Menimbang Buku, Menulis Resensi
DULU, sewaktu masih duduk di bangku perguruan tinggi, saya belum berani menulis resensi buku. Dalam arti menulis di atas mesin tik (waktu itu), lalu dikirimkan ke redaksi harian atau majalah. Belum, belum berani. Namun demikian, sehabis membaca satu buku, saya selalu "menceritakan kembali" (retold) apa-apa yang saya ingat di dalam buku... catatan harian!
Ketika buku catatan harian itu saya buka kembali, saya masih bisa menemukan berbagai "resensi" saya. Tidak hanya buku, bahkan artikel di majalah pun. Saat itu tahun 1987-an majalah yang saya baca Tempo dan Prisma, saya bikin semacam ringkasannya, membuat komentar, membandingkannya dengan artikel yang lain, dan bahkan berani men-judge artikel itu. Dulu, saya merasa menulis resensi buku untuk dimuat di koran atau majalah sesuatu yang sangat "high" dibanding sekadar menulis artikel atau fiksi. Makanya hanya termuat di catatan harian saja, buat dibaca sendiri.
Akan tetapi, upaya saya mengingat kembali dan menuliskan ringkasan apa yang telah saya baca dan menuangkannya ke dalam catatan harian, sungguh pelajaran yang sangat berharga, meski saat itu tidak ada yang membimbing saya. Barangkali, saya terlalu sayang, jangan-jangan apa-apa yang sudah saya dapatkan di kepala akan cepat hilang tergerus masa kalau tidak diingat kembali. Lantas saya menorehkannya dalam sebuah "prasasti" bernama catatan harian.
Setelah saya bekerja di Harian Kompas, jauh-jauh hari sebelum menjadi wartawan, saya sudah mulai memberanikan diri menulis resensi dan... dimuat! Mungkin bukan karena resensi saya bagus, tetapi karena buku yang saya resensi masih aktual dan sedang hangat diperbincangkan. Saya mulai merenung dan menimbang-nimbang, ternyata tidak selalu buku baru saja yang berhasil saya resensi. Uniknya, setelah salah satu resensi buku dimuat Kompas, saya mendapat buku-buku gratis dari penerbit setiap menerbitkan buku baru. Ketika saya tanya mengapa saya dikirimi buku-buku "fresh from the oven", penerbit bilang, bukunya terjual signifikan setelah saya resensi. Tentu bukan faktor saya, tetapi faktor Kompas sebagai harian terbesar dan berpengaruh.
Saya mau berbagi pengalaman menulis resensi di sini. Mungkin hanya berdasarkan intuisi saja, tanpa referensi. Cara orang lain mungkin jauh lebih canggih. Tetapi saya punya pengalaman sendiri.
Pertama, saya selalu menghabiskan seluruh buku itu sampai selesai dari A sampai Z. Jangan sekali-kali meresensi buku hanya melihat kesimpulannya atau setelah membaca resensi orang lain dari buku yang sama! Itu sama saja dengan menipu diri sendiri. Tamatkan buku itu, lalu pahami inti persoalan yang dibicarakan atau dibahas buku itu. Adakah keseimpulan yang tidak sejalan dengan pikiran Anda berdasarkan referensi yang sudah diperoleh sebelumnya? Adakah bahasan buku itu sesuatu yang baru (novel) atau sekadar mengulang-ulang cerita/bahasan lama dengan kemasan baru?
Kedua, bandingkan dengan buku lainnya yang senada! Perbandingan itu bisa menyangkut isi buku atau topik yang dibahas (misal masalah kelas menengah), bisa membandingkan si penulis dengan penulis lain dengan kepakaran dan bahasan yang sama, atau membandingkan kesenjangan waktu persoalan yang dikemukakan, misal membandingkan timbulnya kelas menengah zaman penjajahan dengan masa kini. Perbandingan ini terkait dengan poin pertama di atas.
Ketiga, Jangan menyimpulkan isi buku dari kata pengantar atai preface sehingga belum apa-apa sudah mengutip kata pengantar. Bagi editor yang berpengalaman, ia segera tahu bahwa resensi yang Anda tulis dangkal isinya dan Anda terkesan (baca sudah terjebak) sejak di awal perjalanan membaca buku itu.
Keempat, Kutipan seperlunya saja dan menyangkut hal-hal penting. Terlalu banyak kutipan dari buku mengesankan penulis resensi tidak bisa memformulasikan pikirannya sendiri dan terkesan hanya memperpanjang-panjang tulisan saja.
