Dibimbing Insting
PADA acara Reuni SMPN I Tasikmalaya angkatan 1981 tanggal 24 Juni lalu di Hotel Crown Tasikmalaya, seorang teman bertanya, “Kamu kok jadi pemberani, perang agama di Ambon dan Poso saja kamu liput?”
Saya tahu arah Yono, teman saya itu, dia ingin mengatakan bahwa semasa di SMP dulu saya lelaki penakut, bahkan cenderung lembek, setidak-tidaknya dalam atletik dan sepak bola. Saya menjawab kawan lama saya itu sekenanya, “Mungkin karena keadaan sajalah yang memaksa saya harus nekat.”
Sebenarnya tidak persis begitu. Apa yang saya lakukan di lapangan, di wilayah konflik, tentu dengan perhitungan matang. Tidak mentang-mentang dan sok jagoan. Ingat, nyawa Cuma satu dan saya perlu membesarkan anak! Saya tidak mau anak saya menjadi yatim hanya karena kecerobohan saya. Lagipula, mati di lapangan saat meliput hanya dikenang orang paling lama satu minggu, setelah itu dilupakan begitu saja.
Saya anggap medan Ambon dan Poso paling berat, dibanding waktu saya ke Bosnia, Kroasia, dan Serbia yang malah dikawal mobil PBB segala. Di Ambon dan Poso kita harus jalan sendiri kalau mau mendapat berita atau tulisan yang menarik. Di sana, mengandalkan percaya diri saja tidak cukup. Perlu trik jangan sampai kita mati konyol gara-gara KTP, misalnya, yang mencantumkan agama seseorang di selembar kertas itu.
Kuncinya adalah pertemanan dan mengandalkan jaringan! Jadi saat konflik masih membara, jangan coba-coba jalan ke wilayah dimana agama warga setempat tidak sama dengan agama yang tercantum di KTP kita. Bisa mati kita. Caranya? Saya Muslim. Saat saya harus meliput di wilayah Kristen, saya ajak teman (bisa penduduk lokal atau sesama wartawan) yang beragama Kristen. Saya pun bisa leluasa menggali berita. Kalau di wilayah Muslim, ya saya jalan sendiri saja.
Tetapi kalau harus melintas lautan dari Bandara Raha ke Kudamati, misalnya, saya sewa saja tentara atau polisi yang bersenjata lengkap, plus sewa perahu motornya. Soalnya saat itu kerap terjadi penembakan di lautan. Intinya: jangan kehabisan akal. Kita dikirim kantor ke sana bukan untuk piknik melihat keindahan dan ketenangan Pantai Netseffa, tetapi untuk bekerja. Di wilayah liputan, kita bakal dibimbing insting kita sendiri sebagai wartawan!
Di bawah ini saya sertakan satu tulisan feature (tulisan khas) yang dimuat Harian Kompas, 5 Maret 2002 lalu. Tulisan sederhana berjudul “Kawasan Damai Tanpa Rekayasa”, benar-benar berdasarkan apa yang saya lihat dan rasakan.
Pasar Kaget Ambon
Kawasan Damai Tanpa Rekayasa
SIAPA bilang masyarakat Kristen dan Muslim di Ambon tidak pernah bisa berbaur lagi? Datanglah ke pasar kaget di sepanjang Jalan Pantai Mardika, persis di depan Hotel Ambon Manise (Amans). Di sana, masyarakat Muslim dan Kristen berbaur menjadi satu dalam kegiatan ekonomi di pasar yang sesungguhnya tanpa rekayasa.
Di pasar kaget itu warga masyarakat Muslim menjadi pedagang, sementara warga Kristen menjadi pembeli. Tidak ada tanda-tanda keraguan di kedua belah pihak. Transaksi dilakukan secara wajar, bahkan penuh canda. Tidak berbekas peristiwa Sabtu pekan lalu saat terjadinya kericuhan pada pawai massa.
Senin (4/3) pukul 04.30, pedagang Muslim sudah berdatangan untuk menggelar dagangannya. Trotoar dan badan jalan sepanjang Jalan Pantai Mardika dipenuhi sayuran, buah-buahan, dan bahan kebutuhan pokok lainnya. Pada pukul 05.00, dari lorong-lorong perkampungan muncul calon pembeli yang sebagian besar adalah warga Kristen. Oleh warga masyarakat, kawasan itu disebut Transaksi Zona Baku Bae yang memang dijaga aparat keamanan.
"Namun, tanpa kehadiran aparat pun, karena kami saling membutuhkan (maksudnya Kristen dan Muslim), kami akan berbaur terus tanpa ragu. Torang saling membutuhkan," kata Charles Boloman, pegawai TVRI yang beragama Kristen, yang dijumpai Kompas saat berbelanja di Zona Baku Bae.
Bagi August Mairuhu (34), kehadiran aparat keamanan membuat dirinya lebih tenang berbelanja di tempat itu. Katanya, "Tanpa aparat, mungkin beta ragu ke sini. Namun, beta akan tetap ke sini karena beta perlu kebutuhan hidup dari teman Muslim."
Selain untuk dikonsumsi sendiri, warga Kristen membeli berbagai kebutuhan di pasar kaget juga untuk didagangkan kembali di wilayah Kristen. Mairuhu misalnya, bersama istrinya, Iyos, membeli berbagai kebutuhan untuk dijual kembali di Batumeja yang merupakan kawasan Kristen. Jarak Batumeja dengan Zona Baku Bae kurang lebih dua kilometer dan ditempuh menggunakan becak. Dari transaksi dagangnya dengan rekannya yang Muslim, suami-istri Mairuhu bisa menangguk untung rata-rata Rp 50.000 perhari.
Lananu (23), pedagang Muslim, tengah memilah-milah bawang merah. Menurut dia, harga bawang merah sedang tinggi dan sebanding dengan bawang putih. "Kalau jahe beta terpaksa jual mahal, sebab didatangkan dari Kendari. Sekilo beta jual Rp 12.000, tidak bisa kurang," katanya. Seorang ibu dengan kalung salib emas ukuran besar datang dan membeli jahe. "Mahal sekali, tidak bisa kurangkah?" Lananu tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Sudah murah, nyarinya susah." Transaksi pun berjalan. Dengan cepat uang Rp 12.000 beralih untuk ditukar jahe dari Kendari.
Saling membutuhkan
Sebelum terjadinya konflik, warga Muslim umumnya memang pedagang, dengan pembeli beragam. Warga etnis Tionghoa juga pedagang, namun umumnya dalam partai besar atau menguasai ruko dan pertokoan.
Setelah meledaknya konflik, warga Muslim tetap menjalankan profesinya sebagai pedagang. Warga etnis Tionghoa banyak yang mengungsi keluar Ambon dan belum ada tanda-tanda kembali menempati rukonya. Sebagian besar ruko dan pertokoan yang pernah terbakar menjadi penampungan pengungsi atau markas tentara. Kerusuhan menjadikan warga Kristen "terpaksa" berdagang. Mereka kulakan di pasar kaget Zona Bakubae dan menjualnya di kawasan Kristen.
"Masyarakat Kristen dan Muslim memang saling membutuhkan. Tidak ada yang bisa mencegah mereka untuk berbaur. Jujur saja, saya lebih senang berbelanja di Zona Bakubae ini karena harganya jauh lebih murah. Anda tahu sayuran yang saya beli ini di kawasan beta yang Kristen, dijual dua kali lipat. Sebab penjual di sana membeli kebutuhan pokok dari sini juga. Tidak ada fanatisme suku atau fanatisme agama di sini, beta cari yang paling murah. Ini hukum ekonomi yang wajar saja," kata Charles Boloman.
Sisa keterbelahan
Geliat perdagangan rakyat sudah menunjukkan gairahnya di Ambon, khususnya pasca perjanjian Deklarasi Malino. Transaksi serupa, yakni Zona Bakubae terbatas, juga berlangsung di kawasan Rumah Sakit Tentara, meski yang dijual kebanyakan sandang berupa pakaian.
Namun di beberapa tempat seperti di Jalan Baabullah, perdagangan rakyat juga berlangsung, meski aktivitasnya dimulai setelah waktu Maghrib. Minggu (3/3) malam, misalnya, sekumpulan orang berdiri memenuhi Rumah Makan Padang Roda Baru. Waktu menunjuk pukul 21.10 WIT. Pandangan mereka terpusat pada sebuah pesawat televisi berwarna ukuran 21 inci yang dipajang hampir menyentuh atap. Mereka sedang menonton Berita Daerah yang disiarkan TVRI Ambon. Durasinya cukup singkat, dari 21.00 sampai 21.30. Namun 15 menit kemudian, kumpulan orang itu membubarkan diri. Selesaikah Berita Daerah? Bukankah masih tersisa 15 menit lagi?
Lima belas menit terakhir berita yang semula tentang aktivitas masyarakat Muslim memang diganti berita tentang kegiatan gereja. Rumah Makan Padang Roda Baru yang terletak di Jalan Baabullah atau samping masjid Al Fatah itu dipenuhi masyarakat Ambon yang beragama Islam. Maka ketika berita diganti oleh kegiatan gereja, mereka membubarkan diri.
"Beginilah Ambon. Kenyataan ini tidak bisa ditutup-tutupi. Anda akan melihat hal yang sama di wilayah Kristen. Mereka tidak akan menonton aktivitas rekannya yang beragama Islam yang ditayangkan televisi," kata R Tompo, pegawai TVRI yang pada malam itu turut nangkring di antara kerumunan orang.
Sejak konflik pertama pecah pada 19 Januari 1999, Ambon menjadi terbelah. Fasilitas umum, kantor pemerintahan, bank, sarana transportasi, menjadi terbagi dua bagian. Demikian pula siaran televisi yang ditayangkan TVRI Ambon. Ada jam tayang khusus untuk warga Obet (dari kata Robert/Kristen) dan ada jam tayang untuk warga Acan (Hasan/Islam).
Taksi
Kalau Anda mendarat di Bandara Pattimura Ambon, maka "keterbelahan" itu sudah membayang di depan mata. Taksi pun harus terbelah dua, untuk warga Muslim dan untuk warga Kristen. Padahal, tidak ada garis "demarkasi" yang memisahkan kedua jenis taksi yang sama-sama akan menuju pelabuhan Wayame itu.
"Jangan salah pilih taksi," kata seorang warga penjemput di bandara. Namun ada lagi yang bilang begini, "Sekarang sudah tak ada masalah, asal percaya diri saja." Kompas percaya pada yang terakhir. Dengan menumpang taksi untuk warga Obet, saya yang Muslim, bisa sampai ke pelabuhan Wayame untuk warga Acan. Harga disepakati Rp 50.000 untuk jarak 10 kilometer.
"Beta seng pilih-pilih penumpang. Beta cuma cari uang," kata sopir taksi bandara yang Kompas tumpangi.
Pelabuhan Wayame yang merupakan tempat bersandar speedboat, juga harus terbelah, meski keduanya hanya berbilang jarak sekitar 200 meter. Dari Wayame, warga Obet akan dibawa ke Gudang Arang, sementara warga Acan dibawa ke Belakang Kota. Jalan yang dulu menghubungkan Bandara Pattimura dengan kota Ambon, kini "terputus" oleh sejumlah garis demarkasi. Maklum ruas jalan yang mengikuti alur garis pantai itu dikenal daerah "belang", yakni selang-seling antara warga Muslim dan Kristen. Katakanlah Tawiri yang daerah Kristen dan Laha yang wilayah Islam.
Batas keduanya ditandai dengan "garis demarkasi" berupa penghalang jalan yang tidak memungkinkan kendaraan darat bisa lewat. Maka jalur laut lewat speedboat itulah yang menjadi satu-satunya pilihan. Pelabuhan besar untuk mendaratkan kapal besar pun harus terbelah. Pelabuhan Yos Sudarso untuk masyarakat Islam dan pelabuhan TNI AL di Halong dengan kapal Dobonsolo untuk warga Kristen.
Namun di pasar kaget Transaksi Zona Bakubae di Jalan Pantai Mardika, "keterbelahan" itu tidak nampak sama sekali. Masyarakat Muslim dan Kristen berbaur menjadi satu. Mereka dipersatukan oleh pasar karena alasan paling dasar, bahwa mereka saling membutuhkan. Bahwa pasar, wilayah yang mempersatukan mereka, benar-benar bebas dari sentimen suku atau agama.
Alangkah indahnya kalau zona-zona bakubae semacam ini terus diperluas dan diperlebar dengan inisiatif sendiri, tanpa rekayasa. (Pepih Nugraha)
PADA acara Reuni SMPN I Tasikmalaya angkatan 1981 tanggal 24 Juni lalu di Hotel Crown Tasikmalaya, seorang teman bertanya, “Kamu kok jadi pemberani, perang agama di Ambon dan Poso saja kamu liput?”
Saya tahu arah Yono, teman saya itu, dia ingin mengatakan bahwa semasa di SMP dulu saya lelaki penakut, bahkan cenderung lembek, setidak-tidaknya dalam atletik dan sepak bola. Saya menjawab kawan lama saya itu sekenanya, “Mungkin karena keadaan sajalah yang memaksa saya harus nekat.”
Sebenarnya tidak persis begitu. Apa yang saya lakukan di lapangan, di wilayah konflik, tentu dengan perhitungan matang. Tidak mentang-mentang dan sok jagoan. Ingat, nyawa Cuma satu dan saya perlu membesarkan anak! Saya tidak mau anak saya menjadi yatim hanya karena kecerobohan saya. Lagipula, mati di lapangan saat meliput hanya dikenang orang paling lama satu minggu, setelah itu dilupakan begitu saja.
Saya anggap medan Ambon dan Poso paling berat, dibanding waktu saya ke Bosnia, Kroasia, dan Serbia yang malah dikawal mobil PBB segala. Di Ambon dan Poso kita harus jalan sendiri kalau mau mendapat berita atau tulisan yang menarik. Di sana, mengandalkan percaya diri saja tidak cukup. Perlu trik jangan sampai kita mati konyol gara-gara KTP, misalnya, yang mencantumkan agama seseorang di selembar kertas itu.
Kuncinya adalah pertemanan dan mengandalkan jaringan! Jadi saat konflik masih membara, jangan coba-coba jalan ke wilayah dimana agama warga setempat tidak sama dengan agama yang tercantum di KTP kita. Bisa mati kita. Caranya? Saya Muslim. Saat saya harus meliput di wilayah Kristen, saya ajak teman (bisa penduduk lokal atau sesama wartawan) yang beragama Kristen. Saya pun bisa leluasa menggali berita. Kalau di wilayah Muslim, ya saya jalan sendiri saja.
Tetapi kalau harus melintas lautan dari Bandara Raha ke Kudamati, misalnya, saya sewa saja tentara atau polisi yang bersenjata lengkap, plus sewa perahu motornya. Soalnya saat itu kerap terjadi penembakan di lautan. Intinya: jangan kehabisan akal. Kita dikirim kantor ke sana bukan untuk piknik melihat keindahan dan ketenangan Pantai Netseffa, tetapi untuk bekerja. Di wilayah liputan, kita bakal dibimbing insting kita sendiri sebagai wartawan!
Di bawah ini saya sertakan satu tulisan feature (tulisan khas) yang dimuat Harian Kompas, 5 Maret 2002 lalu. Tulisan sederhana berjudul “Kawasan Damai Tanpa Rekayasa”, benar-benar berdasarkan apa yang saya lihat dan rasakan.
Pasar Kaget Ambon
Kawasan Damai Tanpa Rekayasa
SIAPA bilang masyarakat Kristen dan Muslim di Ambon tidak pernah bisa berbaur lagi? Datanglah ke pasar kaget di sepanjang Jalan Pantai Mardika, persis di depan Hotel Ambon Manise (Amans). Di sana, masyarakat Muslim dan Kristen berbaur menjadi satu dalam kegiatan ekonomi di pasar yang sesungguhnya tanpa rekayasa.
Di pasar kaget itu warga masyarakat Muslim menjadi pedagang, sementara warga Kristen menjadi pembeli. Tidak ada tanda-tanda keraguan di kedua belah pihak. Transaksi dilakukan secara wajar, bahkan penuh canda. Tidak berbekas peristiwa Sabtu pekan lalu saat terjadinya kericuhan pada pawai massa.
Senin (4/3) pukul 04.30, pedagang Muslim sudah berdatangan untuk menggelar dagangannya. Trotoar dan badan jalan sepanjang Jalan Pantai Mardika dipenuhi sayuran, buah-buahan, dan bahan kebutuhan pokok lainnya. Pada pukul 05.00, dari lorong-lorong perkampungan muncul calon pembeli yang sebagian besar adalah warga Kristen. Oleh warga masyarakat, kawasan itu disebut Transaksi Zona Baku Bae yang memang dijaga aparat keamanan.
"Namun, tanpa kehadiran aparat pun, karena kami saling membutuhkan (maksudnya Kristen dan Muslim), kami akan berbaur terus tanpa ragu. Torang saling membutuhkan," kata Charles Boloman, pegawai TVRI yang beragama Kristen, yang dijumpai Kompas saat berbelanja di Zona Baku Bae.
Bagi August Mairuhu (34), kehadiran aparat keamanan membuat dirinya lebih tenang berbelanja di tempat itu. Katanya, "Tanpa aparat, mungkin beta ragu ke sini. Namun, beta akan tetap ke sini karena beta perlu kebutuhan hidup dari teman Muslim."
Selain untuk dikonsumsi sendiri, warga Kristen membeli berbagai kebutuhan di pasar kaget juga untuk didagangkan kembali di wilayah Kristen. Mairuhu misalnya, bersama istrinya, Iyos, membeli berbagai kebutuhan untuk dijual kembali di Batumeja yang merupakan kawasan Kristen. Jarak Batumeja dengan Zona Baku Bae kurang lebih dua kilometer dan ditempuh menggunakan becak. Dari transaksi dagangnya dengan rekannya yang Muslim, suami-istri Mairuhu bisa menangguk untung rata-rata Rp 50.000 perhari.
Lananu (23), pedagang Muslim, tengah memilah-milah bawang merah. Menurut dia, harga bawang merah sedang tinggi dan sebanding dengan bawang putih. "Kalau jahe beta terpaksa jual mahal, sebab didatangkan dari Kendari. Sekilo beta jual Rp 12.000, tidak bisa kurang," katanya. Seorang ibu dengan kalung salib emas ukuran besar datang dan membeli jahe. "Mahal sekali, tidak bisa kurangkah?" Lananu tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Sudah murah, nyarinya susah." Transaksi pun berjalan. Dengan cepat uang Rp 12.000 beralih untuk ditukar jahe dari Kendari.
Saling membutuhkan
Sebelum terjadinya konflik, warga Muslim umumnya memang pedagang, dengan pembeli beragam. Warga etnis Tionghoa juga pedagang, namun umumnya dalam partai besar atau menguasai ruko dan pertokoan.
Setelah meledaknya konflik, warga Muslim tetap menjalankan profesinya sebagai pedagang. Warga etnis Tionghoa banyak yang mengungsi keluar Ambon dan belum ada tanda-tanda kembali menempati rukonya. Sebagian besar ruko dan pertokoan yang pernah terbakar menjadi penampungan pengungsi atau markas tentara. Kerusuhan menjadikan warga Kristen "terpaksa" berdagang. Mereka kulakan di pasar kaget Zona Bakubae dan menjualnya di kawasan Kristen.
"Masyarakat Kristen dan Muslim memang saling membutuhkan. Tidak ada yang bisa mencegah mereka untuk berbaur. Jujur saja, saya lebih senang berbelanja di Zona Bakubae ini karena harganya jauh lebih murah. Anda tahu sayuran yang saya beli ini di kawasan beta yang Kristen, dijual dua kali lipat. Sebab penjual di sana membeli kebutuhan pokok dari sini juga. Tidak ada fanatisme suku atau fanatisme agama di sini, beta cari yang paling murah. Ini hukum ekonomi yang wajar saja," kata Charles Boloman.
Sisa keterbelahan
Geliat perdagangan rakyat sudah menunjukkan gairahnya di Ambon, khususnya pasca perjanjian Deklarasi Malino. Transaksi serupa, yakni Zona Bakubae terbatas, juga berlangsung di kawasan Rumah Sakit Tentara, meski yang dijual kebanyakan sandang berupa pakaian.
Namun di beberapa tempat seperti di Jalan Baabullah, perdagangan rakyat juga berlangsung, meski aktivitasnya dimulai setelah waktu Maghrib. Minggu (3/3) malam, misalnya, sekumpulan orang berdiri memenuhi Rumah Makan Padang Roda Baru. Waktu menunjuk pukul 21.10 WIT. Pandangan mereka terpusat pada sebuah pesawat televisi berwarna ukuran 21 inci yang dipajang hampir menyentuh atap. Mereka sedang menonton Berita Daerah yang disiarkan TVRI Ambon. Durasinya cukup singkat, dari 21.00 sampai 21.30. Namun 15 menit kemudian, kumpulan orang itu membubarkan diri. Selesaikah Berita Daerah? Bukankah masih tersisa 15 menit lagi?
Lima belas menit terakhir berita yang semula tentang aktivitas masyarakat Muslim memang diganti berita tentang kegiatan gereja. Rumah Makan Padang Roda Baru yang terletak di Jalan Baabullah atau samping masjid Al Fatah itu dipenuhi masyarakat Ambon yang beragama Islam. Maka ketika berita diganti oleh kegiatan gereja, mereka membubarkan diri.
"Beginilah Ambon. Kenyataan ini tidak bisa ditutup-tutupi. Anda akan melihat hal yang sama di wilayah Kristen. Mereka tidak akan menonton aktivitas rekannya yang beragama Islam yang ditayangkan televisi," kata R Tompo, pegawai TVRI yang pada malam itu turut nangkring di antara kerumunan orang.
Sejak konflik pertama pecah pada 19 Januari 1999, Ambon menjadi terbelah. Fasilitas umum, kantor pemerintahan, bank, sarana transportasi, menjadi terbagi dua bagian. Demikian pula siaran televisi yang ditayangkan TVRI Ambon. Ada jam tayang khusus untuk warga Obet (dari kata Robert/Kristen) dan ada jam tayang untuk warga Acan (Hasan/Islam).
Taksi
Kalau Anda mendarat di Bandara Pattimura Ambon, maka "keterbelahan" itu sudah membayang di depan mata. Taksi pun harus terbelah dua, untuk warga Muslim dan untuk warga Kristen. Padahal, tidak ada garis "demarkasi" yang memisahkan kedua jenis taksi yang sama-sama akan menuju pelabuhan Wayame itu.
"Jangan salah pilih taksi," kata seorang warga penjemput di bandara. Namun ada lagi yang bilang begini, "Sekarang sudah tak ada masalah, asal percaya diri saja." Kompas percaya pada yang terakhir. Dengan menumpang taksi untuk warga Obet, saya yang Muslim, bisa sampai ke pelabuhan Wayame untuk warga Acan. Harga disepakati Rp 50.000 untuk jarak 10 kilometer.
"Beta seng pilih-pilih penumpang. Beta cuma cari uang," kata sopir taksi bandara yang Kompas tumpangi.
Pelabuhan Wayame yang merupakan tempat bersandar speedboat, juga harus terbelah, meski keduanya hanya berbilang jarak sekitar 200 meter. Dari Wayame, warga Obet akan dibawa ke Gudang Arang, sementara warga Acan dibawa ke Belakang Kota. Jalan yang dulu menghubungkan Bandara Pattimura dengan kota Ambon, kini "terputus" oleh sejumlah garis demarkasi. Maklum ruas jalan yang mengikuti alur garis pantai itu dikenal daerah "belang", yakni selang-seling antara warga Muslim dan Kristen. Katakanlah Tawiri yang daerah Kristen dan Laha yang wilayah Islam.
Batas keduanya ditandai dengan "garis demarkasi" berupa penghalang jalan yang tidak memungkinkan kendaraan darat bisa lewat. Maka jalur laut lewat speedboat itulah yang menjadi satu-satunya pilihan. Pelabuhan besar untuk mendaratkan kapal besar pun harus terbelah. Pelabuhan Yos Sudarso untuk masyarakat Islam dan pelabuhan TNI AL di Halong dengan kapal Dobonsolo untuk warga Kristen.
Namun di pasar kaget Transaksi Zona Bakubae di Jalan Pantai Mardika, "keterbelahan" itu tidak nampak sama sekali. Masyarakat Muslim dan Kristen berbaur menjadi satu. Mereka dipersatukan oleh pasar karena alasan paling dasar, bahwa mereka saling membutuhkan. Bahwa pasar, wilayah yang mempersatukan mereka, benar-benar bebas dari sentimen suku atau agama.
Alangkah indahnya kalau zona-zona bakubae semacam ini terus diperluas dan diperlebar dengan inisiatif sendiri, tanpa rekayasa. (Pepih Nugraha)
No comments:
Post a Comment