Friday, April 18, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (48)







Belajar Mencintai

BELUM banyak yang menyadari bahwa mencintai ada kaitannya dengan kelancaran seseorang dalam menulis. Mencintai di sini harus diartikan secara luas. tidak semata mencintai kekasih, anak, istri, saudara, atau orangtua semata, tetapi mencintai dalam segala hal. Termasuk mencintai belajar, mencintai koleksi, atau bahkan mencintai menulis itu sendiri. Mencintai sepenuh hati. Itulah yang ingin saya uraikan mengapa kalimat sakti ini, yakni mencintai sepenuh hati, akan melancarkan Anda dalam menulis.

Jangan jauh-jauh. Anda sedang jatuh cinta kepada seseorang. Ceritakanlah tentang kekasih Anda kepada orang lain, pastilah Anda akan menceritakannya dengan lancar. Coba ambil secarik kertas, atau katakanlah buku catatan harian, lalu tuliskanlah tentang kekasih yang Anda cintai itu. Niscaya, menulis pun akan lancar, selancar bubur sumsum memasuki tenggorokan! Kecintaan kepada benda atau binatang dengan sepenuh hati, membuat tulisan penuh dengan detail yang mungkin orang lain tidak pernah pikirkan.

Satu katakunci yang ingin saya bocorkan kepada sahabat sekalian yang ingin menulis dengan lancar: cintailah masalah. Ya, masalah harus Anda cintai, bukan malah Anda hindari. Ketika Anda menulis berita, artikel atau bahkan fiksi, maka Anda dihadapkan kepada masalah-masalah. Beribu-ribu masalah. Tanpa mencintai, masuk dan terlibat dalam masalah ini, bagaimana mungkin Anda bisa lancar menulis. Bagaimana Anda bisa lancar menulis mengenai kunjungan Paus Benediktus XVI ke Amerika Serikat jika tidak mencintai ilmu hubungan internasional, jika tidak mencintai hal-hal yang bersifat keagamaan, atau tidak mencintai politik luar negeri. Di dalamnya terkandung masalah-masalah, dan Anda haris mencintai semua masalah itu.

Saya mencintai sepenuh hati permainan catur, bahkan aksesori yang berkaitan dengan hal itu seperti papan catur, bidak catur, jam catur, kehidupan para pecatur, atau bahkan buku-buku catur. Saya punya masalah ketika harus menghapal berbagai pembukaan dan pertahanan berikut varian dan sub-sub variannya dalam permainan catur, sementara hal itu saya perlukan untuk menulis. Itu semua masalah. Kalau saya menghindar dari masalah itu, maka saya saya tidak menguasai masalah itu, akibatnya saya tidak dapat menulis lancar mengenai catur.

Dalam kesempatan ini, saya ingin menunjukkan satu tulisan saya sendiri mengenai sosok pecatur muda Filipina, Wesley Barbasa So, yang dimuat Harian Kompas pada 4 Januari 2008, bertepatan dengan terbitnya Kompas Update untuk pertama kalinya. Kebetulan hari ini, Jumat 18 April 2008, ada berita mengenai So yang berdwitanding dengan pecatur Indonesia, Susanto Megaranto. Bagaimana mungkin saya rela menghabiskan waktu hanya untuk larut dalam masalah percaturan catur dalam negeri Filipina kalau saya tidak mencintainya. Tulisan itu sebagai buah kecintaan saya kepada catur, maka saya menuliskannya dengan cepat, meski terkendala masalah bahan-bahan tulisan yang minim, sumber langsung yang bisa dihubungi, dan foto-foto. Tetapi itu semua tidak menghambat saya dalam menulis karena dasarnya adalah cinta. Sekali lagi cinta!

BAKAT ALAM ANTAR SO RAIH GM TERMUDA
Oleh Pepih Nugraha

Dari mana asal negara grand master atau GM catur termuda di dunia saat ini? Jawaban umum tentu dari Rusia atau negara-negara pecahannya. Keliru. Bukan pula dari Norwegia yang punya "anak ajaib" Magnus Carlsen, atau dari China dan India. Ia justru berasal dari negara tetangga, Filipina!

Dialah Wesley Barbasa So, yang melengkapi norma GM terakhirnya saat meraih remis berharga melawan pecatur nomor satu Iran, GM Ehsam Ghaem Maghami, pada babak terakhir turnamen Pichay Open di Manila, Filipina, 7 Desember 2007. Pada turnamen internasional itu, So, kelahiran 9 Oktober 1993, menoreh sejarah sebagai pecatur ketujuh termuda di dunia.

"Masayang-masaya po ako. Magandang pamasko na ito sa akin," kata So dalam bahasa Tagalog saat ia dipastikan meraih GM, yang artinya: Aku sangatberbahagia (dengan gelar GM), ini hadiah Natal yang indah buatku.

Hal yang mencengangkan, ia meraih gelar tertinggi dalam permainan olah-pikir itu saat berumur 14 tahun, 1 bulan, dan 28 hari. Memang dia tidak memecahkan rekor pecatur Ukraina, Sergey Karjakin, yang meraih GM pada usia 12 tahun. Akan tetapi, Filipina layak berbangga dengan prestasi para pecaturnya. Dua bulan sebelumnya, negeri di utara Provinsi Sulawesi Utara ini melahirkan GM lain, Darwin Laylo, pemuda berusia 27 tahun.

So tercatat sebagai pecatur ke-8 Filipina yang meraih GM setelah Eugene Torre, pecatur Filipina pertama yang meraih GM pada tahun 1974, disusul almarhum Rosendo Balinas (1976), Rogelio Antonio Jr (1998), Buenaventura "Bong" Villamayor (2000), Nelson Mariano (2004), Mark Paragua (2005), dan Darwin Laylo (2007).

Pecatur Filipina yang menjadi kolumnis dan analis, IM Rodolfo Tan Cardoso menggambarkan So sebagai "Bocah Renaisans Catur Filipina". Sebagai sesama pecatur, Cardoso punya kesan mendalam saat So bermain catur di sebuah turnamen. Katanya, So punya naluri "membunuh" raja lawan.

"Ia tidak ragu mengorbankan menterinya, sebagai buah yang paling berharga, sekadar merebut ruang gerak yang masih jauh dari kalkulasi menuju kematian raja lawan," tuturnya.

Tidak heran, saat berusia 9 tahun, So sudah menjuarai turnamen kelompok umur 14 tahun di negerinya. Pada usia 13 tahun ia juara nasional kelompok usia 20 tahun. Permainannya yang super-agresif dan liar memaksa lawan mana pun berpikir keras. Salah satu yang menjadi korbannya adalah pecatur Indonesia, GM Susanto Megaranto, yang dia kalahkan pada sebuah turnamen di Singapura akhir tahun 2006.

Tahun 2005 adalah terobosan bagi So. Saat itu, untuk pertama kalinya, FIDE, organisasi catur dunia, mengumumkan peringkat Elo-nya. Bulan Juli pada tahun yang sama, ia menjadi juara dunia kelompok usia 12 tahun. So jauh meninggalkan pecatur-pecatur lain yang lebih dulu meraih GM, seperti Parimarjan Negi dari India dan GMW Hou Yi Fan asal China.

Prestasi So pada tahun berikutnya malah lebih mengesankan. Dia membuat rekor sebagai pecatur termuda yang lolos kualifikasi mewakili negaranya pada Olimpiade Catur di Turin, Italia, saat berusia 12 tahun. Hasilnya pun mengesankan. Ia meraih master internasional sebelum merayakan ulang tahunnya yangke-13. Akhir tahun 2006 So meraih norma GM pertamanya di Bad Wiessee, Jerman, dan menang atas pecatur kuat Rusia, GM Pruskin.

Tanpa pelatih

Tidak seperti umumnya GM lain yang lahir karena gemblengan pelatih khusus, anak Filipina ini hanya mengandalkan bakat alamnya, sama seperti pecatur Tanah Air, GM Cerdas Barus, yang sosoknya kini hilang bagai ditelan Bumi. So harus belajar di sekolah menengah dan tidak ada satu sponsor pun yang sudi membiayai turnamen-turnamen yang dia ikuti.

Ia hanya mengandalkan keuletannya bermain dan mendedikasikan waktunya empat jamsehari khusus belajar catur. Dia belajar sendiri. Karena tidak punya pelatih, ia "berguru" pada program komputer catur Fritz sebelum bertarung. Jalan menuju GM tak mudah bagi So. Seharusnya ia bisa melengkapi norma GM-nya pada usia 13 tahun, tetapi kalah dari GM Belov pada babak terakhir sebuah turnamen di Manila. Ia juga gagal meraih setengah angka penting pada turnamen Zona 3.3 di Vietnam.

Dia menjuarai sejumlah turnamen di Iran, Singapura, dan Armenia. Namun, itu pun tidak cukup buat melengkapi gelarnya meski di Armenia ia berhasil mengalahkan pecatur harapan Inggris, David Howell.

Melejitnya So di kancah caturdunia mengulang masa keemasan catur Filipina saat mantan Presiden FIDE asal Filipina, Florencio Campomanes, merajai catur regional dan internasional dalam kurun waktu 1950-1970. Tahun 1978 Filipina menjadi sorotan dunia saat duel Anatoly Karpov versus Victor Korchnoi digelar di Baguio City.

Bahkan, 20 tahun sebelum China melahirkan para GM dengan subur, Filipina sudah punya pecatur legendaris GM Eugene Torre, yang tercatat sebagai GM Asia pertama! Saat itu Filipina juga punya pecatur kuat, GM Rosendro Balinas. Juara dunia catur Viswanathan Anand tidak menyangkal kalau ia belajar dari Torre dan Campomanes lewat program televisi saat Anand mengikuti ayahnya bertugas di Filipina. Tentu yang paling bangga dengan prestasi So adalah orangtuanya, William (sang ayah) dan Eleanor So (sang ibu).

"Saya pernah mengajarinya catur saat ia berusia enam tahun," ucap William yang pernah menjadi sopir bus sekolah. "Sekarang So maju pesat karena bermain catur dengan penuh dedikasi dan benar-benar mencintai permainan ini," tambah William sebagaimana dikutip harian setempat, Star.

"Ini mimpi yang menjadi kenyataan buat Wesley," kata Eleanor tentang anak kedua dari tiga anaknya. "Kami merasa senang karena doa kami dikabulkan. Kami sangat berterima kasih, kerja keras dan dedikasinya untuk catur berbuah penghargaan."

Meski So sudah meraih gelar GM, sang Ibu tetap menghendaki anaknya menjalani kehidupan "normal" sebagaimana remaja seusianya. Selain itu, ia juga berharap ada pelatih lanjutan untuk lebih mengasah kemampuan So bermain catur.

Bagi So, menjadi juara dunia sebagaimana harapan setiap pecatur bisa jadi masih jauh. Namun, setidaknya modal dasar untuk menuju ke sana sudah di genggamannya.

Catatan:
Tulisan mengenai profil Wesley Barbasa So pada hari yang sama juga saya unggah (upload) ke blog saya lainnya khusus mengenai catur, yakni SpiderChess yang beralamat di http://www.youchess.blogspot.com/.

Tuesday, April 15, 2008

Catatan (46): Mengenang Mantan Wartawan Kompas [1]


Taufik Ikram Jamil

SENIN, 14 April 2008 kemarin, saya meminjam kaset produksi Riau dari Kenedi Nurhan, rekan sekantor saya, lagu rock dari kelompok musik Sagu. Saya dengarkan di tape mobil sambil pulang kerja. Pada bagian akhir kaset, ada puisi panjang berjudul Aku Sudah Menjawab. Penulis dan pembaca puisi adalah Taufik Ikram Jamil. Dia adalah mantan wartawan Harian Kompas, yang berarti kolega saya juga, yang kini sudah berdirikari di dunianya sendiri.

Coretan ini sekadar mengenang teman-teman mantan wartawan Kompas yang pernah saya kenal, sebagaimana halnya Taufik Ikram Jamil, wartawan Kompas yang ditempatkan di Riau karena dia memang tinggal di sana. Lebih khusus lagi, adalah para mantan wartawan Kompas yang pernah saya kenal, setidak-tidaknya saya pernah bertatap muka atau sekadar say hello dengan mereka. Saya punya catatan tentang mereka, tetapi mereka belum tentu punya catatan (baca: kenangan) dengan saya.

Yang saya kagumi dari mereka, para mantan wartawan Kompas yang dengan alasan tertentu harus berhenti di tengah jalan sebelum pensiun, adalah ketegaran mereka saat harus keluar dari sebuah "kemapanan", hidup di lingkungan dan suasana kerja sebuah harian yang masih menyandang kata-kata "terbesar" di negeri ini, baik dari segi tiras maupun sumber daya manusianya. Uniknya, yang saya tahu, mereka bisa survive di bidang masing-masing dan bahkan sangat-sangat berhasil dalam arti lebih dikenal, lebih mapan, dan tentu saja lebih makmur.

Mereka antara lain Taufik Ikram Jamil, Budiarto Danujaya, Ace Suhaidi Masdupi, Satrio Arismunandar, Dhia Prakesa Yudha, Bambang Wisudo, Sujiwo Tejo, Arya Gunawan, Asep Setiawan, Sastra Wijaya, Hary Suryadi, Lily Yulianti Farid, Iman Nur Rosadi, Haryanto, Laksmi Dewanti, Ricky Pitoy Tafuama, Anton Megasuryo, Mathias Haryadi, Krista Rubidi Riyanto, Barry Sihotang, Ratiman Sutardjo, Ratih Hardjono, Yusron Ihza Mahendra, Yoseph Umarhadi, Afridal Jinu, Gedsiri, dan tentu saja Suryopratomo. Ada bebeberapa kesan yang saya tulis sendiri-sendiri seperti halnya Taufik Ikram Jamil ini, tetapi ada pula yang saya gabungkan.

Pertama saya akan menulis mengenai Taufik Ukram Jamil, sebab nama itulah yang terlintas paling pertama dalam ingatan saya. Terakhir, saya akan menulis mengenai Suryopratomo, mantan pemimin redaksi Kompas yang kini sedang mengambil cuti, meski sesungguhnya saya telah beberapa kali menulis tentangnya. Saya akan menuliskannya secara berseri dan secara acak pula.

Baik, pertama mengenai Taufik Ikram Jamil. Sebagai wartawan yang ber-homebase di Jakarta, hanya sesekali saja saya bertemu Mas "TI", demikian biasa saya memanggil senior saya itu. Suatu waktu saat saya meliput di Gedung DPR, kira-kira tahun 2000-an, Mas "TI" menumpang mobil saya karena dia juga harus ke DPR menemui seseorang. Di dalam kabin, percakapan hanya seputar keluarga saja, bukan urusan berita.

Beberapa tahun kemudian saya mendengar Mas "TI" keluar dari Kompas dengan alasan lebih ingin berkonsentrasi kepada seni dan mengelola sebuah lembaga swadaya masyarakat, yang gerakannya tidak jauh-jauh dari seni, meneriakkan "kemunduran" Riau di tengah kekayaan alam yang berlimpah dan "tergerusnya" seni budaya lokal yang tinggi akibat intrusi budaya Barat dan bahkan budaya Jakarta. Kata-kata adalah kekuatannya, maka Mas "TI" yang saya kenal bukan saja sebagai wartawan, tetapi juga sebagai seniman dan budayawan. Apalagi belakangan saya tahu, Mas "TI" juga menjadi ketua Dewan Kesenian Riau. Sebuah "jabatan" yang amat layak disandangnya.

Tahun 1997, saat saya ke Riau untuk meliput perpolitikan lokal dan kecenderungan berpolitik masyarakat Riau, saya tidak bertemu Mas "TI", meski bertemu dengan banyak teman-teman wartawan setempat. Tetapi dari percakapan saya dengan mereka, ternyatakah bahwa Mas "TI" merupakan "tokoh terpandang" di kalangan wartawan dan seniman. Saat itu, ia sudah banyak menerbitkan buku puisi dan kumpulan cerpen. Cerpen Mas "TI" juga tidak lepas dari nafas tanah air Riau sebagai tanah air yang membesarkannya, setidak-tidaknya yang saya baca dari cerpen-cerpennya yang dimuat di Harian Kompas dan ketajaman kata-katanya di rubrik Bentara.

Tulisan terakhir Mas "TI" sebagai wartawan adalah tentang otonomi daerah, tentu saja daerah Riau, dengan judul yang menggugah Kota Ini Bisa Indah Juga Ya... Tulisan itu dimuat hari Jumat, 23 Agustus 2002 halaman 8. Setelah lepas sebagai wartawan Kompas, tulisan dalam bentuk essai masih bisa saya baca di Harian Kompas, juga dari buku-bukunya yang saya temukan di toko-toko buku, antara lain kumpulan sajak Tersebab Haku Melayu (1995), kumpulan cerpen Membaca Hang Jebat (1998), dan roman Gelombang Sunyi (2001).

Secara pribadi dan tentu saja subyektif, saya sangat menyukai tiga puisinya yang pernah dimuat di lembar Bentara, Harian Kompas, edisi Rabu, 3 November 2004, berjudul Tusuk, Runsing, dan Gurindam Bukit Siguntang. Untuk lebih mengenal kekuatan kata-katanya, ketiga puisi Mas "TI", pria kelahiran Bengkalis, Riau 19 September 1963, saya muat kembali di sini, sekaligus meminta izin kepada penulisnya sendiri.


TUSUK

telah kutusuk pekong-barah hasratku
antara dua puncak menara petronas
nanah yang tak sempat membaja
menjadi karat pada setiap tangganya
lalu di lantainya berlapis marmar
keluhku menggelesang
bersama pengunjungyang tampak seperti patung

maka setiap inginku berkibar di puncak
diladeni angin setinggi janji
menyabung awan yang menyimpan air
sebelum turun ke bumi sebagai hujan
memanjakan tanah dengan seribu hendak
kumaafkan takdir buruk cuaca
menangkis petir dengan debar
yang ditinggalkan setiap gerak
untuk lenggok bunyi bertindak

tuntutku jelas terlihat dari semua sudut
tak di chow-kit tak di genting
bahkan tak di putera jaya
tak di setiap yang bernama saja
apalagi ketika malam
saat jubah putih terpakai rindu
berbalas pantun dengan jajaran bintang
dan sinar yang terpancar dari kotayang disaring berbagai sangsai
menciptakan amsal warna
agak hampir dengan kelam
bagai terbungkus balon jelaga
seperti menggantung tanpa tali
beringsut di udara dengan langkah sepi

cuma mengapa hasratku tetap tak dikenal
ingin dan tuntutku malah tak disapa
hingga jangkung menara
hanya menjulang kesombongan
mungkin juga menopang sesuatu yang tak ada
bahkan di dalam mimpi pun tingginya menghindar
langit hanya tahu perjanjian atasyang lebih membumbung dari segala puncak
tanpa tiang tanpa pancang
tak mungkin menggantung sebarang tampang
jiwaku bahkan menggelinding
tersaput kesalahpahaman yang dibalut kabut

RUNSING

sekelabat pilu melintasi petangku yang tua
dalam perjalanan pulang tiada berpergi
tapi aku tak boleh berhenti
sebab besok pagi adalah kepastian
ditumpangi harapan sarat bertimbun
bak lalu lintas silang bersilang
berpacu dalam keramaian untung

maka sukmaku pun meluruh
sementara airmata melayang
bersama debu tanpa dapat kuusap
lalu parit menyapa
dengan bahasa longkang dan selokan
lupa kepada keramahan air
yang mengalir dari belokan riang

di rumah
raung menungguku dengan garang
tapi aku ingin tidurdi pinggir hari tidak bernama
berbantalkan angan-angan ketika sampai
dengan rindu kenangan sebagai tilam
selimutku adalah janji
lelap menghalau setiap bising
hingga fajar lebih cepat datang
walau hanya dalam mimpi

aduhai
malam memalingkan mukanya
tinggalkan aku sendiri
terpegun dalam gelap
dirahab sedih hitam berkedam
melemparkan inginku pada kelam
bahkan pada setiap yang menolak sinar
aku disandingtandingkan samar

aku tergolek dalam bilik
mengurung perih tak dapat memilih
kasur dan bantal hanya lirih
pun perabot terkunci keluh
lantai tergeletak nyerah
dihimpit langit-langit merintih
entah ke sudut mana mataku ditatih
entah bagaimana lagi hatiku dipelasah

GURINDAM BUKIT SIGUNTANG

bukit siguntang dekat palembang
kupandang dikau dalam sebuah petang
pada huruf palawa mengembang
di antara dua sungai bujurkan kata-kata
ketika tubuhmu kian menunduk
karena beban sejarah sejuk berpeluk
dimamah usia tiada melapuk
cuma aku bukan demang lebar daun
karena sang sapurba pun entah siapa
hingga tak ada sumpah dipapah
melayu tak musti mengalah
raja zalim harus disanggah

tak aku wan sundari
mengorak kasih dalam rahasia perawan
pun tak wan empuk wan malini aku
setelah malam yang keramat
berhampiran dengan dini hari bertambat
jam-jam penuh bulan menyabit
saat lembu muntahkan tiga perjaka
dalam rindu dendam segenap jagat
iskandar zulkarnain yang agung melaung

pada parameswara aku pernah berpahamp
indah bukan berarti kalah
seperti dari muaratakus langkah tak goyah
sungai musi menghanyutkan janji
di bintan dan inderagiri sekali lagi diuji
menyambut catatan it-sing dan masud
tersalin kabur di kediri dan kedu
cuma bukan darmapala bukan satyakirti aku
pun bukan di antara seribu pendeta akum
enyukat mahayana di universitas nalanda
pustaka membukakan dirinya cepat
melintasi sunda nyeberangi melaka
sampai ke cina saling terpikat

lalu bulan-bulan penuh bala
tiba juga bersama rajendra
seperti pesan yang dikirim dari tanjore
panah vidhyadharatorana mengamuk
sampai ke hulu hati peradaban
bukan saja intan berlian dan tentara bergajah
bahkan paduka sangrama vijayottunggawarman
ditawan dalam dendam
setelah itu airlangga
memungut serpih di pinggir jawa
tak pula pasai lengah
melangkah segera ke tengah kalah
untuk menang menaikkan marwah

bukit siguntang dekat palembang
kutengok dikau dalam sebuah petang
ketika syailendra tak tahu jalan pulang
perginya pun ke rantau ambang
hingga masing-masing abad tersesat
tapi juga tak saling ingatcari dan mendapat hanya lewat
seribu tahun menyabung debat
bukit siguntang dekat palembang
kutatap dikau dalam sebuah petang
karena memang tak banyak
yang dapat kulihat
tak candi atau sebarang bangunan
bukan penyatuan kefanaan dan keabadian
hingga aku begitu bebas membayangkan
tentang kesetiaan dan pengkhianatan

Monday, April 14, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (47)




Ambil Berita, Raih "Human Interst" (Studi Kasus Rano Karno-2)


KADANG menjemukan juga mendengar pejabat berpidato di podium. Bicara ngalor-ngidul sesukanya, keluar teks bahkan konteks. Apa yang harus kami ambil sebagai berita kalau isinya cuma bualan semata?

Itu pertanyaan seorang rekan, seorang wartawan muda yang baru lolos dari bangku pendidikan. Pertanyaan seperti ini umum terjadi dan wajar. Mencermati pejabat berpidato memang menjemukan. Inginnya langsung "berondong" saja dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah kita siapkan dan bahkan pertanyaan pesanan yang sudah diwanti-wanti editor. Kalau hanya mengandalkan omongan saat dia berpidato, apa yang saya bisa tulis?

Kelihatannya sepele dan pasti bikin orang frustasi. Padahal sejelek apapun pejabat, dia tetaplah "orang yang terkemuka" atau prominent people dan orang terkemuka adalah berita. Itu yang saya lakukan saat mendengarkan pidato 1,5 jam Wakil Bupati Tangerang Rano Karno, 6 April 2008 lalu saat memberikan "kuliah" mengenai cara pembuatan kompos di perumahan Vila Bintaro Indah (VBI), Keluharan Jombang, Kecamatam Ciputat, Tangerang. Kebetulan, VBI adalah tempat dimana saya tinggal selama 14 tahun terakhir.

Untuk Rano Karno, dalam frame berpikir saya sejak awal, adalah berita sekaligus human interst. Berita, karena inilah kunjungan pertamanya setelah dia berhasil menjabat atau dilantik sebagai wakil bupati Tangerang. Human interest, karena dia adalah orang terkemuka yang bisa bikin berita, artis pertama yang bisa menembus kebekuan eksekutif setelah gagalnya Marisa Haque saat mencoba peruntungan sebagai gubernur Banten. Saya tidak harus perhatikan isi pidatonya, tetapi justru tingkah lakunya. Justru apa yang diucapkan di luar teks dan konteks itulah yang akan saya jadikan tulisan human interst, meskipun hanya beberapa aliena saja. Berita, itu pasti, yaitu isi pidatonya itu tadi!

Beberapa pilihan untuk menulis sosok ringkas Rano Karno antara lain, pertama, prilakunya yang santun, yang siap melayani keinginan berfoto dari ibu-ibu, saat dia datang maupun saat ia pulang. Kedua ucapannya, bahwa dia harus selalu berganti-ganti pakaian sudah menjadi pejabat hanya karena mau bertemu dengan orang yang berbeda. Ketiga bisnis sampingannya sebagai penanam bunga anthurium. Untuk berita human interst, saya ambil hal yang kedua, yakni "keluhannya" tatkala dia harus berganti-ganti pakaian setiap hari.