Kelima, kenali si pengarang buku. Dengan mengenali si penulis buku, kita menjadi tahu buku apa yang pernah ditulisnya dan kita bisa memberi judgement. Misal kalau kita sudah membaca buku Laskar Pelangi dari Andrea Hirata, saat kita meresensi buku Sang Pemimpi atau Edensor dari penulis yang sama, kita bisa memberi perbandingan. Dengan demikian memperkaya resensi Anda.
Keenam, formulasikan resensi dengan bahasa sendiri, bukan terseret meniru bahasa si pengarang yang bukunya sedang kita resensi. Sekali lagi, jadilah diri sendiri (be youself).
DULU, sewaktu masih duduk di bangku perguruan tinggi, saya belum berani menulis resensi buku. Dalam arti menulis di atas mesin tik (waktu itu), lalu dikirimkan ke redaksi harian atau majalah. Belum, belum berani. Namun demikian, sehabis membaca satu buku, saya selalu "menceritakan kembali" (retold) apa-apa yang saya ingat di dalam buku... catatan harian!
Ketika buku catatan harian itu saya buka kembali, saya masih bisa menemukan berbagai "resensi" saya. Tidak hanya buku, bahkan artikel di majalah pun. Saat itu tahun 1987-an majalah yang saya baca Tempo dan Prisma, saya bikin semacam ringkasannya, membuat komentar, membandingkannya dengan artikel yang lain, dan bahkan berani men-judge artikel itu. Dulu, saya merasa menulis resensi buku untuk dimuat di koran atau majalah sesuatu yang sangat "high" dibanding sekadar menulis artikel atau fiksi. Makanya hanya termuat di catatan harian saja, buat dibaca sendiri.
Akan tetapi, upaya saya mengingat kembali dan menuliskan ringkasan apa yang telah saya baca dan menuangkannya ke dalam catatan harian, sungguh pelajaran yang sangat berharga, meski saat itu tidak ada yang membimbing saya. Barangkali, saya terlalu sayang, jangan-jangan apa-apa yang sudah saya dapatkan di kepala akan cepat hilang tergerus masa kalau tidak diingat kembali. Lantas saya menorehkannya dalam sebuah "prasasti" bernama catatan harian.
Setelah saya bekerja di Harian Kompas, jauh-jauh hari sebelum menjadi wartawan, saya sudah mulai memberanikan diri menulis resensi dan... dimuat! Mungkin bukan karena resensi saya bagus, tetapi karena buku yang saya resensi masih aktual dan sedang hangat diperbincangkan. Saya mulai merenung dan menimbang-nimbang, ternyata tidak selalu buku baru saja yang berhasil saya resensi. Uniknya, setelah salah satu resensi buku dimuat Kompas, saya mendapat buku-buku gratis dari penerbit setiap menerbitkan buku baru. Ketika saya tanya mengapa saya dikirimi buku-buku "fresh from the oven", penerbit bilang, bukunya terjual signifikan setelah saya resensi. Tentu bukan faktor saya, tetapi faktor Kompas sebagai harian terbesar dan berpengaruh.
Saya mau berbagi pengalaman menulis resensi di sini. Mungkin hanya berdasarkan intuisi saja, tanpa referensi. Cara orang lain mungkin jauh lebih canggih. Tetapi saya punya pengalaman sendiri.
Pertama, saya selalu menghabiskan seluruh buku itu sampai selesai dari A sampai Z. Jangan sekali-kali meresensi buku hanya melihat kesimpulannya atau setelah membaca resensi orang lain dari buku yang sama! Itu sama saja dengan menipu diri sendiri. Tamatkan buku itu, lalu pahami inti persoalan yang dibicarakan atau dibahas buku itu. Adakah keseimpulan yang tidak sejalan dengan pikiran Anda berdasarkan referensi yang sudah diperoleh sebelumnya? Adakah bahasan buku itu sesuatu yang baru (novel) atau sekadar mengulang-ulang cerita/bahasan lama dengan kemasan baru?
Kedua, bandingkan dengan buku lainnya yang senada! Perbandingan itu bisa menyangkut isi buku atau topik yang dibahas (misal masalah kelas menengah), bisa membandingkan si penulis dengan penulis lain dengan kepakaran dan bahasan yang sama, atau membandingkan kesenjangan waktu persoalan yang dikemukakan, misal membandingkan timbulnya kelas menengah zaman penjajahan dengan masa kini. Perbandingan ini terkait dengan poin pertama di atas.
