Wednesday, November 19, 2008

En Passant

Kembali Teringat Ibu....

SAAT menulis catatan ini, saya masih di Starbucks Bandara Soekarno Hatta, menyeruput caffe latte hangat. Saya dalam perjalanan menuju Denpasar, Bali. Desk Nusantara Harian Kompas mengundang saya sebagai pemateri di sana.

Terus terang, perasaan kurang nyaman, bahkan tertekan, saat saya harus kembali ke Bali. Ini daerah cantik yang sebisa mungkin saya hindari. Bali is nightmare for myself only. Bukan karena takut akibat di wilayah ini pernah mengalami serangan teroris 12 Oktober 2002 lalu yang dikenal dengan "Bom Bali"-nya. Kenangan pahit saya mengenai pulau ini jauh menembus batas waktu, 3 tahun sebelum bom Bali meledak.

"Ledakan bom" paling dahsyat terjadi pada 12-17 Oktober 1999, saat saya hadir di Bali untuk tamasya, sekedar bersenang_senang. Di Bandung, pada saat bersamaan saya harus meninggalkan Ibu, perempuan yang melahirkan diri ini, dalam keadaan sekarat, menanggung derita sakit yang luar biasa.

Tak habis-habisnya saya mengutuki diri sendiri setiap teringat tindakan tertolol selama hidup yang pernah saya lakukan. Bagaimana mungkin saya meninggalkan Ibu yang sedang meregang nyawa akibat kanker mulut rahim, saya pergi ke Bali hanya untuk bersenang-senang dengan keluarga?

Kini saya harus ke Bali, satu wilayah yang sebisa mungkin tidak saya singgahi lagi. Saya sudah bersumpah, tidak akan pernah ke Bali lagi kalau tujuannya cuma untuk bersenang-senang. Itu akan menyakiti hati Ibu di alam kubur. Saya berani menginjak Bali karena urusan tugas semata seperti ini, atau karena pesawat harus transit di Ngurah Rai seperti akhir tahun 2002 lalu sehabis tugas dari Fukuoka, Jepang.

Ibu, saya tidak akan pernah menyakiti hatimu lagi! Please forgive me.....

Cengkareng, 19 November 2008, pukul 06.50, menunggu saat boarding tiba.

Powered by Telkomsel BlackBerry®

3 comments:

Wijaya kusumah said...

Redup sinar matamu yang hampir padam
Karena petaka yg begitu kejam
Telah merenggut bahagiamu.
Namun bibirmu senyum wahai ibu...
Menantang dunia
yang terbentang di mata
melintasi jalan hidup yang tersisa

Kan kupertaruhkan hidupku
dan seluruh langkah citaku
untuk meringankan bebanmu ibu...
doakan diri anakmu
agar dapat terus berbakti hanya untuk bahagiamu, ...ibu...

Retty Hakim (a.k.a. Maria Margaretta Vivijanti) said...

doa ibu senantiasa bersama putranya
bahkan walau mulut nyinyir penuh petuah...
hari-harinya tetap penuh doa bagi sang putra
maaf terbersit bahkan sebelum putra meminta
jangan biarkan penyesalan mendera dan membelenggu
karena suka sang putra adalah doa seorang ibu...

Turut berduka ya mas Pepih, kanker mulut rahim memang momok bagi wanita.

Anonymous said...

udah telat menyesalnya mas..