jubing yang bisa Anda baca di bawah ini. Pesan saya, meski seorang jurnalis terhanyut pada pertunjukkan apapun, jangan lupa mencatat detail dan "merekam" jalannya pertunjukkan dalam ingatan dan oret-oretan. Sebelum meliput, bekali kepala Anda dengan referensi memadai mengenai who (siapa), what (apa), dan how (bagaimana) mengenai pertunjukkan itu sendiri. Maksud saya, Anda harus tahu siapa itu Jubing, gitar, dan bagaimana dia memainkannya. Saya tidak menemui kesulitan apapun menuliskannya karena referensi soal gitar dan Jubing sudah melekat di kepala saya. Silakan....
Malam Itu Milik Jubing
APA jadinya jika perkusionis Suryadi, maestro gitar klasik Indonesia Jubing Kristianto, dan penyanyi tenor Christopher Abimanyu berkomplot menyanyikan lagu lawas Besame Mucho? Hasilnya, penonton tidak rela ketiga jagoan yang lihai memainkan “senjata” musiknya masing-masing mengakhiri pertunjukannya!
Ini kenyataan, penampilan Jubing pada Kamis (17/7) malam itu memaku para penonton di ruang utama Bentara Budaya Jakarta. Ruangan yang biasa digunakan pameran lukisan dan kegiatan budaya lainnya itu disesaki penonton, mulai pecandu gitar, siswa-siswi pengikut kursus gitar, sampai orang awam. Mereka rela lesehan agar bisa berdekat-dekat dengan Jubing khususnya, sementara yang di bagian belakang rela berdiri tanpa bisa beranjak pergi.
Magnet yang menyedot perhatian malam itu tentu saja Jubing Kristianto, gitaris yang mantan wartawan membawakan hampir seluruh komposisi unggulan pada album pertama dan keduanya, masing-masing Becak Fantasy dan Hujan Fantasy. Penonton tidak lepas-lepasnya bergumam dan berdecak kagum bahkan saat permain gitar belum berakhir. “Gila banget permainan gitar orang ini,” komentar seorang penonton.
Saya yang telah lama mengenal Jubing dan pernah menulis sosoknya untuk Harian Kompas, meminta anak saya untuk hadir menyaksikan Jubing, kendati ia harus tiba di tempat pertunjukkan naik kereta api dengan diantar ibunya. Saya yang pernah menyaksikan sendiri Jubing memainkan gitar untuk saya saat saya mewawancarinya seperti tak percaya atas permainan Jubing yang begitu sempurna, sesempurna permainan yang saya dengar dari kedua CD-nya yang sudah beredar.
Jubing langsung menggebrak dengan solo gitarnya membawakan lagu Beatles, I Wanna Hold Your Hand. Jubing juga mengagetkan penonton saat memainkan komposisi Aku Cinta Dia, sebuah lagu “genit” yang dibawakan Chrisye. Namun decak kagum penonton mulai terdengar saat suami Reny Yaniar ini memainkan Bengong Jeumpa, sebuah lagu rakyat Aceh. Repertoar dan koda yang bernada pentatonis dan bahkan seperti suara gambus mengundang tepuk tangan, apalagi saat ia mengocok-ngocok gitar tanpa putus tetapi tetap memainkan Bengong Jeumpa. Ada teknik harmonic yang bepadu dengan tetabuhan pada bdan gitar yang mengundang decak kagum. Gitaris manapun akan bergumam, itu adalah permainan teknik tinggi!
Pembawa acara yang menuntutn acara itu dengan hidup, terus menggoda penonton. Jubing cukup luwes di depan panggung, bila perlu ia berteriak meminta operator mengecilkan volume gitarnya. Suasana menjadi cair, tidak terkesan seram dan anggun sebagaimana terjadi kalau sebuah pertunjukan musik klasik berlangsung. Tetapi permainan gitar yang disuguhkannya tidak kalah agung karena penonton seperti tersihir di tempatnya masing-masing.
