Tuesday, July 22, 2008

Catatan (55): Artikel Kompas

Sulitnya Tembus Halaman 6


MASIH dari forum diskusi Forum Pembaca Kompas (FPK) yang berlangsung di Hotel Santika pada 12 Juli lalu. Seorang peserta bertanya, "Bolehkah saya yang masih mahasiswa menulis artikel di halaman 6 Kompas?" Seorang peserta lainnya bertanya, "Mengapa artikel saya sulit sekali masuk halaman 6 Kompas?"


Halaman 6 Kompas adalah satu-satunya halaman (plus halaman 7) yang memang didekasikan untuk "orang luar". Maksudnya, tabu bagi wartawan Kompas menulis di halaman ini, kecuali untuk Tajuk Rencana. Ini halaman milik semua orang. Di halaman 6 ini (dulu halaman 4 sebelum redesain Kompas), ada Tajuk Rencana yang ditulis para editor tertentu, redaktur pelaksana,pemimpin redaksi dan bahkan pemilik koran. Ada pula rubrik "Redaksi Yth" yang merupakan surat pembaca yang sudah saya tulis dalam postingan yang lalu. Kemudian, ada pula kolom opini yang biasanya mengambil halaman 6-7 sekaligus.


Kolom opini atau halaman 6 Kompas digawangi oleh redaktur opini Tony Widiastono dan wakilnya, Irwan Julianto. Akan tetapi dalam diskusi FPK lalu, Mas Ton, demikian kami biasa memanggil Tony Widiastono, menjelaskan mengapa sebuah tulisan atau artikel ditolak di halaman yang menurut sementara orang bergengsi ini. Mas Ton berkali-kali mengatakan kata kunci "aktual", "aktual", dan "aktual".


Dalam forum itu dia mencontohkan bagaimana harus menolak sebuah tulisan mengenai "ethanasia", yakni proses kematian yang sengaja diminta karena derita sakit yang luar biasa misalnya. "Tidak ada hujan tidak ada angin, tiba-tiba masalah 'ethanasia" dimunculkan kembali. Sebaik apapun tulisan itu karena tidak aktual, yakni bukan hal yang dibicarakan banyak orang dalam konteks kekinian, ya sulit bisa dimuat. Kalaupun dimuat, saya selaku editor dan bahkan Kompas secara kelembagaan bakal ditertawakan banyak orang," jelas Mas Ton.


Mas Ton juga menekankan "keahlian" atau "kepakaran" seseorang sebagai jaminan bahwa tulisan itu layak dipertimbangkan untuk dimuat. Katakanlah kalau mengambil contoh "ethanasia", alangkah tepatnya jika persoalan itu dibahas seorang dokter, psikolog, sosiolog atau filsuf (etika). Atribusi "penikmat", "peminat", dan "pemerhati" sudah tidak zaman lagi. Katakanlah "Si Polan pemerhati ethanisia", jelas tidak kredibel lagi.


Panjang karangan. Ini yang juga ditekankan Mas Ton. Para penulis artikel umumnya terlena dan senang berpanjang-panjang dalam menulis. Padahal yang bisa diakomodir hanyalah tulisan dengan kurang lebih 5.000 karakter saja. "Kurang dari itu malah lebih baik," katanya. Meyakinkan penulis agar menulis ringkas (concise) , menurut dia awalnya sulit. Akan tetapi, lama-kelamaan terbiasa juga.


Dijelaskan, setiap hari Harian Kompas menerima tidak kurang dari 100 artikel, padahal yang bisa dimuat paling banyak 4 artikel saja. Dari empat inipun termasuk tulisan para pakar yang diminta khusus untuk menulis di halaman 6 ini, sehingga jatah para penulis lain dengan sendirinya berkurang. 


Seorang peserta lain bertanya, hal apa saja yang boleh ditulis untuk halaman 6 Kompas. Mas Ton menjelaskan, semua masalah boleh ditulis. Hanya saja, artikel mengenai masalah agama tidak lagi ditampilkan di halaman 6 Kompas, tetapi bisa mengambil di halaman lainnya semisal "Lembaran Bentara", Di sini masalah agama bisa dikupas lebih mendalam lagi karena si penulis tidak dibatasi keharusan menulis kurang lebih 5.000 karakter tadi.


Selamat mencoba!

4 comments:

yeye said...

wah pas banget nech yang pernah aku tanyakan (in-formal) ke mas pepih sewaktu temu blogger di Ancol.

Tapi bicara aktual, kayaknya artikel yang pernah aku tulis dulu dan kirimkan ke redaksi sangat aktual dech, tapi mungkin aktual menurut pendapat redaksi dan kita beda kali yach......

dan pastinya ada faktor xxxx lainnya yang akan dipertimbangkan untuk memuat tulisan kita donk, gapapalah tetap semangat buat para penulis yach....

Lumayan nech trik-trik dari mas pepih dan teamnya,nanti aku coba lagi dech.....

tx mas...
yy

Anonymous said...

makasih trik dan tips menulisnya....menggugah buat terus menulis.

Pepih Nugraha said...

Untuk Mas Yul dan Mas Sukron, saya senang kalau postingan ini ada manfaatnya. Teruskan menulis, jangan lekas berputus asa!

Pepih Nugraha said...

Khusus untuk Mas Sukron, tetap konsisten di bidangnya (budaya Sunda), Anda akan menjadi Ajip Rosidi atau Jacob Sumardjo jika tetap konsisten menulis di bidang itu.