Ketiga, Jangan menyimpulkan isi buku dari kata pengantar atai preface sehingga belum apa-apa sudah mengutip kata pengantar. Bagi editor yang berpengalaman, ia segera tahu bahwa resensi yang Anda tulis dangkal isinya dan Anda terkesan (baca sudah terjebak) sejak di awal perjalanan membaca buku itu.
Keempat, Kutipan seperlunya saja dan menyangkut hal-hal penting. Terlalu banyak kutipan dari buku mengesankan penulis resensi tidak bisa memformulasikan pikirannya sendiri dan terkesan hanya memperpanjang-panjang tulisan saja.
Kelima, kenali si pengarang buku. Dengan mengenali si penulis buku, kita menjadi tahu buku apa yang pernah ditulisnya dan kita bisa memberi judgement. Misal kalau kita sudah membaca buku Laskar Pelangi dari Andrea Hirata, saat kita meresensi buku Sang Pemimpi atau Edensor dari penulis yang sama, kita bisa memberi perbandingan. Dengan demikian memperkaya resensi Anda.
Keenam, formulasikan resensi dengan bahasa sendiri, bukan terseret meniru bahasa si pengarang yang bukunya sedang kita resensi. Sekali lagi, jadilah diri sendiri (be youself).
Ketujuh, upayakan menulis resensi dari buku yang baru terbit. Bahkan jika Anda sudah mengenal dan akrab dengan penerbit, bisa membaca terlebih dahulu draf akhir buku itu sebelum diterbitkan. Sehingga, Andalah yang pertama meresensi buku itu sebelum diresensi orang lain. Editor yang menerima naskah Anda pun akan senang mendapat resensi buku baru dan mutakhir. Tetapi sekali lagi, ini tidaklah mutlak. Batasan waktu sangat fleksibel.
Kedelapan, menulis resensi buku adalah menolong orang mempermudah memahami suatu isi buku. Atau, mengajak orang untuk membaca buku yang Anda resensi. Maka, jangan sekali-kali menggunakan bahasa yang rumit dan sulit dimengerti hanya karena kita ingin menonjolkan kehebatan diri sendiri dalam berbahasa. Anggaplah para pembaca resensi Anda itu orang awam dimana Anda sedang bercakap-cakap kepada mereka. Lihat media massa yang Anda tuju. Kalau harian umum, tentu saja bahasanya juga harus yang umum-umum saja. Tetapi, sekalipun Anda menulis resensi buku untuk dimuat di jurnal ilmiah, saya sarankan tetap gunakan bahasa yang mudah dimengerti. Percayalah, Anda tidak akan turun gengsi hanya karena menggunakan bahasa yang umum.
Barangkali masih ada tips atau kiat lainnya dalam menulis resensi. Anda bisa belajar dari para penulis resensi lainnya yang berpengalaman. Hanya saja, itulah pengalaman yang saya dapatkan dan bisa saya praktikan dalam menulis resensi. Sekedar memberi contoh, saya sertakan dalam tulisan ini salah satu resensi saya yang pernah dimuat di Harian Kompas, Jumat 10 Februari 1995 halaman 12. Sebuah buku novel klasik :
FRANKENSTEIN, "DOMBA" DEWA ILMU-ILMU SESAT
Mary Shelley, Frankenstein (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 1994),
370 halaman.
TERBIT pertama kali 11 Maret 1818, Shelley memberi judul novelnya Frankenstein Or the Modern Prometheus. Cerita dimulai dengan surat-menyurat antara R Walton, seorang ilmuwan yang pada awal abad ke-18 menjelajah Kutub Utara dengan adiknya Mrs Saville. Dalam keterasingannya di ujung benua beku, R Walton bertemu dengan manusia yang nyaris mati membeku terapung dalam sebuah kereta es.
Jarak yang memisahkan belahan dunia paling utara - yang beku berselimutkan salju abadi - dengan Inggris yang hiruk-pikuk tidak membuat komunikasi kakak-beradik ini putus. Dari penuturan R Walton inilah aksi dendam membara antara Frankenstein (manusia yang hampir mati beku itu) dengan makhluk berwajah buruk ciptaannya bergulir.
Soal penjelajahan R Walton dalam usahanya mencari dan menemukan ilmu pengetahuan tentang kutub utara, boleh jadi Shelley terilusi gejolak ilmuwan pada masanya atau pada masa Frankenstein "hidup", yang sama-sama menaruh perhatian serta minat dalam membongkar rahasia kebekuan alam kutub. Sekadar menyebut beberapa nama, antara lain Sir John Franklin (1786-1847) penjelajah kutub utara, atau Nathanael Palmer (1799-1877), dan Fabian von Bellingshausen (1779-1852) yang mencoba mencari jalan ke kutub selatan.
Secara sengaja atau tidak, Shelley terkesan telah terjebak dalam cerita berbingkai ala sastra Melayu kuno. Artinya si tokoh bercerita tentang tokoh lain di mana tokoh lain ini juga punya cerita, tetapi ungkapan emosional seperti marah, gembira, putus asa, semangat jiwa, dendam membara, dan segala permainan rasa menemukan bentuknya yang paling menawan, yakni bahasa yang teramat puitis.
Efek psikologis dan ajaran filsafat moral yang dikandungnya amat melelahkan untuk dipahami, tetapi Shelley tidak sekadar mengobral penguasaan bahasa puitisnya (kebetulan Shelley juga seorang penyair). Dalam kalimat-kalimat terpilihnya, ia justru hendak menerangkan makna kehidupan, paling tidak bagi tokoh-tokoh yang terlibat dalam ceritanya.
Ilmuwan sejati
Victor Frankenstein, demikian nama lengkap si empunya tokoh cerita, adalah tipe seorang anak muda yang cerdas dan ambisius, yang rasa hausnya akan ilmu pengetahuan tidak pernah terpuaskan. Semenjak kanak-kanak Victor kecil sudah gemar mengamati gejala-gejala alam. Petir yang menyambar-nyambar menghanguskan pohon eik, perubahan siang-malam, pergantian musim, dan rahasia-rahasia alam yang menakjubkan adalah pemandangan sehari-hari.
Tetapi dalam perjalanan hidupnya, Frankenstein terjerumus dan terpenjara oleh ajaran-ajaran ilmuwan-ilmuwan purba dewa pujaannya, yakni Cornelius Agrippa (1486-1535), Paracelcus (1493-1541).
Ilmuwan-ilmuwan ini bukan ilmuwan fiktif. Mereka pernah menyumbang serta memperkaya khasanah jenis "ilmu pengetahuan baru" pada masanya, meski ilmu-ilmu mereka lebih condong ke ilmu klenik dan magic daripada ilmu filsafat atau kedokteran. Di sini terlihat usaha Shelley yang tidak main-main, tidak asal menulis novel fiktif, melainkan merujuk pada ilmu-ilmu lain, yang membuat novelnya layak menempati posisi terhormat dalam ajaran fiksi-fiksi ilmiah.
Pada usia 17 tahun, Frankenstein harus meninggalkan kotanya dan saudara-saudaranya untuk menuntut ilmu di Ingolstadt. Kemalangan menimpanya sejak awal perjalanan menuju kota pusat ilmu pengetahuan itu, yakni dengan kematian ibunda tercinta. "Anak-anakku, harapan terbesarku untuk memperoleh kebahagiaan di masa mendatang terletak pada ikatan antara kalian berdua," pesan ibunya sebelum meninggal seraya mempersatukan tangan Frankenstein dengan Elizabeth Lavenza, "saudara sepupu" yang kelak bakal menjadi calon istrinya.
Dengan perasaan tegar, harus ia tinggalkan ayahnya yang berselimutkan nestapa, Elizabeth yang berduka, juga Henry Clerval, sahabat setianya yang kecewa karena tidak memperoleh izin ayahnya untuk sama-sama bersekolah.
Berbekal teori dewa-dewa ilmu pengetahuan pujaannya yang berjejalan di kepalanya, Victor Frankenstein berangkat menuju negeri impian. Tetapi yang ia dapatkan di Ingolstadt adalah kekecewaan demi kekecewaan. Ia harus berhadapan dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan alam (terutama ilmu kimia dan faal) yang asing baginya, yang benar-benar berbeda dengan ajaran-ajaran dewa-dewa ilmu pengetahuan pujaannya. Apalagi ia harus berhadapan dengan Prof M Krempe, yang sejak semula sudah melecehkan otak Frankenstein yang menurutnya sudah terjejali teori-teori sampah.
"Setiap waktumu kau gunakan untuk mengisi otakmu dengan teori-teori sesat. Ya Tuhan, di gurun pasir mana kau tinggal, sehingga tak ada seorang pun yang bisa memberimu nasihat? Tuan Frankenstein yang terhormat, kau harus belajar dari permulaan lagi!" Bagai petir menyambar, Frankenstein amat geram atas pelecehan profesornya.