Jubing memainkan sebagian besar komposisi lagu pada album Hujan Fantasy, termasuk lagu dangdut Pengalaman Pertama yang pernah ngetop dibawakan A Rafiq. Dalam lagu ini Jubing ditemani Suryadi yang memainkan alat perkusi Nigeria bernama “voodoo”. Efek alat musik seperti kendi itu menghasilkan suara seperti tabla yang biasa dimainkan perkusionis India tetapi dengan suara yang lebih variatif. Ingin rasanya saya berdiri untuk berjoget karena lagu dangdut pun di tangan Jubing menjadi sangat fantastis. Saya sadar bahwa saya sedang menyaksikan gaya permainan musik klasik, bukan musik dangdut.
Kolaborasi Jubing dengan Suryadi yang lebih menghebohkan lagi terjadi saat lagu etnis Jawa, Gundul-gundul Pacul, berkumandang, mengentak kesadaran penonton, bahwa sebuah lagu sederhana pun bisa berbunyi dengan elegan, tidak kalah dengan komposisi Mozart, Bach, Paganini, atau Fernando Carulli. Pada lagu ini aksi Suryadi, perkusionis asal Solo yang memainkan kendang, seperti tidak terbendung lagi. Ia tampak ekstase menikmati permainannya sendiri, ditingkahi petikan gitar Jubing yang liar, mengalir dan tak terduga. Banyak penonton melakukan penghormatan dengan berdiri usai Gundul Pacul berakhir.
Tak pelak lagi, dua lagu yang diciptakan Ibu Sud, Becak dan Hujan yang dimainkan dalam rentang waktu berbeda, menjadi puncak penampilan Jubing secara solo pada malam itu. Tepuk tangan ritmik mengiringi masing-masing lagu itu, apalagi saat lagu itu berakhir. Hujan tepuk tanganpun turun dengan lebat saat Jubing mengakhiri Hujan dengan teknik mengocok gitar dari fret terendah sampai tertuinggi sehingga suara gitar akustik itu menghasilkan suara rintik hujan. Pada lagu Becak, Jubing memamerkan keahlian yang tidak banyak dimiliki gitaris manapun, yakni mengubah suara gitar menjadi suara gamelan. Saya dan mungkin penonton lainnya nyaris tidak percaya bahwa itu suara gitar!
Seperti telah saya sebutkan, Jubing membawakan sebagian besar komposisinya yang terdapat pada album Hujan Fantasy, termasuk lagu Taiwan, Ye Liang Tai Wo Tie Sien, dan lagu yang pernah dibawakan Freddie Mercury dari Queen, Bohemian Rhapsody. Bohemian benar-benar “menyihir” penonton karena Jubing memainkan komposisi terbaiknya yang sering dimainkan gitaris dunia itu. Namun saat Jubing memainkan Mission Imposible, saya lebih tidak percaya lagi kalau lagu itu begitu hidup, seakan-akan saya menyaksikan adegan dalam film Mission Imposible itu. Teknik permainan gitar yang imposible menjadi posible di tangan Jubing.
Pilihan kolaborasi Jubing dengan Suryadi dan Abimanyu memang menjadi paduan menawan malam itu, apalagi sebelumnya Jubing mengiringi Abimanyu yang membawakan lagu Gubahanku yang digubah Gatot Sunyoto. Kolaborasi Jubing-Abimanyu memaku penonton saat penyanyi tenot itu membawakan Sempurna dari Andra and The Backbone. Sebuah paduan yang benar-benar sempurna. Sayangnya, baik lagu Mission Imposible, Gubahanku, dan Sempurna tidak terdapat dalam kedua album Jubing yang pada malam itu laris manis, habis terjual. Saya berharap ketiga lagu itu akan terdapat dalam album jubing berikutnya.
Jubing, dan juga Suryadi serta Abimanyu menutup penampilan malam itu dengan lagu pamungkas Besame Mucho, seperti yang sudah saya ceritakan di awal tulisan ini. Saya sedih harus mengakhiri tontonan mereka pada malam itu. Tetapi saya percaya, malam itu milik mereka bertiga, khususnya Jubing. (PEPIH NUGRAHA)
2 comments:
Jubing ini apakah orang yang sama dengan J.B kristianto yang mengumpulkan data film indonesia dalam satu buku itu? kalau ya, wow.
Bukan, JB Kristanto itu wartawan Kompas yang kini sudah pensiun, tetapi tetap menulis. Jubing Kristianto mantan wartawan tabloid Nova yang beralih profesi sebagai musisi gitar atau gitaris.
Post a Comment