Thursday, June 21, 2007

Berbagi Pengalaman Menulis (26)



Pengalaman Adhi KSP Menulis Konflik



ROBERT Adhi Kusumaputra adalah satu dari sekitar 250 wartawan Kompas yang tahan di segala cuaca. Ia sudah banyak makan asam garam di berbagai jenis liputan di berbagai wilayah, termasuk wilayah Sambas yang berdarah-darah, saat konflik etnis Melayu-Madura merebak. Ia termasuk wartawan yang "cepat kaki ringan tangan", tidak pernah menolak tugas. Ditugaskan dimana pun jadi.



Saya pribadi mengenail KSP, demikian ia biasa disapa, sejak masih mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi. Waktu itu, tahun 1988-an, KSP sudah menjadi calon koresponden (cakor), satu tingkatan yang berlaku di Harian Kompas sebelum mendapat brevet menjadi wartawan Kompas. Untuk mendapat brevet itu tidaklah mudah. Perlu merambah sejumlah wilayah.



Waktu KSP masuk Jakarta dan ditempatkan di seputar Tangerang, ia tercatat sebagai wartawan lapangan yang "berpenghasilan paling banyak" alias "paling kaya". Soalnya KSP wartawan yang sangat-sangat rajin dan produktif. Baginya, apa saja bisa menjadi berita dan menarik dibaca. Semangatnya luar biasa besar untuk menghasilkan karya tulis.



Waktu itu sebelum mendapat gaji tetap, penghasilan wartawan diukur dari banyaknya tulisan, juga kualitas tulisan. Kalau tulisannya bisa "leading" terus di halaman satu, jelas penghasilannya semakin banyak. Tidak heran kalau pada masa itu (1990-an) gaji awal wartawan sekitar Rp 500.000/bulan, Adhi bisa berpenghasilan lebih dari Rp 2 juta/bulan!



KSP kini punya blog http://adhikusumaputra.blogspot.com/ yang banyak dikunjungi berbagai kalangan dari berbagai belahan dunia. Sebagai wartawan yang pernah ditugaskan di daerah konflik, KSP (lihat foto di atas) punya pengalaman khusus yang akan ia ceritakan buat sahabat semua di bawah ini...






SAYA diminta sahabat saya Pepih Nugraha untuk menulis pengalaman saya selama menjadi wartawan Kompas di blognya (http://pepihnugraha.blogspot.com/). Dari sekian banyak pengalaman jurnalistik yang pernah saya jalani, ada satu pengalaman yang paling dahsyat, yang tidak mungkin saya lupakan hingga hari ini. Sangat sulit bagi saya untuk melupakannya, meskipun peristiwanya sudah berlangsung delapan tahun yang lalu. Kerusuhan etnis di Sambas, Kalimantan Barat yang menelan korban ribuan orang tewas dan ribuan rumah musnah. Beberapa di antaranya, saya saksikan langsung dengan mata kepala saya sendiri.



Saya sebetulnya sudah terbiasa melihat korban kekerasan pembunuhan. Maklum, saya cukup lama menjadi wartawan crime. Saya sudah terbiasa menjelajahi wilayah Jakarta dan sekitarnya, mencari rumah korban atau pelaku kejahatan. Mengenal polisi dari pangkat terendah sampai tertinggi. Dari tewasnya Aldi di rumah Ria Irawan di Lebak Bulus sampai pembunuhan maestro pelukis Basoeki Abdullah di Cilandak. Sungguh asyik dan menarik mengikuti perkembangan kasus-kasus seperti ini, ibaratnya wartawan pun menjadi detektif, reserse, atau Sherlock Homes!



Bagaimana bisa? Satu prinsip penting ketika Anda ingin menjadi wartawan yang "tahan segala cuaca" adalah menikmati pekerjaan Anda. Ketika Anda harus meliput peristiwa pembunuhan, kerjakan dengan sepenuh hati. Buat detil-detilnya, seperti Anda membaca cerita kriminal atau novel Agatha Christie. Tapi jangan menulis data fiktif, catatlah detil-detil fakta yang Anda lihat dan temukan di lapangan.



Nah, ketika saya bertugas di Kalimantan Barat, saya mengalami peristiwa dahsyat: meliput kerusuhan etnis di Sambas. Peristiwa yang hingga kini, sulit saya lupakan begitu saja. Betapa tidak? Saya melihat langsung pembantaian di depan mata saya. Isi perut dikeluarkan, hatinya dimakan (betul-betul dimakan), dan maaf, saya tak mau meneruskan detil soal ini. (http://adhikusumaputra.blogspot.com/search/label/Konflik%20Etnis%20di%20Sambas).



Tapi saya harap Anda bisa membayangkan betapa dahsyatnya peristiwa atau tragedi Sambas itu. Saya dengar beberapa polisi dan tentara mengalami gangguan jiwa karena shock melihat warga yang seharusnya mereka lindungi, tapi mereka tak mampu berbuat apa-apa.



