Monday, March 31, 2008

Catatan (45): Jangan Pernah Mengeluh


Hikmah Yang Tersembunyi (2)


TUGAS atau pekerjaan apapun jika dilaksanakan dengan ikhlas, terasa ringan tanpa beban. Teringat ketika sekian tahun lalu saya menandatangani kesediaan diri sebagai jurnalis yang harus bersedia ditempatkan dimanapun, terasa bukan sebagai suatu pengikat, tetapi sebagai tantangan demi tantangan yang ada di depan, yang harus siap kita hadapi. Tidak terkecuali saat saya mendapat tugas baru di Kompas Update.

Memang akan membuat bulu kuduk berdiri. Bagaimana mungkin sebuah pekerjaan harus dimulai pukul 1 dinihari, tanpa tidur, sampai kemudian koran update terbit pada pukul 10.00, dan masih disusul rapat redaksi rutin pukul 10.00 hingga pukul 12.oo? Bagi saya, itu mungkin saja. Apa bedanya kerja jurnalis dengan Pak Satpam atau maaf, perampok, yang biasa bekerja malam-malam? Saya tidak berkeberatan dengan persamaan semacam itu, yang jelas tugasnya tentu saja sangat berbeda. Sekadar rentang waktu kerja saja yang kebetulan sama. Barangkali.

Saya berupaya mengambil sisi positif dari setiap penugasan. Bahasa lugasnya, selalu ada hikmah di balik penugasan apapun. Bukan persoalan bahwa itu sudah digariskan dari "sononya", tetapi lebih karena persoalan pengembangan sumber daya manusia saja di kantor ini, dan saya percaya sepenuhnya. Mungkin saya masuk golongan homo faber, tetapi tidak melupakan homo ludens, manusia yang senang dengan permainan. Permainan apapun, termasuk permainan "nasib" seperti ini. Wah, kenapa juga harus menilai diri sendiri!?

Apa sisi positif atau hikmah di balik penugasan saya sebagai "jurnalis malam"? Mungkin beberapa saja yang ingin saya ungkapkan. Pertama, waktu untuk membaca menjadi jauh lebih banyak. Sehabis bekerja dan tiba di rumah pukul 13.00, saya sudah tenggelam dalam buku atau bacaan lainnya yang bermanfaat, untuk kemudian tak sadarkan diri karena tertidur siang (siesta). Dulu, saya menyempatkan membaca buku di sela-sela pekerjaan meng-upload berita untuk Kompas online, sekarang sambil menunggu berita masuk pun saya selalu membaca.

Kedua, menulis masih tetap terasah karena saya harus menulis berita-berita ringkas mengenai people di halaman pertama Kompas Update. Dengan demikian saya mengasah kembali bahasa Inggris, Jerman, atau Perancis yang sedikit saya kuasai, tergantung berita apa yang mau saya buat. Memang harus dibayar mahal karena saya tidak bisa lagi bertemu sumber atau menulis artikel panjang di Kompas reguler. Bagi saya, asalkan masih bisa menulis, aktualisasi diri tetap terjaga.

Ketiga, ternyata saya bisa lebih dekat lagi dengan Si Kakang, anak saya. Waktu masuk pagi sampai larut malam dulu, tidak ada waktu sedikitpun untuk sekadar tahu pelajaran apa untuk besok. Tidak tahu persis bagaimana anak tumbuh dan berkembang. Sekarang, anak saya biasa bertanya mengenai bahasa Inggris atau bahasa Arab, atau apapun, termasuk matematika, sejauh yang saya bisa. Saat dia pulang sekolah pukul 15.00, saya masih bisa menjemputnya ke sekolah. Terasa lebih dekat lagi. Juga saya bisa leluasa ke J.Co atau Oh Lala sore-sore sekedar memuaskan hobi kami berdua, ngopi! kadang, kami sekeluarga bisa makan malam di resto-resto terdekat jika sudah bosan makan di rumah, yang dulu hanya bisa kami lakukan saat libur saja.

Keempat, saya lebih leluasa bersosialisasi dengan tetangga. Saya punya waktu untuk bermain catur bersama Johny "Roy" Irawan, tetangga saya yang pesintron sekaligus pengacara itu , futsal dengan anak-anak kompleks, atau lari-lari di tempat di trek treadmill sekadar membakar lemak, ditemani dua kucing Si Grey dan Si Jolie. Saya masih sempat mengamati dan mengurus puluhan koleksi papan dan buah catur saya yang saya simpan baik-baik di tempat khusus. Saya masih bisa menghadiri pengajian bulanan bapak-bapak di kompleks. Setidak-tidaknya, saya masih bisa menyaksikan keindahan matahari tenggelam di ufuk Barat.

Saya tidak tahu sampai berapa lama lagi saya bertugas di Kompas Update. Satu, dua, atau tiga tahun lagi, atau malah besok lusa harus diganti. Well, saya harus selalu siap. (Selesai)

No comments: