Memberi Kopian "Interpretative Reporting" (3)
SEKALI waktu saat sedang duduk santai di Kantor Biro Kompas Indonesia Timur di Makassar, pada suatu sore yang cerah, saat bersiap-siap berangkat mandi sinar mentari sore yang memerah di barat Pantai Losari, saya mendapat telepon dari Jakarta. Dari kantor. "Pak Ias mau bicara," kata operator perempuan, menyebut sebuah nama singkatan yang tidak lain Trias Kuncahyono, Redaktur Pelaksana.
"Hem, tidak biasanya beliau mengontak saya," kata saya dalam hati sambil menunggu suara di seberang sana. Ponsel Motorola lipat warna perak masih dalam genggaman. Setelah berbasa-basi cukup lama, Pak Ias langsung mengutarakan keperluannya. "Surabaya menunggu Mas Pepih!" Saya tahu, artinya saya harus segera meninggalkan Makassar. Wow, Surabaya!
Tentu saja berat meninggalkan Makassar, sebab meski "hanya" bertugas selama 2,5 tahun di Kota Anging Mammiri ini, saya sudah merasa memiliki kota ini. Banyak teman dekat yang saya kenal, tidak hanya di Makassar, tetapi juga sampai menembus Ambon dan Kota Palu. Apa boleh buat, seminggu kemudian saya sudah harus berkemas lagi untuk bertugas di Surabaya sebagai wakil kepala biro, mendampingi Pak AW Subarkah yang saat itu menjadi kepala biro Kompas Jawa Timur.
Turunkah jabatan dari kepala biro menjadi wakil kepala biro di Kompas? Dilihat dari namanya memang turun, tetapi dari strata maupun penggolongan tidak demikian. Kalau tidak sedikit ada kenaikan, paling tidak ada tambahan pendapatan lainnya. Alasannya, biro Jawa Timur yang besar tidak sekelas dengan Biro Indonesia Timur yang kecil, yang tidak memiliki lembaran daerah. Kalau biro Jawa Timur kelas A, biro Indonesia Timur kelas B.
Bagi saya pribadi, naik atau turun pun tidak jadi soal. Bahkan harus kehilangan jabatan pun tidak jadi soal, asal jangan kehilangan pekerjaan sebagai wartawan saja. Bukankah saat di Makassar saya sudah meminta mengundurkan diri hanya karena mengikuti perasaan bersalah?
Di Surabaya, saya hanya beberapa kali saja bertemu Mas Tom, antara lain saat peresmian Gedung Kompas Biro Jawa Timur yang baru, juga saat ada pameran Kelompok Kompas Gramedia di Surabaya. Saat itulah saya memberi mas Tom sebuah kopian buku "Interpretative Reporting". Saya merasa harus memberinya buku itu bukan karena lancang ingin mengajarinya bagaimana menulis laporan interpretatif. Tidak lain hanya ingin sekadar berbagi saja, berbagi ilmu, karena saya merasa buku ini sangat baik dan praktis untuk gaya penulisan berita "yang tidak biasa".
Saya tidak tahu apakah Mas Tom tersinggung atau tidak, tetapi harapan saya tetap agar Mas Tom membaca buku kopian itu. Syukur kalau sudah membacanya, sehingga kita bisa langsung bertukar pikiran saja. Nyatanya, dia dengan rendah hati mau menerima buku kopian itu, meski tanpa komentar sedikit pun. Ya sudah, tidak mengapa!
Memberi buku kepada atasan, bukan berarti menjilat. Sebab kalau mau menjilat, kalau budaya itu memang ada di Harian Kompas, bukan dengan cara memberi buku, kopian pula! Mungkin dengan cara lain yang saya tidak tahu. tetapi tidak ada pikiran ke arah sana. Lurus-lurus saja, bahwa harapan saya adalah bisa bertukar pikiran dengan Mas Tom mengenai buku kopian itu. Memang diskusi itu tidak pernah terjadi. Tetapi, saya tidak harus menyesal karenanya.
Kurang lebih saya dua tahun bertugas di Surabaya, kemudian pada suatu hari saya mendapat telepon lagi. Kali ini langsung dari Mas Tom lagi... (Bersambung)
No comments:
Post a Comment