Saya sendiri diasuransikan kantor saya, Kompas saat meliput tragedi Sambas itu. Saya dengar itu dari Pak Bambang SP (dulu Sekretaris Redaksi) soal asuransi ini. Ya betapa tidak. Selain menghadapi situasi yang bisa saja suatu hari saat meliput di daerah konflik, saya jadi korban dipanah orang tak dikenal misalnya, atau pada satu situasi, saya mengalami peristiwa di mana suara tembakan terdengar keras. Ternyata tentara dan polisi menghadang massa yang akan menyerang markas Polres Sambas. Ada sepuluh atau sebelas orang yang mati. Terbayang nggak kalau saya kena peluru nyasar waktu itu?



Tapi saya bersyukur, saya mengalami semua peristiwa itu, memandangnya sebagai petualangan jurnalis yang mengasyikkan. Sama mengasyikkannya ketika saya menjelajahi hutan Kalimantan, tidur di hutan di Taman Nasional Bentuang Karimun (belakangan menjadi TN Betung Kerihun). Hutan perawan, sungai jernih tanpa polusi. Waw. Belum lagi kalau saya ingat-ingat, perjalanan di Kalbar itu penuh pengalaman, seperti ban kempes kena paku di tengah hutan. Kalau Anda mengalami hal seperti itu, apa yang Anda pikirkan? Di tengah hutan yang sangat jarang dilalui orang lain lho. Pengalaman-pengalaman jurnalistik seperti ini, bagi saya, merupakan petualangan, adventure yang sesungguhnya. (http://adhikusumaputra.blogspot.com/search/label/Taman%20Nasional%20Bentuang%20Karimun)



Ketika belum lama ini, saya mendapat kesempatan menjelajahi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, saya merasa mendapat satu tantangan baru. Bahkan saya juga ditantang untuk melakukan diving, selam di bawah laut. Sensasi yang luar biasa, bisa melihat ciptaan Tuhan di bawah laut.



Percaya nggak sih, jika kita menganggap setiap perjalanan sebagai suatu sensasi, pasti kita akan mengalami hal-hal baru, bukan sekadar rutinitas. Meliput di laut, saya nikmati perjalanan itu dengan sukacita. Bahkan saat scuba diving pun, saya merasa ada sensasi dalam hidup saya. Ketika saya dapat tugas untuk naik helikopter, keliling Jakarta dan Tangerang, saya pun menikmati sensasi ini sebagai pengalaman yang menyenangkan. Demikian halnya ketika ada sesi driving range, latihan golf, saya menikmatinya sebagai sensasi dalam pengalaman jurnalistik. Tak ada yang tidak menyenangkan.



Saya memang suka lapangan. Jadi kalau Pepih bilang, tahan di segala cuaca, ya ada benarnya. Hujan atau panas terik, di hutan, di laut, di udara, di darat, semua sudah saya jalankan. Jika Anda ingin menjadi wartawan sejati, nikmatilah perjalanan jurnalistik yang penuh sensasi. JIka ada yang bertanya, wah bagaimana, liputan saya cuma mewawancarai pejabat? Ya, mungkin saja mewawancarai pejabat ada seninya, apalagi menembus bahwa kita yang pertama. Tapi carilah waktu, kesempatan untuk menjelajah ke berbagai daerah di Nusantara ini.



Bagi teman yang sedang bertugas di daerah, manfaatkan kesempatan ini untuk melakukan banyak perjalanan ke banyak tempat. Rugi lho kalau cuma keliling di dalam kota. Anda bisa jalan-jalan dan menulis perjalanan Anda.



Bagi yang bertugas di Jakarta yang macet ini, yah, nikmati gemerlap Jakarta dari berbagai sudut. Dari orang susah sampai orang kaya. Wartawan kan hidup di dua dunia. Mungkin pagi sampai sore, dia melihat kemiskinan di rumah-rumah kumuh, tapi bisa jadi malam harinya, dia sudah menikmati wine dan cerutu di hotel berbintang lima, atau ngopi di Starbucks atau Coffee Bean. Why not? Tak ada yang salah dan jangan merasa bersalah. Ini dunia yang saya nikmati. Yang penting, komitmen kita, mengingatkan yang mapan, menghibur yang papa tetap muncul dalam tulisan-tulisan kita. Saya senang bergaul sehingga saya punya banyak teman dari berbagai kalangan dan lapisan masyarakat. Itu kebahagiaan tersendiri bagi saya.



Jika Anda sudah komitmen memilih bekerja sebagai wartawan, nikmati semua perjalanan jurnalistik Anda di mana pun. Entah di kota kecil, di hutan belantara, di laut lepas, ataupun di kota-kota besar yang macet. Semua dinikmati. Tak perlu berkeluh kesah. Bahkan bersyukurlah bahwa wartawan itu profesi yang luar biasa. Saya yakin, Anda akan betul-betul menikmati hidup Anda setiap saat.



Adhi Kusumaputra

http://adhikusumaputra.blogspot.com/

1 comment:

Anonymous said...

pengalaman melihat perut dikoyak sebagai "petualangan jurnalis yang mengasyikkan"?

*pikir-pikir ah, untuk menjadikan KSP sebagai teladan...