Memutar logika
Frankenstein melihat bagaimana kematian selalu berhasil mengalahkan kehidupan. Ia hendak memutar logika yang telah sejak lama diakui sebagai kebenaran mutlak ini, yakni kematian juga bisa menciptakan kehidupan. Dari usaha kerasnya yang tanpa batas inilah kemudian tercipta sesosok makhluk baru yang mengerikan. Ukuran tubuhnya di luar batas ukuran tubuh manusia normal, karena kesulitannya membuat bagian-bagian tubuh manusia yang amat rumit.
Boleh dibilang, hanya "manusia" dengan anggota-anggota tubuh kasar sajalah yang tercipta dari usaha kerasnya. Seperti inilah gambaran makhluk ciptaan Frankenstein: kulit kuning yang hampir tidak dapat menyembunyikan jaringan otot dan pembuluh darah di bawahnya, rambut sehitam beledu panjang dan lebat, mata sewarna dengan lekuk mata, wajah keriput dan bibir lurus berwarna hitam.
Apa yang terjadi kemudian pada diri Frankenstein adalah kekecewaan mendalam. Setelah makhluk ciptaannya hidup (dihidupkan), ia membayangkan kengerian yang menyesakkan napas serta rasa jijik yang mencekik, apalagi di kemudian hari makhluk ciptaannya - yang kekuatannya berpuluh-puluh kali kekuatan manusia biasa - itu menunjukkan sifat-sifat jahat dan pendendam.
Pada awal kehidupannya, makhluk tanpa nama ini menganggap Frankenstein adalah tuan dan sekaligus penciptanya yang layak dihormati. Tetapi karena rasa ngeri, Frankenstein cenderung menghindarinya. Puncaknya adalah tatkala si makhluk ciptaannya menuntut untuk menciptakan makhluk baru sebagai pasangan hidupnya, setelah ia ditolak dan dicampakkan manusia karena ukuran tubuhnya yang mengerikan.
Frankenstein menolak, sebab ia merasa kelangsungan seluruh hidup manusia terancam hanya oleh sesosok makhluk mengerikan ini. Bagaimana pula kalau ada pasangan yang kelak akan menghasilkan keturunan. Penolakan ini berakibat fatal, sebab orang-orang terdekat Frankenstein menemui ajal di tangan makhluk ciptaannya, seperti William, Justine, Henry Clerval, dan bahkan Elizabeth Lavenza, calon istrinya. Frankenstein sendiri menemui ajal dalam usahanya mengejar makhluk ciptaannya di kutub utara, sampai R Walton kemudian menemukannya.
"Manusia" tercabik
Ada gambaran beberapa watak manusia yang saling berbeda dan bertentangan dalam novel Shelley ini. Misalnya, tokoh Elizabeth Lavenza yang penyabar dan penuh perhatian, Henry Clerval yang hangat, Frankenstein yang serius dan keras kepala, serta karakter makhluk ciptaannya yang sedemikian jahat dan pendendam.
Tetapi benarkah ia makhluk yang jahat? Bertentangan dengan penilaian sementara orang, makhluk ciptaan Frankenstein ini justru makhluk yang lembut dan selalu ingin berteman. Makhluk ini ditolak lingkungannya karena bentuk tubuhnya yang tidak proporsional. Ia terusir karena manusia tidak pernah menerima dan mencintainya. Ia adalah potret "manusia" yang tercabik-cabik, yang merasa hanya orang buta totallah yang dapat menerima keberadaannya.
Novel Frankenstein ini mencapai sukses luar biasa, sehingga boleh dikata novelis wanita Inggris yang lahir 30 Agustus 1797 ini menambah kata baru (Frankenstein) untuk kamus dalam bahasa mana pun, sama seperti novelis Bram Stoker dengan Dracula-nya.
Novel-novel karya Mary Shelley lainnya adalah Mathilda (1822), Valperga (1823), The Last Man (1826), dan Lodore (1835). Tetapi Frankenstein-lah yang melambungkan namanya. Sukses Frankenstein berlanjut menjadi film-film dalam berbagai versi dan kisah lanjutan yang terkesan "dihubung-hubungkan", yang tentu tidak diinginkan Shelley. Bila ada yang pantas dikecewakan Shelley di luar mega sukses novelnya, itu adalah adanya dugaan orang yang menganggap karyanya adalah novel horor. Padahal ia seratus persen fiksi ilmiah. (Pepih Nugraha)
No comments:
Post a Comment