Tuesday, March 25, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (44)


Jadilah Diri Sendiri!

MENULIS dan membaca ibarat suami-istri atau remaja yang saling jatuh cinta. Saling kasmaran. Saling membutuhkan. Saling merindukan. Menulis tanpa membaca, membuat tulisan hampa, kosong, dipaksakan, dan tidak bermutu. Membaca tanpa diakhiri dengan menulis, juga akan sia-sia. Ilmu yang Anda baca hanya sekadar beredar di kepala, menjadi konsumsi bagi diri sendiri. Setelah kita mati, lenyap pulalah ilmu yang kita punya.

Bayangkan sedikit saja kita menulis dari apa yang telah kita baca, maka Anda meninggalkan ilmu pengetahuan bermanfaat bagi banyak orang. Saat saya mati kelak, saya tidak meninggalkan apa-apa buat Anda kecuali tulisan dalam blog ini yang akan bisa Anda baca terus-menerus, Anda akses sebebas-bebasnya dan bagikan lagi kepada yang lainnya yang kebetulan belum tahu. Kelak tulisan di blog ini akan menjadi bermanfaat selama bisa diakses. Tidak usah merasa berutang budi dengan tulisan ini, sebab saya melakukannya dengan senang hati dan ikhlas. Berbagi ilmu adalah kesenangan tersendiri.

Akan tetapi, yang ingin saya ketengahkan di sini adalah "pengaruh buruk" dari apa yang sudah kita baca terhadap gaya kepenulisan. Maksud "pengaruh buruk" di sini bukan berarti tidak boleh membaca. Ini pemahaman keliru. "Pengaruh buruk" di sini tidak lain karena kita merasa "harus" menulis seperti yang ditulis para penulis itu, yang bukunya begitu mengesankan kita, sehingga kita "ingin menjadi" dirinya. Maaf kalau saya potong langsung saja: jangan menjadi orang lain, jadilah diri sendiri!

Ini umum terjadi pada dunia kepenulisan fiksi, atau kadang-kadang menulis artikel. Setelah membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer, maka si penulis sudah merasa hebat kalau menulis dengan gaya Pram, Muchtar Lubis, Arswendo Atmowiloto, Ahmad Tohari, atau Putu Setia. Beruntunglah saya yang ditempa khusus hanya untuk menulis berita "hard news" yang tidak boleh ada bunga-bunga tulisan, kata-kata bersayap, kiasan, atau kata-kata tersembunyi. Maka tulisan saya adalah lurus-lurus saja, sesuai fakta apa adanya.

Menulis berita, apakah itu berita "soft news" atau "hard news", bagi saya tetap harus menggunakan gaya kepenulisan yang standar, yang kadang terasa "garing" dan tidak bertenaga. Ada yang bilang dan bahkan setengah mendewakan "jurnalisme sastrawi", tetapi itu bukan berarti menggunakan bahasa yang mendayu-dayu, memanjang-manjangkan hal yang sesungguhnya pendek saja. "Jurnalisme sastrawi", apapun namanya, tetap harus menyampaikan fakta dan kebenaran kalau dimaksudkan sebagai menulis berita.

Tetapi apa boleh buat, yang ingin saya sampaikan dalam menulis berita adalah sebuah fakta dan kenyataan, bukan fiksi atau khayalan. Untuk yang satu ini, pembahasan berhenti di sini. Mari kita lihat menulis fiksi atau artikel, yang kadang-kadang rentan dengan pengaruh gaya bahasa atau gaya bertutur orang lain!

Menjadi Pram, Ahmad Tohari atau Jakob Oetama, tidak masalah. Tidak ada yang melarang, tidak ada hukum yang menjerat kalau Anda melakukannya. Just do it! Tetapi yakinlah, setelah itu Anda akan merasa hampa sendiri. Anda tidak akan puas hanya karena telah menjadi orang lain, sebagus apapun tulisan, cerpen, novel, atau artikel Anda. Bukankah lebih baik menjadi diri sendiri sejelek apapun tulisan kita?

Satu hal yang harus menjadi catatan, bahwa kita membaca, Anda membaca tulisan orang lain, bukan untuk menirunya, sekuat apapun pengaruh tulisan yang Anda baca itu merasuk ke seluruh sel darah Anda. Kita membaca untuk sekadar memperluas pengetahuan kita, memperkaya kepala kita dengan ilmu pengetahuan bernas yang mungkin didapat setelah Anda membaca buku atau tulisan seseorang. Bukan dimaksudkan untuk meniru lantas menjadi orang lain. Bukan!

Membaca adalah memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan. Ini memperkaya diri yang baik, daripada memperkaya diri dengan harta yang tak akan ada habis-habisnya. Hiasilah wajah Anda dengan pengetahuan yang bermanfaat, yang bisa Anda curahkan kapanpun untuk kepentingan diri, saudara atau orang lain. Niscaya Anda tidak akan terasuki penyakit macet saat menulis, kehilangan kata-kata dan frasa, lalu menjadi afasia sebelum kata-kata itu keluar dari ujung-ujung jari Anda di atas tuts ketikan atau pena.

Membaca berarti Anda mengisi amunisi isi kepala Anda dengan pengetahuan yang siap dimuntahkan saat Anda perlukan dalam menulis. Ini berlaku baik dalam menulis fiksi maupun nonfiksi. Amunisi itu harus tetap Ada. Novel atau cerpen tanpa riset bacaan, hanya bualan yang sama sekali tidak bermanfaat, buang-buang energi saja bagi yang membacanya. Menulis artikel tanpa membaca hanya menjebak Anda dalam pikiran kuda, maunya menang sendiri, seperti diri sendiri saja yang benar. Menulis berita dimana isi kepala sarat dengan pengetahuan dari bacaan, membuat berita tidak sekadar "melaporkan", tetapi sekaligus "memberi pengetahuan".

Itulah selintas mengenai pentingnya membaca untuk menulis. Membaca di sini adalah menggali ilmu pengetahuan, baik itu dari cara membaca dalam arti sesungguhnya, atau "membaca" saat kita mendengarkan ceramah cendekiawan, ilmuwan, agamawan, teman, atau siapapun yang bermanfaat. Membaca di sini bisa juga diskusi atau bertukar pikiran dengan siapapun. Pokoknya membaca dalam arti seluas-luasnya demi sebuah tulisan yang berbobot dan bermanfaat.

No comments: