Saturday, March 22, 2008

Catatan (43): Mas Tom Diganti...


Niat Mundur Ditolak Mas Tom (2)

MENDAPAT pesan singkat peringatan dari Mas Tom membuat saya menjadi tidak enak hati. Jarak Jakarta-Makassar sedemikian jauh, tetapi saat itu terasa wajah Mas Tom ada di depan saya dengan rona kecewa. Kecewa atas keisengan saya yang membuat geger Jakarta, setidak-tidaknya pihak PSDM. Bukan karena saya takut lalu tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatan saya itu, tetapi karena Mas Tom sudah terlalu baik kepada saya.

"Jangan kamu pikir semua orang suka kepada kamu. Siapa tahu ada orang yang tidak suka sama kamu, lalu apa yang kamu lakukan menjadi bumerang buat kamu sendiri", demikian SMS susulan dari Mas Tom yang benar-benar mendesak saya harus berbuat sesuatu: saya harus mempertanggungjawabkan perbuatan iseng saya itu dengan cara saya sendiri: mengundurkan diri!

Saya tidak perlu berpikir panjang untuk memutuskan ini, meninggalkan jabatan ini, toh awal-akhir jabatan akan hilang juga. Itu cuma soal waktu. Mundur bukan berarti disersi atau patah arang menghadapi tugas. Ini bentuk pertanggungjawaban saja, meski kesannya bisa saja diartikan sengaja menghindari tugas di Makassar. Tidak, ini konsekuensi bahwa saya harus kehilangan jabatan, saya harus mundur. Makassar terlalu indah untuk segera saya tinggalkan. Kalau boleh meminta, bahkan saya ingin selamanya bertugas di Makassar sampai pensiun. Saya terlalu mencintai kota ini dengan segenap isinya. Maka saya membalas SMS Mas Tom, pendek saja, tanpa ada keraguan: "Saya siap mundur untuk mempertanggungjawabkan perbuatan saya ini, Mas Tom! Saat itu tahun 2003, artinya baru dua tahun saja saya bertugas di Makassar.

Saya pikir Mas Tom akan lama membalasnya, karena beliau harus mempertimbangkannya juga. Tetapi tidak lama kemudian SMS jawaban saya terima. "Tidak perlu mundur! Kamu tetap di Makassar. Selamat bekerja..."

Wah, saya terpukul untuk kesekian kalinya. Padahal, saya sudah persiapkan mental saya untuk pulang ke Jakarta dengan wajah menunduk penuh kekalahan, kegagalan, dan ketololan. Tetapi itu tidak terjadi. Mas Tom tetap menghendaki saya bertugas di Makassar sampai waktu yang tidak ditentukan. Saya boleh saja saat itu mengartikan, Mas Tom memaafkan kelancangan saya. Tetapi dari kejadian itu, saya bertekad untuk bertindak lebih bijak, khususnya menyangkut kepentingan pekerjaan dan sensitivitas kantor. Saya tidak akan main-main dengan urusan kantor meski sekadar iseng. Benar kata Mas Tom, "Jangan kamu pikir semua orang suka kepada kamu!" Nasihat bijak yang akan terus terngiang sampai kapanpun, kemanapun kaki ini melangkah.

Sejak saat itu boleh dibilang saya jarang berkontak-kontakan lagi dengan Mas Tom. Pun saya jarang ke Jakarta, sehingga kesempatan bertemu secara fisik pun tidak ada. Sampai kemudian pada suatu waktu, Mei 2004, saya mendapat telepon dari Trias Kuncahyono, Redaktur Pelaksana Kompas saat itu, bahwa saya harus segera meninggalkan Makassar yang saya cintai untuk bertugas di tempat baru: Surabaya. (Bersambung)

No comments: