Tuesday, April 15, 2008

Catatan (46): Mengenang Mantan Wartawan Kompas [1]


Taufik Ikram Jamil

SENIN, 14 April 2008 kemarin, saya meminjam kaset produksi Riau dari Kenedi Nurhan, rekan sekantor saya, lagu rock dari kelompok musik Sagu. Saya dengarkan di tape mobil sambil pulang kerja. Pada bagian akhir kaset, ada puisi panjang berjudul Aku Sudah Menjawab. Penulis dan pembaca puisi adalah Taufik Ikram Jamil. Dia adalah mantan wartawan Harian Kompas, yang berarti kolega saya juga, yang kini sudah berdirikari di dunianya sendiri.

Coretan ini sekadar mengenang teman-teman mantan wartawan Kompas yang pernah saya kenal, sebagaimana halnya Taufik Ikram Jamil, wartawan Kompas yang ditempatkan di Riau karena dia memang tinggal di sana. Lebih khusus lagi, adalah para mantan wartawan Kompas yang pernah saya kenal, setidak-tidaknya saya pernah bertatap muka atau sekadar say hello dengan mereka. Saya punya catatan tentang mereka, tetapi mereka belum tentu punya catatan (baca: kenangan) dengan saya.

Yang saya kagumi dari mereka, para mantan wartawan Kompas yang dengan alasan tertentu harus berhenti di tengah jalan sebelum pensiun, adalah ketegaran mereka saat harus keluar dari sebuah "kemapanan", hidup di lingkungan dan suasana kerja sebuah harian yang masih menyandang kata-kata "terbesar" di negeri ini, baik dari segi tiras maupun sumber daya manusianya. Uniknya, yang saya tahu, mereka bisa survive di bidang masing-masing dan bahkan sangat-sangat berhasil dalam arti lebih dikenal, lebih mapan, dan tentu saja lebih makmur.

Mereka antara lain Taufik Ikram Jamil, Budiarto Danujaya, Ace Suhaidi Masdupi, Satrio Arismunandar, Dhia Prakesa Yudha, Bambang Wisudo, Sujiwo Tejo, Arya Gunawan, Asep Setiawan, Sastra Wijaya, Hary Suryadi, Lily Yulianti Farid, Iman Nur Rosadi, Haryanto, Laksmi Dewanti, Ricky Pitoy Tafuama, Anton Megasuryo, Mathias Haryadi, Krista Rubidi Riyanto, Barry Sihotang, Ratiman Sutardjo, Ratih Hardjono, Yusron Ihza Mahendra, Yoseph Umarhadi, Afridal Jinu, Gedsiri, dan tentu saja Suryopratomo. Ada bebeberapa kesan yang saya tulis sendiri-sendiri seperti halnya Taufik Ikram Jamil ini, tetapi ada pula yang saya gabungkan.

Pertama saya akan menulis mengenai Taufik Ukram Jamil, sebab nama itulah yang terlintas paling pertama dalam ingatan saya. Terakhir, saya akan menulis mengenai Suryopratomo, mantan pemimin redaksi Kompas yang kini sedang mengambil cuti, meski sesungguhnya saya telah beberapa kali menulis tentangnya. Saya akan menuliskannya secara berseri dan secara acak pula.

Baik, pertama mengenai Taufik Ikram Jamil. Sebagai wartawan yang ber-homebase di Jakarta, hanya sesekali saja saya bertemu Mas "TI", demikian biasa saya memanggil senior saya itu. Suatu waktu saat saya meliput di Gedung DPR, kira-kira tahun 2000-an, Mas "TI" menumpang mobil saya karena dia juga harus ke DPR menemui seseorang. Di dalam kabin, percakapan hanya seputar keluarga saja, bukan urusan berita.

Beberapa tahun kemudian saya mendengar Mas "TI" keluar dari Kompas dengan alasan lebih ingin berkonsentrasi kepada seni dan mengelola sebuah lembaga swadaya masyarakat, yang gerakannya tidak jauh-jauh dari seni, meneriakkan "kemunduran" Riau di tengah kekayaan alam yang berlimpah dan "tergerusnya" seni budaya lokal yang tinggi akibat intrusi budaya Barat dan bahkan budaya Jakarta. Kata-kata adalah kekuatannya, maka Mas "TI" yang saya kenal bukan saja sebagai wartawan, tetapi juga sebagai seniman dan budayawan. Apalagi belakangan saya tahu, Mas "TI" juga menjadi ketua Dewan Kesenian Riau. Sebuah "jabatan" yang amat layak disandangnya.

Tahun 1997, saat saya ke Riau untuk meliput perpolitikan lokal dan kecenderungan berpolitik masyarakat Riau, saya tidak bertemu Mas "TI", meski bertemu dengan banyak teman-teman wartawan setempat. Tetapi dari percakapan saya dengan mereka, ternyatakah bahwa Mas "TI" merupakan "tokoh terpandang" di kalangan wartawan dan seniman. Saat itu, ia sudah banyak menerbitkan buku puisi dan kumpulan cerpen. Cerpen Mas "TI" juga tidak lepas dari nafas tanah air Riau sebagai tanah air yang membesarkannya, setidak-tidaknya yang saya baca dari cerpen-cerpennya yang dimuat di Harian Kompas dan ketajaman kata-katanya di rubrik Bentara.

Tulisan terakhir Mas "TI" sebagai wartawan adalah tentang otonomi daerah, tentu saja daerah Riau, dengan judul yang menggugah Kota Ini Bisa Indah Juga Ya... Tulisan itu dimuat hari Jumat, 23 Agustus 2002 halaman 8. Setelah lepas sebagai wartawan Kompas, tulisan dalam bentuk essai masih bisa saya baca di Harian Kompas, juga dari buku-bukunya yang saya temukan di toko-toko buku, antara lain kumpulan sajak Tersebab Haku Melayu (1995), kumpulan cerpen Membaca Hang Jebat (1998), dan roman Gelombang Sunyi (2001).

Secara pribadi dan tentu saja subyektif, saya sangat menyukai tiga puisinya yang pernah dimuat di lembar Bentara, Harian Kompas, edisi Rabu, 3 November 2004, berjudul Tusuk, Runsing, dan Gurindam Bukit Siguntang. Untuk lebih mengenal kekuatan kata-katanya, ketiga puisi Mas "TI", pria kelahiran Bengkalis, Riau 19 September 1963, saya muat kembali di sini, sekaligus meminta izin kepada penulisnya sendiri.


TUSUK

telah kutusuk pekong-barah hasratku
antara dua puncak menara petronas
nanah yang tak sempat membaja
menjadi karat pada setiap tangganya
lalu di lantainya berlapis marmar
keluhku menggelesang
bersama pengunjungyang tampak seperti patung

maka setiap inginku berkibar di puncak
diladeni angin setinggi janji
menyabung awan yang menyimpan air
sebelum turun ke bumi sebagai hujan
memanjakan tanah dengan seribu hendak
kumaafkan takdir buruk cuaca
menangkis petir dengan debar
yang ditinggalkan setiap gerak
untuk lenggok bunyi bertindak

tuntutku jelas terlihat dari semua sudut
tak di chow-kit tak di genting
bahkan tak di putera jaya
tak di setiap yang bernama saja
apalagi ketika malam
saat jubah putih terpakai rindu
berbalas pantun dengan jajaran bintang
dan sinar yang terpancar dari kotayang disaring berbagai sangsai
menciptakan amsal warna
agak hampir dengan kelam
bagai terbungkus balon jelaga
seperti menggantung tanpa tali
beringsut di udara dengan langkah sepi

cuma mengapa hasratku tetap tak dikenal
ingin dan tuntutku malah tak disapa
hingga jangkung menara
hanya menjulang kesombongan
mungkin juga menopang sesuatu yang tak ada
bahkan di dalam mimpi pun tingginya menghindar
langit hanya tahu perjanjian atasyang lebih membumbung dari segala puncak
tanpa tiang tanpa pancang
tak mungkin menggantung sebarang tampang
jiwaku bahkan menggelinding
tersaput kesalahpahaman yang dibalut kabut

RUNSING

sekelabat pilu melintasi petangku yang tua
dalam perjalanan pulang tiada berpergi
tapi aku tak boleh berhenti
sebab besok pagi adalah kepastian
ditumpangi harapan sarat bertimbun
bak lalu lintas silang bersilang
berpacu dalam keramaian untung

maka sukmaku pun meluruh
sementara airmata melayang
bersama debu tanpa dapat kuusap
lalu parit menyapa
dengan bahasa longkang dan selokan
lupa kepada keramahan air
yang mengalir dari belokan riang

di rumah
raung menungguku dengan garang
tapi aku ingin tidurdi pinggir hari tidak bernama
berbantalkan angan-angan ketika sampai
dengan rindu kenangan sebagai tilam
selimutku adalah janji
lelap menghalau setiap bising
hingga fajar lebih cepat datang
walau hanya dalam mimpi

aduhai
malam memalingkan mukanya
tinggalkan aku sendiri
terpegun dalam gelap
dirahab sedih hitam berkedam
melemparkan inginku pada kelam
bahkan pada setiap yang menolak sinar
aku disandingtandingkan samar

aku tergolek dalam bilik
mengurung perih tak dapat memilih
kasur dan bantal hanya lirih
pun perabot terkunci keluh
lantai tergeletak nyerah
dihimpit langit-langit merintih
entah ke sudut mana mataku ditatih
entah bagaimana lagi hatiku dipelasah

GURINDAM BUKIT SIGUNTANG

bukit siguntang dekat palembang
kupandang dikau dalam sebuah petang
pada huruf palawa mengembang
di antara dua sungai bujurkan kata-kata
ketika tubuhmu kian menunduk
karena beban sejarah sejuk berpeluk
dimamah usia tiada melapuk
cuma aku bukan demang lebar daun
karena sang sapurba pun entah siapa
hingga tak ada sumpah dipapah
melayu tak musti mengalah
raja zalim harus disanggah

tak aku wan sundari
mengorak kasih dalam rahasia perawan
pun tak wan empuk wan malini aku
setelah malam yang keramat
berhampiran dengan dini hari bertambat
jam-jam penuh bulan menyabit
saat lembu muntahkan tiga perjaka
dalam rindu dendam segenap jagat
iskandar zulkarnain yang agung melaung

pada parameswara aku pernah berpahamp
indah bukan berarti kalah
seperti dari muaratakus langkah tak goyah
sungai musi menghanyutkan janji
di bintan dan inderagiri sekali lagi diuji
menyambut catatan it-sing dan masud
tersalin kabur di kediri dan kedu
cuma bukan darmapala bukan satyakirti aku
pun bukan di antara seribu pendeta akum
enyukat mahayana di universitas nalanda
pustaka membukakan dirinya cepat
melintasi sunda nyeberangi melaka
sampai ke cina saling terpikat

lalu bulan-bulan penuh bala
tiba juga bersama rajendra
seperti pesan yang dikirim dari tanjore
panah vidhyadharatorana mengamuk
sampai ke hulu hati peradaban
bukan saja intan berlian dan tentara bergajah
bahkan paduka sangrama vijayottunggawarman
ditawan dalam dendam
setelah itu airlangga
memungut serpih di pinggir jawa
tak pula pasai lengah
melangkah segera ke tengah kalah
untuk menang menaikkan marwah

bukit siguntang dekat palembang
kutengok dikau dalam sebuah petang
ketika syailendra tak tahu jalan pulang
perginya pun ke rantau ambang
hingga masing-masing abad tersesat
tapi juga tak saling ingatcari dan mendapat hanya lewat
seribu tahun menyabung debat
bukit siguntang dekat palembang
kutatap dikau dalam sebuah petang
karena memang tak banyak
yang dapat kulihat
tak candi atau sebarang bangunan
bukan penyatuan kefanaan dan keabadian
hingga aku begitu bebas membayangkan
tentang kesetiaan dan pengkhianatan

No comments: