Monday, January 01, 2007

Otobiografi Virtual: Menulis Itu Asyik (9)

Cari Rumah Tumpangan



SATU rintangan lagi yang harus saya selesaikan: cari rumah kontrakan. Untuk yang satu ini, saya tidak bisa berbuat banyak. Terpaksa saya meminta pertolongan ayah. Soalnya, rentang waktu dari diwisuda 21 April sampai harus bekerja mulai 1 Mei 1990 terlalu pendek untuk mencari rumah kontrakan.

“Mencari kontrakan di Jakarta dengan waktu secepat itu agak sulit, lagi pula kita tidak punya kenalan di sana,” kata ayah saat saya menceritakan kesulitan bagaimana saya harus tinggal di Jakarta.

Memang terlintas untuk langsung saja ke kawasan kumuh Tambora, Jakarta Barat, dimana di sana masih ada rumah petak kakek saya, Maknun Iskandar (kini sudah meninggal), yang disewakan kepada keluarga keturunan Cina. Rumah petak yang luasnya kurang lebih 20 meter persegi. Tetapi karena letaknya di salah satu perkampungan padat Jakarta, harganya konon bisa tinggi. Tetapi itu tidak berarti apa-apa bagi saya.

Di Tambora juga ada tiga paman saya, yakni adik ibu saya. Tetapi saya bayangkan, saya tidak akan nyaman tinggal di kawasan itu. Pasti tidak mendukung suasana kerja saya nanti. Maka, kemungkinan ini saya abaikan.

Ayah juga mengajukan usul untuk tinggal sementara di Jatinegara, dimana saya punya saudara yang masih terbilang kakek karena dia adik nenek saya dari pihak ayah. Namanya Aki Manta. Tetapi saya pernah tahu rumahnya dan anaknya pun banyak. Lagi pula, jarak Jatinegara-Palmerah terlalu jauh dalam bayangan saya. Kemungkinan inipun saya kesampingkan.

Memang di luar pemahaman dan perhitungan saya kalau mencari tempat tinggal di Jakarta justru sulitnya bukan main, padahal pekerjaan sudah didapat. Mestinya saya belajar betapa sulitnya mencari tempat tinggal meski untuk sekadar tes sekalipun. Sangat tidak mungkin pulang-pergi Bandung-Jakarta-Bandung setiap hari, yakni bila saya tetap tinggal kos di “kandang japati” di Haur Mekar yang sewanya diteruskan adik saya, Dadang.

Selain waktu tempuh bisa mencapai lima jam lebih (sebelum ada Tol Cipularang) dan travel belum memassa, ongkos yang harus dikeluarkan pun tidak akan sebanding dengan gaji yang bakal diterima sebulannya. Lagi pula, alangkah menjadi ringkihnya tubuh ini bila Bandung-Jakarta-Bandung dilakoni setiap hari!

Pokoknya tidak mungkinlah kemungkinan itu diambil.

Lagi-lagi saya tidak punya pendapat. Saat itulah ayah, pelindung keluarga, tetap mengajukan sejumlah keluarganya yang masih ia ingat dan masih tinggal di Jakarta. “Rasanya ada saudara yang tinggal di Jalan MH Thamrin,” kata ayah saat ia tahu saya mati kata dan lumpuh pikiran.

Jalan MH Thamrin? Saya bayangkan di sana berdiri gedung-gedung mewah seperti Plaza Indonesia, hotel, dan pertokoan Sarinah. Rasanya tidak mungkin. Tetapi karena saya sudah mati akal, saya serahkan sepenuhnya kepada keputusan ayah. Saya tahu, ayah tidak asal omong. Dia memberi solusi dengan segera pergi ke suatu tempat mengendarai motor vespa keluaran 1976 miliknya.

“Kemana, Pak?” tanya saya.

Dia menjawab kemana tujuannya, yakni ke rumah salah satu saudara yang kemungkinan memiliki alamat saudara yang tinggal di Jalan MH Thamrin itu. “Siapa tahu dia punya alamat saudara kita yang di Jalan MH Thamrin,” katanya. Saudara kita? Ah, tak tahulah. Yang jelas, posisi saya saat itu ikut saja. Tidak ada argumen apapun.

Minggu, 29 April 1990, berbekal satu tas pakaian, saya berangkat ke Jakarta diantar ayah untuk yang kedua kalinya. Terpaksa, selain alamatnya tidak jelas dan saya belum tahu seluk beluk Jakarta, kami berangkat berrdua. Ternyata alamat yang dicari tidak persis Jalan MH Thamrin, tetapi agak menjorok ke dalam, tepatnya di Jalan Kotabumi Ujung No. 10. Di sana saya diterima oleh penghuni, yang ternyata anak dari saudara ayah saya itu.

Rupanya keluarga dengan dua anak plus satu pembantu ini juga sudah diberi tahu saudara ayah saya itu, sehingga saya langsung ditempatkan di loteng berlantaikan kayu. Di loteng itu ada dua kamar yang saling bersebalahan. Satu loteng untuk saya sudah dipersiapkan lengkap dengan kasur di atas dipan kayu dan lemari baju kecil. Sementara satu kamar lagi dijadikan gudang. Barang-barang yang sudah tidak terpakai berjejalan di sana. Hem, saya akan tidur di samping gudang!

Tidak apalah, yang penting saya bisa “numpang” hidup barang beberapa lama sampai kenal benar kota Jakarta. Ayah pulang pada keesokan harinya, dan yang mengharukan, ayah menyisipkan saya uang bekal makan selama satu bulan! Sementara hari Senin itu Jalan MH Thamrin sudah penuh sesak oleh kendaraan karena memang sudah hari kerja. Sedangkan saya baru masuk persis tanggal 1 Mei 1990 esok hari, bertepatan hari Selasa.

“Kamu harus bisa menjaga diri di Jakarta. Ayah berdoa untukmu, Nak. Jangan lupa sholat,” itu pesan ayah sebelum dia menaiki bus kota yang menuju terminal Cililitan. Saya hanya bisa menahan nafas haru. Ada rasa berat yang menekan dada, akan tetapi kuenyahkan segera setelah membayangkan bahwa di kota ini saya harus berjuang mulai dari nol. Dari ketiadaan, dari ketidakpunyaan, dan hanya berbekal percaya diri saja.

Memang setelah saya diwisuda 21 April sebelumnya, praktis hanya diberi waktu satu minggu saja untuk menyiapkan mental saya tinggal di Jakarta, yang bagi saya saat itu belum terpikir sampai kapan. Itu artinya, saya harus meninggalkan kedua orangtua saya, adik saya Tania dan Dadang, juga Ayi (sepupu) yang sudah sejak kecil diasuh ibu. Juga harus meninggalkan kolam tempat saya memancing ikan.

Hem, segala peristiwa suka dan duka di desa ini akan menjadi kenangan tak terlupakan saat saya berada di Jakarta, kota perjuangan yang sudah menanti. Sejujurnya, ada tekad yang membara untuk berhasil tatkala selintas teringat kenangan menyakitkan dari seseorang, yang mungkin tak akan pernah saya ceritakan di sini…

Jakarta, saya datang!

Kiat:
- Tidak ada salahnya melihat-lihat peluang kerja meski kita sedang dalam proses penyusunan skripsi.
- Setelah mendapat pekerjaan saat kuliah belum selesai, upayakan negosiasi dengan perusahaan agar diberi
kesempatan menyelesaikan tugas akhir sampai mendapat ijazah.
- Jangan abaikan ijazah meski kita sudah mendapat uang dari pekerjaan. Sebab, selembar kertas ijazah ini akan
sangat berguna kelak bila kita pindah pekerjaan atau bermaksud meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
- Jangan ragu mengambil keputusan tinggal dimanapun jika kita memiliki kecakapan khusus.


Pepih Nugraha
Jakarta, 1 Januari 2007

No comments: