Kebaikan Yang Tak Terlupakan (1)
RASANYA baru saja terngiang di telinga, malam Natal 2000 ketika suara diujung ponsel sana berkata, "Besok Kompas terbit, meskipun hari libur. Ikuti terus perkembangannya!" Itulah suara Suryopratomo, Pemimpin redaksi Kompas.
Hari ini, Senin 11 Februari 2008, Mas Tom, demikian kami biasa memanggil, harus bertugas di tempat lain. Tempatnya digantikan Bambang Sukartiono. Pengumuman berlangsung sederhana, juga singkat. Hal biasa terjadi dalam sebuah organisasi pers. Setiap datang dan pergi, selalu menyisakan haru.
Ijinkan, saya mengenang kebersamaan saya dalam bekerja, dalam urusan profesional, dengan Mas Tom, sejak saya meliput di desk politik, kepala biro, sampai di tempat saya sekarang...
RASANYA baru saja terngiang di telinga, malam Natal 2000 ketika suara diujung ponsel sana berkata, "Besok Kompas terbit, meskipun hari libur. Ikuti terus perkembangannya!" Itulah suara Suryopratomo, Pemimpin redaksi Kompas.
Hari ini, Senin 11 Februari 2008, Mas Tom, demikian kami biasa memanggil, harus bertugas di tempat lain. Tempatnya digantikan Bambang Sukartiono. Pengumuman berlangsung sederhana, juga singkat. Hal biasa terjadi dalam sebuah organisasi pers. Setiap datang dan pergi, selalu menyisakan haru.
Ijinkan, saya mengenang kebersamaan saya dalam bekerja, dalam urusan profesional, dengan Mas Tom, sejak saya meliput di desk politik, kepala biro, sampai di tempat saya sekarang...
Saya harus mencatat penugasan saya sebagai kepala PO Lebaran dan Natal 2000 sebagai tonggak bekerja di struktural. Tidak sampai setahun setelah peristiwa "Bom Natal 2000", pada 1 Oktober 2001 saya diminta Mas Tom bertugas di Makassar sebagai Kepala Biro Kompas untuk Indonesia Timur. Saat itu, Anwar Hudiono (Ano), satu dan lain hal memilih mengundurkan diri sebagai kepala biro Indonesia Timur, meski baru bertugas enam bulan, dan kembali ke Surabaya. Saat itu, sehabis liputan di DPR, Mas Tom meminta saya duduk saat saya melintas untuk menyeduh kopi. "Minggu depan kamu ke Makassar, ya!"
Sebagai "prajurit", saya artikan itu sebagai penugasan. Tidak ada bantahan, apalagi penolakan. Menolak tugas, berarti menolak meliput. Tidak meliput, berarti tidak ada berita. Saya seorang wartawan, dan itulah harga mati yang harus saya bayar. Saya menjawab pendek, "Baik, Mas!"
Ke Makassar, ringan-ringan saja, tanpa beban. Saya hanya membawa satu kopor pakaian plus buku-buku di dalamnya. Saya berpikir, setidaknya saya berpisah dengan anak-istri untuk tiga tahun lamanya. Anak-istri tidak ikut serta dan saya harus berjuang melawan kesendirian di Makassar, Sulawesi Selatan.
Sebagai Pemred Kompas, Mas Tom tidak terlalu sering mengontak saya di Makassar, kecuali kalau saya berbuat "nakal" atau berbuat sesuatu yang "bukan jalur Kompas". Tujuannya baik, mengingatkan, dan karenanya saya menjadi lebih hati-hati. "Jangan lupa, siapa tahu ada orang yang tidak suka dengan tindakanmu," katanya mengingatkan, suatu waktu saat saya masih di Makassar. Apa yang terjadi?
Gara-garanya sederhana saja, dan sama sekali tidak terduga. Dengan estimasi dan sedikit naluri, saya waktu itu "membocorkan" para calon wartawan yang lulus yang tengah digembleng di bangku diklat selama enam bulan, tanpa menyebut siapa-siapa yang gagal. Lantas prediksi itu saya tampilkan di mailing list karyawan Kompas. Uniknya, prediksi itu 100 persen benar!!! Banyak komentar rekan-rekan wartawan di milis itu menyebut bahwa saya punya bocoran jitu dari PSDM, atau jangan-jangan saya punya link dengan PSDM. Wah, saya orang independen, apalagi saat itu jauh dari pusat kekuasaan di Jakarta!
Mengapa saya bisa menebak dengan tepat calon wartawan yang lulus dan yang tidak. Sederhana saja, dengan logika. Inilah barangkali pelajaran bagi Diklat dan PSDM untuk memperbaiki mekanismenya secara lebih luwes dan cerdas. Waktu itu tebakan saya berdasarkan intuisi dan sedikit logika saja, yakni hanya calon wartawan yang gagal saja yang dipanggil ke Jakarta, sementara wartawan lainnya yang berhasil atau lulus dan sudah disebar di seluruh Indonesia, tidak dipanggil.
Betapa sederhananya, bukan? Saya waktu itu saya iseng merinci wartawan-wartawan yang lulus tanpa menyebutkan wartawan yang gagal. Wartawan yang lulus, ya wartawan yang tidak dipanggil ke Jakarta alias tetap menjalankan tugasnya di tempat masing-masing yang kemudian akan menjadi tempat penempatan pertama mereka. Bukankah seharusnya PSDM atau Diklat kala itu memanggil seluruh calon wartawan ke Jakarta untuk mengaburkan, baik yang lulus maupun yang gagal? Nah, kalau begini caranya saya pasti tidak bisa iseng-iseng menebak!
Meski awalnya iseng dan mendapat tanggapan ramai di milis, rupanya itu tidak mengenakkan pimpinan di Jakarta, temasuk Mas Tom. Saya mungkin dianggap lancang dan dianggap mendahului apa-apa yang belum diputuskan PSDM, sebab PSDM baru memutuskannya beberapa hari kemudian setelah milis itu tersebar. Itu tadi, hasilnya 100 persen tebakan saya tidak meleset!
Saya langsung mendapat SMS dari Mas Tom, "Tidak demikian caranya seorang pemimpin kalau menyatakan rasa tidak puas. Kita bisa duduk dan diskusikan bersama..." (bersambung)
No comments:
Post a Comment