Tulisan ringkas dari sosok Rano Karno itu dimuat di Kompas Update, edisi Senin 7 April 2008 halaman 1, yang saya muat utuh di bawah ini:

Rano Karno Bingung Berpakaian

Rano Karno (48), aktor yang kini menjadi ”amtenar” sebagai Wakil Bupati Tangerang, mengaku bingung kalau berpakaian. Dalam satu hari ia harus berganti-ganti pakaian sesuai peran dan kepentingannya. ”Saat ini saya harus berpakaian training pack karena harus memberi penyuluhan cara membuat kompos, beberapa jam kemudian saya harus mengenakan pakaian lain karena harus bertemu para ulama,” kata pemeran Si Doel dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan saat melakukan kunjungan kerja pertamanya di perumahan Vila Bintaro Indah, Jombang, Ciputat. Ia hadir atas undangan Paguyuban VBI yang menggalakkan program penghijauan, yang diketuai teman mainnya dalam sinetron maupun dalam film Si Doel Anak Betawi (1973), Djoni ”Roy” Irawan. (PEP)

Monday, April 07, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (46)


Usir Gengsi, Banggalah sebagai Jurnalis (Studi Kasus Rano Karno-1)


DUA minggu lalu, sahabat saya sekaligus tetangga dan teman main catur, Djoni "Roy" Irawan, mengungkapkan akan adanya acara penghijauan di kompleks perumahan Vila Bintaro Indah, tempat kami selama ini tinggal. Saya sudah sejak lama bertetangga dengan pengacara yang juga pesinetron ini, semenjak saya tinggal di kompleks perumahan itu tahun 1994. Dalam sehari-hari, kami biasa bermain catur menggunakan jam catur dan jalan kaki santai bila hari libur tiba. Menurut Djoni, Rano Karno, aktor yang kini menjadi Wakil Bupati Tangerang, akan memberi penyuluhan kepada warga mengenai cara membuat pupuk kompos. "Ini kunjungan pertama Rano selaku wakil bupati, lho," katanya.

Djoni kemudian bertanya bagaimana caranya mengundang wartawan Kompas untuk bisa hadir meliput acara tersebut, mengingat dia sebagai Ketua Paguyuban VBI adalah pihak yang mengundang Rano sekaligus penyelenggara acara. Saya jawab, kalau mengundang formal bisa ditujukan kepada Harian Kompas langsung melalui pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, atau kepala desk bersangkutan. Tetapi saya katakan waktu itu, "Bukankah saya ini wartawan, Pak? Diundang atau tidak, saya akan hadir di acara itu!"

Djoni menjadi tersipu. "Kalau begitu Oom Nug aja yang meliput, ya, sekaligus saya undang secara resmi," katanya di sela-sela kami bermain catur, pada suatu sore yang cerah. Dia biasa memanggil saya "Oom Nug", sementara saya biasa memanggilnya "Pak Djoni".

Ada beberapa hal yang membuat naluri jurnalistik saya tergerak saat mendengar informasi Djoni Irawan. Pertama, seorang Rano Karno adalah public figure, orang ternama, yang dalam istilah jurnalistik sekecil apapun tindakannya pasti bakal membuat berita. Kedua, ini adalah acara kunjungan pertama anak aktor kawakan Soekarno M Noer itu sebagai "amtenar" alias pejabat di lingkungan Pemda Tangerang, jadi masuk kaidah first or last ist news. Ketiga, mengandung proximity alias kedekatan, yakni cakupan wilayah liputan dan kedekatan dengan pembaca yang biasa saya tawarkan untuk desk metropolitan. Keempat, itu peristiwa di depan mata saya, masak sebagai jurnalis melewatkan begitu saja peristiwa ini.

Sebagai sopan santun, saya lapor kepada kepala desk Metropolitan, Banu Astono, bahwa akan ada acara tersebut. Banu menjawab, "Silakan elu liput, beritanya bisa buat metro, bisa juga buat nama dan peristiwa." maksud saya lapor bukan apa-apa, biar tidak bentrok dengan wartawan metropolitan yang siapa tahu bertugas di sana. Toh kalau saya yang meliput, berarti saya memperingan tugas wartawan lapangan yang biasa meliput Tangerang.

Acara berlangsung meriah pada hari Minggu, 6 April 2008, di Kompleks Vila Bintaro Indah. Rano Karno hadir. Saya hadir juga, kali ini sebagai warga merangkap sebagai wartawan profesional. Beberapa tetangga menyapa saya, "Beneran meliput, nih?" Wah, rupanya mereka ragu, kok bisa-bisanya saya "hanya" meliput peristiwa "sekecil" kedatangan Rano Karno, gengsi dong! Mereka memang tahunya saya adalah wartawan politik yang biasa meliput peristiwa-peristiwa besar kenegaraan.

Sebagai wartawan, saya harus punya sikap yang tidak arogan atas sebuah peristiwa, harus selalu skeptis atas sebuah peristiwa sehingga mengharuskan saya hadir on the spot, harus memiliki keingintahuan (curiosity) yang tinggi. Saya tidak harus turun gengsi hanya karena meliput peristiwa "kecil" semacam itu. Saya tetap memegang satu prinsip dalam jurnalistik, bahwa "All news is local". Berita adalah peristiwa-peristiwa lokal!

Usai meliput, mengambil gambar, mewawancarai langsung Rano Karno, sebagaimana layaknya sebuah liputan, saya langsung ke rumah, menulis berita, lantas mengirimkannya plus foto lewat laptop mungil saya . Selesai. Hari ini, Senin 7 April 2008, berita itu sudah dimuat di halaman 28 Harian Kompas, yang bisa Anda baca kembali di bawah ini:

PENGHIJAUAN
Rano Karno Ajak Warga Tangerang Buat Kompos

TANGERANG, KOMPAS- Wakil Bupati Tangerang Rano Karno mengajak seluruh warga Tangerang menjaga lingkungan sekitar dengan memelihara dan menanam pohon, khususnya membuat kompos untuk mendaur ulang sampah organik.

Ajakan Rano disampaikan pada kunjungan kerja pertama setelah terpilih sebagai Wakil Bupati Tangerang di Perumahan Vila Bintaro Indah (VBI), Kelurahan Jombang, Kecamatan Ciputat, Tangerang, Minggu (6/4). Acara yang dinamai ”Penghijauan VBI” itu diprakarsai Paguyuban VBI yang diketuai pengacara sekaligus pesinetron Djoni Irawan.

”Sudah saatnya kita ubah mindset kita bahwa sampah tidaklah identik dengan ’bau’ atau ’penyakit’. Sampah adalah uang dan bersih jika kita mampu mengelolanya dengan tepat, dengan menjadikannya sebagai kompos,” kata Rano yang memberi penyuluhan selama 1,5 jam kepada sekitar 1.000 keluarga, lengkap dengan mesin penghancur sampah organik.

Rano meminta ibu-ibu rumah tangga yang disebutnya sebagai ”manajer” dalam urusan sampah, memilah-milah sampah terlebih dahulu sebelum dibuang, yakni sampah organik berupa limbah makanan dan tanaman serta limbah anorganik berupa plastik. Limbah organik diolah sendiri menjadi kompos, sedangkan yang anorganik dikumpulkan untuk dijual kepada pengepul.

”Ini yang saya maksud mengubah cara berpikir bahwa sampah tidaklah identik dengan bau atau penyakit. Membuang sampah berarti membuang uang,” katanya.

Perumahan Vila Bintaro Indah ditunjuk Rano sebagai ”pusat penghijauan” untuk tingkat perumahan di Tangerang. Ia mengangkat para pemulung yang biasa mengangkat sampah di perumahan itu sebagai ”pengurus sampah”, yang bisa memperoleh tambahan dengan bekerja sama dengan warga. Ia juga meminta Paguyuban VBI menyediakan lahan 200 meter persegi untuk dijadikan pusat pengelolaan sampah menjadi kompos, sementara alat-alat penghancur sampah organik diupayakan secara swadaya.

Dalam kesempatan itu, Rano yang didampingi Camat Ciputat Muhammad menyumbangkan tanaman langka, pohon kepel (Stelechocarpus burahol), yang ditanamnya sendiri dan memberikan belasan tanaman lainnya secara simbolis untuk ditanam di RT masing-masing.

Sedangkan tanaman yang disumbangkan Departemen Kehutanan dan sebuah bank untuk penghijauan Perumahan VBI sebanyak 1.000 tanaman.

Ditanya mengapa penghijauan dipilih sebagai program kunjungan kerja pertamanya, Rano mengatakan, sebab hal itulah yang dapat ia lakukan.

”Beberapa tahun sebelum saya jadi wakil bupati, saya sudah menjadi praktisi penghijauan dengan membuat kompos sendiri dan memelihara tanaman sendiri,” kata Rano kepada Kompas. Pemeran ”Si Doel” dalam sebuah sinetron itu diundang pada Konferensi Pemanasan Global di Bali beberapa waktu lalu karena kiprahnya di bidang pemeliharaan lingkungan.

Camat Ciputat Muhammad menyatakan siap menjalankan program sekaligus ajakan Rano Karno, apalagi pihaknya sudah memiliki agenda penghijauan yang disebut ”Pisambaring” atau Pilah Sampah Basah-Kering. ”Jadi, ajakan Pak Wakil Bupati itu sangat klop dengan program yang kami jalankan selama ini,” katanya. (PEP)

Friday, April 04, 2008

Sekilas Buku (1): Sejarah "Kompas"


Tulisan Dibuang Sayang


LEBIH kurang dua tahun lalu saya pernah membuat blog, namanya InsideKompas (lihat http://www.insidekompas.blogspot.com/) . Blog itu dimaksudkan sebagai "media pembelaan" diri pribadi saya sebagai wartawan Kompas, menghadapi serangan pihak lain yang jelas-jelas mendiskreditkan institusi pers tempat saya bekerja. Pihak lain yang dimotori sebuah organisasi pers itu tanpa ampun menghujat Kompas melalui blog yang mereka buat. Isinya tidak proporsional, emosional, dan sepihak, menyusul pemecatan salah seorang pendiri organisasi itu yang kebetulan wartawan Kompas. Melalui blog InsideKompas, saya berupaya "menjawab" hujatan itu dengan menulis apa yang terjadi sesungguhnya di dalam Kompas berkenaan dengan pemecatan itu, tanpa mau terjerumus setuju atau tidak setuju pemecatan yang menimpa salah satu kolega saya itu. Itu urusan kantorlah. Saya pikir, peringatan sampai sanksi terberat berupa pemecatan apapun di sebuah institusi, pasti ada mekanismenya. Pemecatan bisa menimpa siapapun, termasuk saya, kalau saya melakukan kesalahan luar biasa sehingga mengharuskan kantor terpaksa memecat saya. Hal yang wajar dalam sebuah organisasi, meski pahit rasanya. Dalam blog itu, ada beberapa tulisan saya yang mungkin masih bermanfaat jika disajikan di blog Beranda t4 Berbagi ini, khususnya berkaitan dengan dunia kepenulisan dan jagat kewartawanan. Salah satunya adalah sebuah tinjauan buku mengenai "Sejarah Kompas" yang saya tulis dan upload pada 22 Mei 2007 tanpa perubahan sedikit pun, yang bisa Anda baca di bawah ini:


Dari Belakang Ke Depan

SEBUAH buku telah lahir. Buku sejarah. Sejarah pers, khususnya Kompas, sebuah harian yang terbit untuk pertama kalinya 28 Juni 1965. Pendirinya adalah dwitunggal, Petrus Kanisius Ojong dan Jakob Oetama. Ojong telah meninggal 27 tahun lalu, sedangkan Jakob masih sehat wal afiat. Semoga beliau panjang usia.

Buku ini diterbitkan Penerbit Buku Kompas (PBK). Orang menyebutnya penerbit "Kebo", merujuk pada logo perusahaan penerbitan yang berlambang seekor kerbau dimana di atasnya bertengger seorang "bocah angon" (penggembala) yang sedang meniup seruling. Kantor PBK berada di samping kiri Gedung Kompas Gramedia lama, berbaur dengan rumah-rumah penduduk.

Ada beberapa rekan yang memelesetkan PBK menjadi Penerbit Buku Kliping. Ada benarnya, sebab beberapa buku merupakan dokumentasi dari ribuan artikel yang pernah dimuat di Harian Kompas, khususnya yang memberi inspirasi dan memompa semangat dan gairah berkiprah. Tetapi tidak semua dari kliping. Ada buku-buku yang murni ditulis memang untuk menjadi buku. Ditulis secara serius, bukan hasil kliping. Salah satunya adalah buku "Kompas, dari Belakang ke Depan: menulis dari dalam". Diterbitkan baru seminggu lalu dan mungkin baru beberapa hari lewat saja menghias rak-rak toko buku.

Inilah buku sejarah Kompas terkomplit yang pernah terbit. Selain bercerita mengenai kelahirannya, buku ini juga menceritakan jatuh-bangun, kisah sukses, sampai strategi bertahannya yang unik. Frans M. Parera, salah seorang penyumbang tulisan tidak harus malu mengatakan "jurnalisme kepiting" untuk strategi bertahan Kompas yang menjadikan harian ini tetap eksis bertahan.

Saat beberapa harian diberangus penguasa Orde Baru, yakni Soeharto dan antek-anteknya yang menciptakan mesin antidemokrasi di tahun 1978, Kompas termasuk salah satu korban pemberangusan itu. Dua minggu kemudian, Jakob diminta menandatangani surat pernyataan agar Kompas tidak galak lagi terhadap pemerintah Soeharto.

August Parengkuan, seorang sesepuh Kompas dalam buku itu mengatakan, "Bagi Pak Jakob, Kompas harus terbit kembali. bukan saja agar para karyawan bisa terus bekerja tetapi yang penting tetap mempunyai medium untuk menyampaikan gagasan, pemikiran, dan ide-ide baik kepada pemerintah maupun ke masyarakat. Jadi tidak perlu gagah-gagahan seakan-akan menjuadi pahlawan karena berseberangan dengan pemerintah, tulis August, "tetapi satu minggu sesudahnya semua orang lupa pernah ada koran bernama Kompas" (hal. 298).

Sejumlah penulis memberi konstribusi dalam penulisan buku ini, antara lain St Sularto, Mamak Sutamat, Ninok Leksono, Suryopratomo, Agung Adiprasetyo, dan Arbain Rambey. Jakob memberi sambutan dalam buku ini. Buku dihiasi foto-foto lawas dari dokumentasi foto yang tidak atau belum pernah dipublikasikan. Unsur mengejutkan dan mencengangkan sudah pasti ada saat melihat foto-foto yang disunnting Arbain ini. Buku memuat pula kartun GM Sudarta yang dikenal sangat "menyentil dan mengena" itu, juga ada ilustrasi dua halaman penuh sosok PK Ojong dan Jakob Oetama karya Jitet (lihat foto di atas).

Buku ini tentu saja memberi inspirasi bagi siapapun, dari orang pers, mahasiswa, atau masyarakat umum yang ingin lebih kenal dekat Kompas. Dari buku ini kita bisa belajar bagaimana cara mempertahankan diri, penanaman karakter baik, integritas dan loyalitas, juga bisa tahu bahwa membangun sebuah kerajaan bisnis seperti yang bisa dilihat sekarang ini tidaklah semudah membalik telapak tangan. Perlu waktu 42 tahun untuk membangunnya. Sedangkan orang yang ingin menjatuhkan sekaligus menghancurkan Kompas, tidak perlu menunggu selama itu. Bila perlu cukup satu hari saja!

Buku ini tidak hanya wajib dibaca oleh 246 wartawan Kompas atau seluruh karyawannya yang berjumlah 953 orang (data 2007) dan kerabat serta keluarganya, juga oleh sekitar 5.000an karyawan yang bernaung di bawah bendera KKG, tetapi oleh mereka yang ingin mendalami nilai-nilai sebuah kejuangan dan semangat survive sebuah harian bernama Kompas. Tentu saja kiprah orang-orang di dalamnya; dari pendiri, pemegang saham, petinggi sampai office boy.