Jubing Kristianto
AWAL Juni lalu saya bersama Kakang, penerang cahaya hidup ini, jalan-jalan sore di Disc Tara Plaza Bintaro. Hanya sekadar window shopping, tetapi anak saya itu menunjukkan sebuah keping cakram digital (CD). "Ayah, ini CD gitar klasik," katanya menunjukkan sampul coklat kehijauan.
Semula saya tidak tertarik. Bukan apa-apa, sebelumnya saya sudah mengoleksi Roger Wang, Andres Segovia, John William dan Julian Bream, Alex Fox, Trisum, Balawan, bahkan Paco de Lucia. Gitaris siapa lagi? Pikir saya. Tak urung saya raih juga temuan Kakang itu. Saya tidak tahu siapa gitaris yang dimaksud, sebab tidak tertera pada sampul utamanya. Tetapi saya mengenali wajah dalam foto album itu. Jubing!
Album CD bertajuk "Becak Fantasy" itu ternyata milik Jubing Kristianto. Waktu saya bertugas di Pusat Informasi Kompas tahun 1992-an, Jubing beberapa kali menemui saya meminta informasi untuk bahan-bahan liputannya. Tidak lama kemudian, saya dengar dia telah menjadi seorang gitaris yang menikah dengan Reny Yaniar, teman seangkatan saya di Fikom Unpad. Kini Reny dikenal sebagai penulis cerita anak-anak.
Dulu, Reny sering bertanya bagaimana saya bisa menulis cerita anak-anak di Majalah Bobo dan majalah anak-anak lainnya. Hanya karena ketekunannya, Reny menjadi penulis cerita anak-anak ternama negeri ini, yang bukunya sudah mencapai 50. Sedang saya, satu bukupun belum karena beralih haluan menjadi wartawan!
Bukan karena Jubing saya kenal sebelumnya, juga bukan karena dia suami dari teman saya, yang menggerakkan saya untuk menulis. Telah banyak pula orang menulis tentang dia sebagai gitaris. Tidak kurang dari senior saya di Kompas, Ninok Leksono dan Arbain Rambey. Apa lagi yang mau saya tulis tentang Jubing? Dalam hati, saya harus menemuinya!
Singkat cerita, saya sudah menjumpainya di suatu tempat. Saya sudah baca latar belakangnya. Saya berjanji tidak akan menulis cerita yang sama, kalau bisa. Saya ingat, Mas Ninok menulis dari sisi atraksi Jubing di atas panggung saat konser. Arbain menulis dari sisi Jubing memberi partitur atau komposisi gratis yang dibuatnya dari situs pribadinya. Saya?
Setelah wawancara berlangsung, barulah saya tahu bahwa dia sudah keluar dari tabloid Nova, padahal jabatannya sudah tinggi, yaitu redaktur pelaksana. Ketika saya tanya alasannya keluar, Jubing mantap menjawab, "Biar lebih konsentrasi main gitar!" Luar biasa! Poin inilah yang saya tangkap untuk kemudian saya jadikan lukisan dari sebuah tulisan. Dengan "kuasa" saya sebaga jurnalis, saya juga mampu "memaksa" Jubing memainkan dua komposisinya khusus untuk saya, Hai Becak dan Burung Kakaktua.
Berikut ini tulisan saya mengenai Jubing yang dimuat Harian Kompas edisi Sabtu, 30 Juni 2007. Juga bisa diakses di http://www.kompas.com/kompas-cetak/0706/30/Sosok/3621875.htm:
Jubing, "Menyulap" Gitar Tunggal Jadi Orkestra
PEPIH NUGRAHA
Bintang Soedibjo yang lebih dikenal sebagai Ibu Sud, pencipta lagu anak-anak, tentu tidak mengira kalau lagu Hai Becak ciptaannya bisa menjadi satu komposisi musik orkestra. Jubing Kristanto menyulap lagu sederhana dan akrab di telinga anak-anak sampai orang dewasa itu menjadi sebuah orkestra hanya dengan satu alat musik: gitar!
Jubing dan gitar benar-benar menyatu, ibarat dua sisi dalam satu keping uang. Saat kami menunggu Jubing untuk wawancara di Wisma Relasi, Jalan Panjang, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, pekan lalu, dia datang dengan menenteng gitar yang dibungkus dalam sebuah koper. Gitar tidak monoton. Di tangan Jubing, alat musik bersenar itu bisa menghasilkan "seribu satu" suara, mulai perkusi sampai gamelan dan tetabuhan rebana.
Mengapa lagu anak-anak Hai Becak yang kemudian menjadi judul album Becak Fantasy dalam bentuk compact disc (CD), dan baru beredar itu menjadi perbincangan? Pada lagu itulah terdapat sejumlah teknik permainan gitar yang tidak biasa dijumpai dalam komposisi gitar klasik pada umumnya. Tidak salah kalau dia menjuluki gitar sebagai one man band instrument.
Nada tanpa kata-kata yang dihasilkan pun penuh filosofi. Simak, misalnya, efek gamelan Jawa yang biasa disebut kepyak bergemerincing sebelum lagu itu tiba-tiba nyelonong ke nada minor, nada melankolis syarat kesedihan yang bukan "khitah" dari lagu Hai Becak yang dominan mayor.
Nada minor itu lalu masuk ke irama padang pasir, nada gambus yang meliuk-liuk dan terseret-seret pun terdengar. Pindah lagi ke suara mandolin, dan tidak lama kemudian secara mengejutkan Jubing menyisipkan irama dangdut dengan teknik kontrapung, saling bersahutan antara bas, melodi, sekaligus akor.
"Saya sengaja menyelipkan nada minor sebab saya merasa hidup tukang becak kadang-kadang melankolis. Tetapi, pada akhir lagu saya hidupkan lagi kepedihan itu menjadi suasana riang gembira, kembali ke nada mayor untuk membangkitkan lagi semangat hidup. Sedih tidak boleh berlarut-larut," papar Jubing setelah menunjukkan kebolehannya memainkan Hai Becak, komposisi yang ditulisnya selama tiga bulan pada tahun 1986.
Dari tangannya, lagu-lagu Tanah Air seperti Ayam den Lapeh dan Beungong Jeumpa, juga lagu anak-anak seperti Hai Becak tadi, Naik Delman, Burung Kakatua, dan Hujan, menjadi sebuah komposisi musik yang indah. Komposisi itu tidak hanya dimainkan Jubing sendiri, tetapi gitaris seluruh dunia juga bisa mengunduh (download) notasi musik gratis tersebut dari situs miliknya.
AWAL Juni lalu saya bersama Kakang, penerang cahaya hidup ini, jalan-jalan sore di Disc Tara Plaza Bintaro. Hanya sekadar window shopping, tetapi anak saya itu menunjukkan sebuah keping cakram digital (CD). "Ayah, ini CD gitar klasik," katanya menunjukkan sampul coklat kehijauan.
Semula saya tidak tertarik. Bukan apa-apa, sebelumnya saya sudah mengoleksi Roger Wang, Andres Segovia, John William dan Julian Bream, Alex Fox, Trisum, Balawan, bahkan Paco de Lucia. Gitaris siapa lagi? Pikir saya. Tak urung saya raih juga temuan Kakang itu. Saya tidak tahu siapa gitaris yang dimaksud, sebab tidak tertera pada sampul utamanya. Tetapi saya mengenali wajah dalam foto album itu. Jubing!
Album CD bertajuk "Becak Fantasy" itu ternyata milik Jubing Kristianto. Waktu saya bertugas di Pusat Informasi Kompas tahun 1992-an, Jubing beberapa kali menemui saya meminta informasi untuk bahan-bahan liputannya. Tidak lama kemudian, saya dengar dia telah menjadi seorang gitaris yang menikah dengan Reny Yaniar, teman seangkatan saya di Fikom Unpad. Kini Reny dikenal sebagai penulis cerita anak-anak.
Dulu, Reny sering bertanya bagaimana saya bisa menulis cerita anak-anak di Majalah Bobo dan majalah anak-anak lainnya. Hanya karena ketekunannya, Reny menjadi penulis cerita anak-anak ternama negeri ini, yang bukunya sudah mencapai 50. Sedang saya, satu bukupun belum karena beralih haluan menjadi wartawan!
Bukan karena Jubing saya kenal sebelumnya, juga bukan karena dia suami dari teman saya, yang menggerakkan saya untuk menulis. Telah banyak pula orang menulis tentang dia sebagai gitaris. Tidak kurang dari senior saya di Kompas, Ninok Leksono dan Arbain Rambey. Apa lagi yang mau saya tulis tentang Jubing? Dalam hati, saya harus menemuinya!
Singkat cerita, saya sudah menjumpainya di suatu tempat. Saya sudah baca latar belakangnya. Saya berjanji tidak akan menulis cerita yang sama, kalau bisa. Saya ingat, Mas Ninok menulis dari sisi atraksi Jubing di atas panggung saat konser. Arbain menulis dari sisi Jubing memberi partitur atau komposisi gratis yang dibuatnya dari situs pribadinya. Saya?
Setelah wawancara berlangsung, barulah saya tahu bahwa dia sudah keluar dari tabloid Nova, padahal jabatannya sudah tinggi, yaitu redaktur pelaksana. Ketika saya tanya alasannya keluar, Jubing mantap menjawab, "Biar lebih konsentrasi main gitar!" Luar biasa! Poin inilah yang saya tangkap untuk kemudian saya jadikan lukisan dari sebuah tulisan. Dengan "kuasa" saya sebaga jurnalis, saya juga mampu "memaksa" Jubing memainkan dua komposisinya khusus untuk saya, Hai Becak dan Burung Kakaktua.
Berikut ini tulisan saya mengenai Jubing yang dimuat Harian Kompas edisi Sabtu, 30 Juni 2007. Juga bisa diakses di http://www.kompas.com/kompas-cetak/0706/30/Sosok/3621875.htm:
Jubing, "Menyulap" Gitar Tunggal Jadi Orkestra
PEPIH NUGRAHA
Bintang Soedibjo yang lebih dikenal sebagai Ibu Sud, pencipta lagu anak-anak, tentu tidak mengira kalau lagu Hai Becak ciptaannya bisa menjadi satu komposisi musik orkestra. Jubing Kristanto menyulap lagu sederhana dan akrab di telinga anak-anak sampai orang dewasa itu menjadi sebuah orkestra hanya dengan satu alat musik: gitar!
Jubing dan gitar benar-benar menyatu, ibarat dua sisi dalam satu keping uang. Saat kami menunggu Jubing untuk wawancara di Wisma Relasi, Jalan Panjang, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, pekan lalu, dia datang dengan menenteng gitar yang dibungkus dalam sebuah koper. Gitar tidak monoton. Di tangan Jubing, alat musik bersenar itu bisa menghasilkan "seribu satu" suara, mulai perkusi sampai gamelan dan tetabuhan rebana.
Mengapa lagu anak-anak Hai Becak yang kemudian menjadi judul album Becak Fantasy dalam bentuk compact disc (CD), dan baru beredar itu menjadi perbincangan? Pada lagu itulah terdapat sejumlah teknik permainan gitar yang tidak biasa dijumpai dalam komposisi gitar klasik pada umumnya. Tidak salah kalau dia menjuluki gitar sebagai one man band instrument.
Nada tanpa kata-kata yang dihasilkan pun penuh filosofi. Simak, misalnya, efek gamelan Jawa yang biasa disebut kepyak bergemerincing sebelum lagu itu tiba-tiba nyelonong ke nada minor, nada melankolis syarat kesedihan yang bukan "khitah" dari lagu Hai Becak yang dominan mayor.
Nada minor itu lalu masuk ke irama padang pasir, nada gambus yang meliuk-liuk dan terseret-seret pun terdengar. Pindah lagi ke suara mandolin, dan tidak lama kemudian secara mengejutkan Jubing menyisipkan irama dangdut dengan teknik kontrapung, saling bersahutan antara bas, melodi, sekaligus akor.
"Saya sengaja menyelipkan nada minor sebab saya merasa hidup tukang becak kadang-kadang melankolis. Tetapi, pada akhir lagu saya hidupkan lagi kepedihan itu menjadi suasana riang gembira, kembali ke nada mayor untuk membangkitkan lagi semangat hidup. Sedih tidak boleh berlarut-larut," papar Jubing setelah menunjukkan kebolehannya memainkan Hai Becak, komposisi yang ditulisnya selama tiga bulan pada tahun 1986.
Dari tangannya, lagu-lagu Tanah Air seperti Ayam den Lapeh dan Beungong Jeumpa, juga lagu anak-anak seperti Hai Becak tadi, Naik Delman, Burung Kakatua, dan Hujan, menjadi sebuah komposisi musik yang indah. Komposisi itu tidak hanya dimainkan Jubing sendiri, tetapi gitaris seluruh dunia juga bisa mengunduh (download) notasi musik gratis tersebut dari situs miliknya.
Misi menghibur
Beralih profesi dari jurnalis ke gitaris, itu pilihan hidup yang biasa. Tetapi, ketika puncak prestasi jurnalis tengah berada di genggaman lalu dilepas "hanya" untuk bermain gitar dengan penghasilan tidak menentu, Jubinglah yang melakukan.
Ia ingin mengisi hidupnya hanya dengan bermain gitar. Terungkaplah bahwa selama ini apa yang dijalaninya hanya ingin memuaskan keinginan orangtua. Mereka ingin anak pertama dari enam bersaudara ini hidup "normal" seperti anak-anak pada umumnya. Belajar dari sekolah dasar sampai kuliah, lalu bekerja mencari nafkah. "Padahal, sejak SD saya maunya main gitar terus," ceritanya.
Saat kuliah pada jurusan Kriminologi FISIP Universitas Indonesia pun, Jubing sekadar ikut arus orang banyak. Pun saat dia diterima bekerja di sebuah tabloid wanita tahun 1990, dua tahun sebelum ia lulus kuliah.
Saking kuatnya hasrat bermain gitar, Jubing sampai berucap, "Kalau boleh saya tidak sekolah, saya lebih memilih tidak sekolah dan hanya bermain gitar."
Tekad yang berbumbu nekat itu tiba pada 2003. Setelah 13 tahun bekerja sebagai jurnalis sampai berpuncak menjadi redaktur pelaksana sebuah tabloid wanita, dia mengajukan diri berhenti. Sebagai pengajar gitar saat itu, gajinya Rp 500.000, jauh lebih kecil dibanding penghasilannya sebagai redaktur pelaksana yang berbilang jutaan rupiah.
"Saat menjadi redaktur, saya stres dan pikiran menjadi berat. Kalau begini terus, saya bisa sakit. Lalu saya kembali kepada gitar, sebab saya yakin dengan kemampuan sendiri," kata suami Renny Yaniar, penulis cerita anak-anak ini.
Jubing mengenal gitar sejak usia sekolah dasar. Ayahnya, Wibowo, dan ibunya, Swanny, keduanya penyuka musik dan mengajari anak-anaknya bermusik. Pada usia 12 tahun, ia sudah tampil mengiringi teman-teman sekolahnya dengan gitar.
Tentang pilihannya mengaransemen lagu anak-anak, Jubing yang kini pengajar gitar itu berujar, "Saya sering melihat penonton musik klasik berwajah serius tanpa senyum. Saat saya mainkan lagu anak-anak di panggung, penonton langsung gembira dan bertepuk tangan, sebab mereka sudah mengenal lagu itu. Inilah tujuan saya bermain gitar, agar orang lain senang dan bisa ikut menikmati."
Dengan dana Rp 8 juta, awal tahun 2006 Jubing menyelesaikan master (rekaman induk) berisi 12 komposisi ciptaannya. Ia coba tawarkan kepada dua produser untuk diperbanyak. Hasilnya? "Keduanya memuji, tetapi keduanya menolak dengan alasan terlalu segmented," ucapnya.
Beruntung, seorang rekannya di Semarang mau memperbanyak master itu dalam bentuk CD. Tidak banyak, hanya 1.000 keping. Jubing dijanjikan baru bisa mendapat royalti jika penjualan cakram digitalnya sudah di atas 3.000 keping. Tetapi, dengan lahirnya CD ini pun ia mengaku senang, sebab inilah cita-citanya sejak dia mengenal gitar.
Setidaknya kini Jubing bisa menghibur orang tanpa harus tampil di panggung. Orang cukup mendengarkan orkestra gitar tunggalnya yang ramai. Kadang sulit dipercaya orkestra itu dia mainkan sendirian.
2 comments:
memang om jubing top abiss dehh.. bagi yang mau menyaksikan kehebatannya langsung, dateng aja hari minggu tgl 23 september 2007 di SBD - Puri indah, Jakarta jam 13.30 - 17.00 WIB. Disana om jubing akan mengunjukan kebolehannya bermain gitar klasik serta berbagi pengalaman hidupnya bagaimana dia membanting stir dari bidang jurnalis menjadi seorang gitaris.
info lebih lanjut/tiketing hub: +628170976482
om saya terkesima dengan om.
krna bisa ngarangsemen lagu segitu bagus.
lagi pula becak fantasi adlah bhan kompetensi saya di skola musik(smk n 11 medan)doakan ya om supaya lulus...
Post a Comment