Makanan Eksotis "Warung Ceuceu"
TELAH bekerja sejak 1990. Hampir 17 tahun. Tetapi, baru beberapa minggu lalu saya tahu namanya: O’om Khadijah. Mengapa baru tahu namanya? Sebab saya menanyakan siapa namanya.
“Ari nami Ibu teh saha?” Tanya saya dalam bahasa Sunda menanyakan namanya, saat saya makan siang tanpa teman beberapa waktu lalu, sendiri saja. Saya hanya tahu bahwa dia orang Sukabumi, Jawa Barat.
“O’om Khadijah,” jawabnya. Saya kemudian menanyakan nama almarhum suaminya, yang ia jawab, “Muhammad Zen.” Dulu, sang suami kerap membantunya saat ia melayani pembeli. Tetapi setelah ia pergi selamanya, O'om dibantu seorang asisten yang masih terhitung belia.
Siapa O’om Khadijah? Dialah “Ceuceu”, demikian O’om biasa dipanggil, yang membuka warung di sudut kanan The Jakarta Post! Karyawan di lingkungan tempat kami bekerja menamakannya Warung "Ceuceu”. Saya biasa memanggilnya "Ibu".
Untuk masuk ke warungnya, kita harus melewati lorong sempit . Di ruangan 16 meter persegi itulah Ceuceu menjalankan roda bisnisnya, mulai Senin hingga Jumat, dari pukul 10.00 hingga 15.00. Seingat saya, sejak 1990 pun Ceuceu sudah membuka warungnya dengan menu yang tidak banyak berubah sampai sekarang.
Saya mau cerita mengenai menu spesialnya: telur bebek goreng. Saya tidak tahu mengapa telur bebek goreng yang dihidangkannya selalu wangi dan renyah. Dihidangkan selalu panas, fresh from ketel. Minyak gorengnya selalu baru dan bening. "Ibu mah tara nganggo minyak goreng tilas, komo jalantah mah," katanya. Maksudnya, ia tidak pernah menggunakan minyak goreng bekas.
Teman si telur goreng panas, ada dua pilihan: sayur asem atau sop segar. Well, tinggal pilih saja. Agar wangi, telur kopyok (kocok) itu dicampur merica, juga irisan bawang daun dan cabai kalau suka. Tetapi, si sayur asem itulah yang biasanya lebih dahulu habis dan amat pas bila mendampingi telur bebek goreng. Soal sayur asem, rasanya sangat eksotis. Bayangkan, gabungan antara asam, pedas, dan panas jadi satu.
Soal selera memang tidak bisa diperdebatkan. Tetapi, sejak lama saya dan kawan-kawan, termasuk para petinggi kantor seperti Mas Tom (Suryopratomo), Mas Nin (Ninok Leksono), dan mantan wartawan Kompas, Ace Suhaedi Masdupi, selalu menjadi langganan fanatiknya. Setiap hari kalau lagi ramai, si Ceuceu mampu menjual 50 butir telur bebek. Hanya telur bebek! "Pami nuju sepi mah tiasa ngical 25 oge tos untung," akunya merasa beruntung kalau mampu menjual 25 telur bebek sehari.
Kita kerap rela menunggu lama di dalam ruangan yang sumpek dan sumuk. Tetapi setelah pesanan terhidang, rasa penat dan kesal hilang seketika. Apalagi minumannya jeruk panas (lihat foto di atas). Dengan uang Rp 14.000, kita sudah mendapatkan paket telur bebek panas, sayur asem atau sop panas, sambal gratis yang pedas, satu cumi goreng asin, sekerat tahu goreng panas, sepiring nasi cianjur yang mengepul, dan minuman jeruk panas yang bikin keringat menderas.
TELAH bekerja sejak 1990. Hampir 17 tahun. Tetapi, baru beberapa minggu lalu saya tahu namanya: O’om Khadijah. Mengapa baru tahu namanya? Sebab saya menanyakan siapa namanya.
“Ari nami Ibu teh saha?” Tanya saya dalam bahasa Sunda menanyakan namanya, saat saya makan siang tanpa teman beberapa waktu lalu, sendiri saja. Saya hanya tahu bahwa dia orang Sukabumi, Jawa Barat.
“O’om Khadijah,” jawabnya. Saya kemudian menanyakan nama almarhum suaminya, yang ia jawab, “Muhammad Zen.” Dulu, sang suami kerap membantunya saat ia melayani pembeli. Tetapi setelah ia pergi selamanya, O'om dibantu seorang asisten yang masih terhitung belia.
Siapa O’om Khadijah? Dialah “Ceuceu”, demikian O’om biasa dipanggil, yang membuka warung di sudut kanan The Jakarta Post! Karyawan di lingkungan tempat kami bekerja menamakannya Warung "Ceuceu”. Saya biasa memanggilnya "Ibu".
Untuk masuk ke warungnya, kita harus melewati lorong sempit . Di ruangan 16 meter persegi itulah Ceuceu menjalankan roda bisnisnya, mulai Senin hingga Jumat, dari pukul 10.00 hingga 15.00. Seingat saya, sejak 1990 pun Ceuceu sudah membuka warungnya dengan menu yang tidak banyak berubah sampai sekarang.
Saya mau cerita mengenai menu spesialnya: telur bebek goreng. Saya tidak tahu mengapa telur bebek goreng yang dihidangkannya selalu wangi dan renyah. Dihidangkan selalu panas, fresh from ketel. Minyak gorengnya selalu baru dan bening. "Ibu mah tara nganggo minyak goreng tilas, komo jalantah mah," katanya. Maksudnya, ia tidak pernah menggunakan minyak goreng bekas.
Teman si telur goreng panas, ada dua pilihan: sayur asem atau sop segar. Well, tinggal pilih saja. Agar wangi, telur kopyok (kocok) itu dicampur merica, juga irisan bawang daun dan cabai kalau suka. Tetapi, si sayur asem itulah yang biasanya lebih dahulu habis dan amat pas bila mendampingi telur bebek goreng. Soal sayur asem, rasanya sangat eksotis. Bayangkan, gabungan antara asam, pedas, dan panas jadi satu.
Soal selera memang tidak bisa diperdebatkan. Tetapi, sejak lama saya dan kawan-kawan, termasuk para petinggi kantor seperti Mas Tom (Suryopratomo), Mas Nin (Ninok Leksono), dan mantan wartawan Kompas, Ace Suhaedi Masdupi, selalu menjadi langganan fanatiknya. Setiap hari kalau lagi ramai, si Ceuceu mampu menjual 50 butir telur bebek. Hanya telur bebek! "Pami nuju sepi mah tiasa ngical 25 oge tos untung," akunya merasa beruntung kalau mampu menjual 25 telur bebek sehari.
Kita kerap rela menunggu lama di dalam ruangan yang sumpek dan sumuk. Tetapi setelah pesanan terhidang, rasa penat dan kesal hilang seketika. Apalagi minumannya jeruk panas (lihat foto di atas). Dengan uang Rp 14.000, kita sudah mendapatkan paket telur bebek panas, sayur asem atau sop panas, sambal gratis yang pedas, satu cumi goreng asin, sekerat tahu goreng panas, sepiring nasi cianjur yang mengepul, dan minuman jeruk panas yang bikin keringat menderas.
Kalau sahabat sekali waktu main-main ke sekitar Gedung Kompas-Gramedia di Jalan Palmerah Selatan, carilah Warung "Ceuceu" yang letaknya tersembunyi itu. Soal rasa dan selera, wah... saya tidak bisa berdebat soal itu. Coba sajalah!
No comments:
Post a Comment