Friday, February 01, 2008

Tips (1): Jangan Abaikan Kontak Personal


Sepele, Tetapi Berguna

BOLEH dibilang sebagian besar kerja wartawan di lapangan selain menulis, adalah berhubungan dengan sumber. Tanpa menemui berbagai sumber di lapangan, tidak mungkin suatu berita peristiwa akan hadir dan "hidup" di pikiran pembaca. Karena berita bukan karangan atau fiksi, sumber pun harus ada dan jelas. Tidak boleh ada sumber fiktif alias karangan. Sekali wartawan mengingkari kesepakatan ini dengan dirinya sendiri, gantung alat-alat tulismu dan cari kerja kantoran saja!

Dalam kaitan interaksinya dengan sumber, setiap kali wartawan bertemu mereka, yang pertama wajib diminta adalah kartu nama alias identitas. Teknisnya, bisa diminta di awal atau di akhir wawancara. Akan tetapi lebih baik jika wartawan yang memberi pertama-tama kartu namanya kepada sumber. Otomatis, sumber akan membalasnya dengan pemberian kartu nama serupa. Permintaan kartu nama sebagai identitas sumber sangat mudah dilakukan apabila wawancara empat mata. Tetapi wawancara "keroyokan" pun bisa dilakukan. Caranya, minta saja di akhir wawancara "keroyokan" itu.

Mengapa harus meminta identitas sumber dengan jelas? Ini untuk menghindari salah tulis nama atau jabatan. Kadang nama dan jabatan ini sangat sensitif. Salah menulis pangkat "Mayjen" yang seharusnya "Letjen", si Letjen yang baik biasanya menyindir yang punya koran, yang sebenarnya ini sebagai tamparan. "Wah, pangkat saya kok diturunkan lagi ya oleh koran Anda!" Salah menulis pangkat dengan dinaikkan pun tetap jadi bumerang. "Waduh, pangkat saya kok jadi sama dengan komandan saya, nanti bisa dimaki saya!"

Jangan tanya kalau salah nama. Pasti lebih heboh lagi. Bagaimana kalau nama Jenderal Kentot Harseno Anda tulis salah dengan "Kentut Harseno"? Atau kalau Anda tulis "Mbak Tutut" dengan, maaf, "Mbak Titit", apa mau terima dia? Dulu zaman Orde Baru, nama "Presiden Soeharto" harus ditulis seperti itu, tidak boleh "Soeharto", "Presiden Suharto", atau "Pak Harto".

Jangan puas hanya karena menerima nama sumber dari apa yang ia katakan! Sumber bilang, "Nama saya Ahmad Subehi", Anda mau tulis bagaimana? Menulis "Ahmad", "Achmad", atau "Akhmad"? Menulis "Subehi", "Subechi", atau "Subekhi"? Anda jangan sok tahu atau mengira-ngira. Sekali Anda salah sebut nama, siap-siap menerima sindiran seperti ini, "Orangtua ngasih nama saya pakai bubur merah bubur putih, kok Anda tega-teganya mengubah nama saya begitu saja!"

Juga jangan puas hanya karena melihat nama yang tersemat di dadanya. Biasanya nama yang tersemat itu hanya nama panggilan atau nama ringkas saja, bukan nama lengkap. Maka yang paling aman, mintalah kartu nama! Jika sumber tidak punya kartu nama? Minta dia menuliskannya di notes kita. Kalau dia malas menulis karena jabatannya tinggi, ya kita tulis saja namanya, lalu kasih lihat kepadanya dan Anda katakan, "Betulkah nama bapak (ibu) begini?" Kalau betul, aman. Kalau keliru, pasti dia akan mengoreksinya. Simpel bukan.

Jangan anggap sumber itu hanya orang gede saja, orang kecil alias rakyat biasanya yang dijadikan sumber pun harus ditulis namanya dengan tepat. Tentu mereka jarang punya kartu nama. Kita tulis saja namanya di notes, atau dia yang diminta menuliskannya.

Penutup, sebelum pulang dari wawancara, tanya kontak personal mereka, baik itu telepon rumah atau telepon genggam. Jangan sampai ada data atau hal yang lupa ditanyakan, Anda kelabakan sendiri di kantor saat hendak menulis berita, sementara sumber yang kita wawancara sudah susah dijangkau. Dengan memiliki kontak personal, Anda bahkan bisa menambahkan wawancara Anda dan kalau itu hasil wawancara keroyokan, bisa-bisa Anda malah berhasil menemukan angle atau isu baru in disguise dari hasil bertanya tambahan.

Banyak cara, banyak trik, yang penting mencoba. Itu saja!

No comments: