Wednesday, August 02, 2006

Catatan (2): Cinta Catur



Mengalahkan GM Ardiansyah


Terus terang, sampai menjelang kuliah tahun 1984, aku sama sekali tidak tertarik dengan permainan catur. Bagiku waktu itu, hanya orang-orang malas dan tidak punya pekerjaan saja yang main catur!


Adalah mendiang ibuku, Ny Enok Suhayah, yang “memperkenalkan” permainan ini, meski hanya sebatas kata-kata. Itu terjadi tahun 1976, saat aku sekolah di kelas 5 SD Ciawi I, Tasikmalaya, Jawa Barat.



Ibu dengan bangga memperkenalkan, katanya saudara-saudara sepupuku lainnya di Garut, semuanya jago-jago catur. Bahkan senior-seniornya yang sudah duduk di ITB, Unpad, maupun AMN, tidak ada yang tidak jago main catur. Tapi ibu tidak juga membelikanku papan catur, dan aku hanya bisa membayangkan salah satu bentuk bidak catur paling eksentrik: kuda.


Masih duduk di kelas enam SD, tahun 1977, ada seorang teman pindahan dari SD lainnya, namanya Mamat. Aku biasa memanggilnya ‘Gan Mamat karena dia anak mantan Camat, tapi masih terbilang saudaraku, karena salah satu anak mantan camat itu nikah dengan paman dari pihak ayahku. Mamat ini memperkenalkan sekaligus “menyombongkan” dirinya sebagai juara catur antar-SD di kecamatannya yang lama. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana hebatnya anak ini.


Tetapi tatkala ada waktu luang saat kenaikan kelas tiba (ke SMP), Mamat menjajal kemampuan caturnya dengan Dadan Hamdani, teman sekelasku juga. Di luar dugaan, Mamat dilumat 2-0! Aku kagum sama Dadan yang tidak pernah berkoar-koar, tetapi mampu menaklukkan juara catur kecamatan. Baru aku tahu belakangan, Dadan dan juga Asep Dedi, juga teman sekelasku, sering ber-sparring partner di kampungnya, Sukamantri. Bahkan Dadan pulalah yang mengajariku notasi catur aljabar, meski waktu itu kutangkap sebagai sekadar tahu saja.
Beberapa pekan sebelumnya, aku diperkenalkan main catur sama Mang Usman, ayah Ratih (Ayi), tetapi hanya sekadar mengenal langkah-langkah dasar bidak saja. Ketika mencoba dengan gagah-gagahan melawan Asep Dedi, jelas saja aku dilumat dalam partai pendek, entah berapa kosong.
SMP dan SMA lewat begitu saja tanpa catur. SMP lagi senang-senangnya belajar karena harus mengejar ketertinggalan. SMA lagi seneng-senangnya pacaran. Hemmm… gini-gini juga ternyata pacar-pacarnya manis-manis (sepengggal kenangan manis maupun pahit, yang suatu saat kutulis juga).
Waktu gagal kuliah di universitas negeri dan harus ngendon setahun di IKOPIN, tahun 1984, juga belum begitu tertarik catur kendati orang-orang seasrama seperti Dadang dan Iman, kerap bermain catur di ruang tamu, juga anak-anak kos main dengan Dede Uron yang punya asrama.


Momen itu terjadi pada 1985. Saat itu di Bola ada pelajaran catur dasar dari Lugito Hayadi. Dia merupakan juara nasional catur surat. Orang keturunan China, tetapi hebat dalam memberikan pelajaran. Sebelumnya, berbekal pelajaran notasi dari Dadan, aku sudah mulai mempraktikkan permainan ini di atas papan catur dari rubrik catur Kompas, yang juga ditulis Lugito Hayadi, Bola waktu itu menjadi suplemen Kompas. Papan catur, waktu itu malah adikku, Dadang, yang membeli.



