Tak Ada Istilah Bekas Guru
RUMHARDJONO adalah wartawan Harian Kompas, tetapi sekarang sudah purnatugas. Tadi siang saya bertemu dengannya. Saya salami orangtua itu. Ketika ada kesempatan, saya berbincang-bincang dengannya. Tidak jauh-jauh, tentang dunia kewartawanan.
Rumhardjono adalah guru saya di bidang ilmu kewartawanan, selain Luwi Iswara. Mengapa harus dua orang ini yang saya sebut, sebab dua orang inilah yang bertanggung jawab terhadap kaderisasi wartawan Kompas. Mereka berdua diberi tugas di pendidikan dan pelatihan.
Pak Rum, demikian Rumhardjono biasa dipanggil, adalah kepala diklat saat itu, saat saya digembleng selama kurang lebih satu tahun sebelum diterjunkan menjadi wartawan lapangan. Penampilannya masih sama seperti sepuluh tahun lalu. Kacamata persegi besar, rambut yang putih keperakan (lihat foto). Gaya berpakaian pun sama seperti dulu, saat masih aktif sebagai wartawan.
Pak Rum sangat menikmati masa pensiunnya, setidak-tidaknya demikianlah pengakuannya. Tidak ada lagi kegiatan yang berkaitan dengan tulis-menulis. "Membaca pun saya jarang," katanya.
"Bukankah kalau kebiasaan menulis dihilangkan, 'keterampilan' menulis itu akan hilang dengan sendirinya?" tanya saya. Pak Rum menjawab, "Bagaimana saya bisa menulis kalau tidak lagi pergi ke lapangan!"
Saya tercenung mendengar ucapannya. Belum lagi saya mencerna dalam-dalam ucapannya, ia sudah berkata, "Saya tahu you suka menulis catur. Tapi jangan harap tulisan you akan bagus, hidup, dan mendalam jika you tidak bergaul dengan orang-orang catur, dengan orang-orang Percasi, dengan para pecatur? Kalau tidak, yang you laporkan hanyalah hasil-hasil pertandingan saja, tidak lebih!"
Saya kaget bukan kepalang, seakan-akan ia tahu apa yang saya lakukan! Pak Rum yang biasa memanggil orang yang lebih junior dengan panggilan "you" itu melanjutkan. "You tentu tahu Irene (Kharisma Sukandar, pecatur). Dia punya karakteristik menang di awal turnamen, tetapi selalu kedodoran di tengah atau di akhir turnamen. Tugas you sebagai wartawan, beritahu pembaca mengapa Irene seperti itu. You harus tanya dia, tanya pelatihnya, dan analisis permainannya!"
Saya semakin khidmat mendengarnya. Pak Rum melanjutkan, "Setelah semua jawaban berhasil you temukan, tugas you adalah beritahu Irene bagaimana seharusnya dia bersikap, sekaligus beritahu juga pembaca you apa yang seharusnya Irene dan pelatihnya lakukan. Catur hanyalah contoh kecil saja, tetapi bisa menjadi menarik jika digarap dengan sungguh-sungguh. Ini berlaku buat segala jenis liputan."
Saya semakin menundukkan kepala mendengar guru yang satu ini berbicara. "You tahu," katanya lagi, "Yang saya ajarkan dulu di pendidikan bukanlah bagaimana caranya you meliput lalu menulis. Itu gampang, sehari saja bisa selesai. Yang saya ajarkan adalah pemahaman dan pengetahuan tertentu tentang sebuah peristiwa, mengapa peristiwa itu terjadi, bagaimana memahami latar belakang, dan apa konsekuensi dari sebuah peristiwa. Jadi jangan harap you punya cerita yang bagus kalau tidak turun ke lapangan dan bertanya kepada banyak orang. Yang saya ajarkan dulu adalah logika dan pemahaman!"
Pak Rum masih bercerita banyak dan masih memperlakukan saya sebagai muridnya. Sementara saya tidak pernah ragu memposisikan dirinya sebagai guru, bukan mantan guru. Bagi saya, tidak ada istilah mantan guru. Pak Rum bisa saja mengatakan saya adalah "bekas muridnya", terserah saja. Tetapi saya tidak akan pernah mengatakan Pak Rum adalah "bekas guru" saya. Tidak akan pernah!
Hari ini saya diingatkan lagi mengenai pentingnya wartawan turun ke lapangan. Bagi Pak Rum, bukan alasan jabatan struktural seperti editor menyebakan wartawan tidak turun ke lapangan. Saat menjadi wartawan bidang luar negeri, Pak Rum bercerita, "Saya kerap mendatangi pesta-pesta para duta besar hanya sekadar mendengar percakapan mereka. Saya juga harus berebut majalah dengan Daoed Joesoef, Direktur CSIS kala itu, hanya sekadar menyerap analisis berita dari luar negeri."
Hal terakhir yang ia katakan sebelum kami berpisah, Pak Rum berpesan agar saya tetap memelihara gaya kepenulisan saya yang katanya kental dengan gaya fiksinya. Ia tahu saya sering membaca novel dan berbagai jenis buku. "Gaya itu jangan sampai hilang, itu modal you," pungkasnya.
Terima kasih, Pak Rum. Semoga Bapak panjang usia...
2 comments:
Kamu menggambarkan dialognya begitu hidup, sebagaimana seperti dia bicara dengan saya...
Post a Comment