Baru kemudian aku jatuh cinta abis sama catur dan mampu belajar secara cepat langkah-langkah, pertahanan, serangan, pembukaan berikut varian-variannya. Mungkin kalau saja mendiang ibu memperkanalkan catur sejak bayi, barangkali aku sudah dan masih tercatat sebagai juara dunia hahaha… Tapi sudahlah, tak perlu sesali masa lalu.
Waktu kuliah di Unpad, yang menjadi sparring partner adalah Erpan Faryadi, teman sekelasku yang orang Bangka Belitung. Mulanya aku selalu kalah, belakangangan aku yang selalu menang. Ada juga tetangga lain di kost-kost-an Bang… aku lupa namanya, dia dari Medan. Kami saling mengalahkan. Dia pernah berkomentar, “Wah, langkah-langkahmu di luar dugaan, Pep.”
Erpan orangnya sportif, kalau kalah dia akan kasih selamat. Tetapi dia juga lucu, kalau terserang atau kepepet, wajahnya berubah merah seperti kepiting rebus. Biasa, kami ditemani kopi panas dan tape singkong saat bertanding. Di radio FM biasanya berkumandang lagu “Hello”-nya Lionel Richie, “No More Lonely Night”-nya Sir Paul McCartney, atau “Percayalah Kasih”-nya Trio Iwan Fals-Vina Panduwinata-Yoky Suryoprayogo.



Waktu itu tahun 1986, saya ketemu seseorang yang kelak menjadi ikon catur Indonesia: Utut Adianto. Dia waktu itu sudah semester lima di FISIP Hubungan Internasional. Ketemu hanya berpasasan, dia pakai celana jeans putih plus T-shirt. Saya kenal dia dari foto-fotonya, waktu itu dia sudah juara nasional, tetapi belum bergelar Grandmaster. Nanti kuceritakan pertemuan berikutnya dengan Utut, setelah aku menulit tentangnya di Harian Kompas……
Baru kemudian aku tahu bahwa aku lumayan berbakat. Buktinya aku mampu mengalahkan GM Ardiansyah dalam sebuah pertandingan simultan yang hanya diikuti 38 karyawan Kelompok Kompas Gramedia (KKG). Itu terjadi pada 10 September 1994, saat saya sudah empat tahun bekerja di Kompas dan siap-siap mengikuti pendidikan wartawan selama satu tahun sepanjang tahun 1995.


Berikut jalannya partai GM Ardiansyah (putih) melawan Pepih Nugraha (hitam) dalam sebuah partai simultan: 1. d4 g6 2. c4 Gg7 3. Kc3 Kf6 4. Kf3 c6 5. e4 d6 6. Ge2 h6 7. 0-0 Kd7 8. h3 Kf8 9. e5 dxe5 10. Kxe5 Gd7 11. c5 Kd5 12. Kxd5 cxd5 13. Gf4 Ke6 14. Gg3 0-0 15. Gg4 f5 16. Gf3 f4 17. Gh2 Gxe5 18. dxe5 Gc6 19. Bc1 Kg5 20. Be1 e6 21. b4 a6 22. a4 Rg7 23. h4 Kxf3+ 24. Mxf3 Mxh4 25. Ba1 Bf5 26. g3 fxg3 27. Gxg3 Mxb4 28. Me3 Bf8 29. Bd1 Bf3 30. Mc1 Mg4 31. Bd2 Bf5 32. Ba3 d4 33. Md1 Kh3. Putih menyerah.


(Tidak ada obat mujarab untuk menghindarkan mat. Jika… 34. Bxf6, maka 34. … Gxf3! Putih hanya dapat menyelamatkan diri dari ancaman mat di h1 jika mengorbankan menterinya untuk ditukar dengan gajah).

Dari 38 pecatur lokal KKG, hanya sembilan orang yang mampu meraih kemenangan, salah satunya adalah kemenanganku dengan kemenangan tercepat. Makanya saat pemberian hadiah, aku dapat dua penghargaan: sebagai orang yang mampu mengalahkan GM Ardiansyah dan mampu mengalahkan paling cepat GM tersebut. Mengesankan.


Pepih Nugraha


Jakarta

1 comment:

Tantri Nugraha said...

Good, sok sing rajin update nya, biar punya mainan baru. mmmuaaach......(pornoaksi ,bukan?)