Wartawan adalah Menulis
Penyakit wartawan adalah mapan. Maka, janganlah cepat menjadi mapan kalau ingin menjadi wartawan yang berkualitas. Penyakit mapan itu ibarat kanker yang siap menerjang dan menempelkan sakit kemana saja sesuai aliran darah yang mengalir di tubuh. Kalau penyakit mapan sudah menjalari tubuh wartawan, maka penyakit malas bisa merasuki tubuh. Mapan mengalir ke otak, ia akan menjadi malas berpikir dan menganalisis. Bila lari ke hati, ia menjadi malas bertindak, beranjak, dan bekerja. Tiba-tiba, tubuh merasa berat sekadar membaca hal-hal ringan, apalagi menghadapi layar komputer untuk menulis.
Sayangnya, banyak wartawan yang cepat merasa mapan. Merasa menjadi "penguasa" beat di posisi tertentu saja sudah merasa menjadi tahu segalanya. Sikap ini mengabaikan pendapat orang lain. Segala sesuatu tampak "sudah biasa" dan "bukan berita". Maka, ketajaman dan nalurinya sebagai seorang wartawan dengan sendirinya tumpul. Itu baru bicara posisi. Apalagi ia mendapat "jabatan" koordinator liputan, kepala biro, atau editor, yang pasti lebih memabukkan lagi. Ketajaman lapangannya mulai memudar. Mau ke lapangan, "ah 'kan ada wartawan bawahan yang kerja."
Nah, yang lebih gawat lagi bila mapan dalam pendapatan datang menyerang wartawan. Ini persoalan serius. Ketika segala hal berbau materi sudah didapat, dari jabatan, rumah sampai kendaraan, daya juang terhadap satu berita mulai mengendur. Maunya jalan-jalan saja sama keluarga, makan di restoran enak, tidur nyenyak di kamar ber-AC sambil nonton televisi atau main games. Perkara banjir Jakarta yang menenggelamkan 70 persen wilayah ibukota, menewaskan 80 warga dan menjadikan 350.000 warga mengungsi, apa urusannya. Ada wartawan dan editor lain yang bertanggung jawab.
Semua yang saya ceritakan di atas adalah penyakit wartawan. Tidak mutlak wartawan memang, tetapi juga penyakit para penulis umumnya. Seharusnya, memang jangan lekas merasa mapan! Ingatlah, dalam dunia wartawan tidak ada karya "master piece". Semua karya adalah "in the making", dalam proses. Selalu dalam proses. Kalau sudah merasa karya atau laporan kita "master piece", maka ketajaman terhadap hal-hal kecil tetapi pantas menjadi berita, berlalu begitu saja. Merasa pekerjaan (sebagai wartawan) sudah selesai.
Jabatan, rumah, kendaraan, harus dianggap sebagai "alat" semata, alat yang memudahkan wartawan bekerja, bukan tujuan. Komitmen terhadap keluarga harus lebih ditekankan lagi, bahwa mereka harus diberi tahu lagi mengenai risiko berayahkan atau beribukan seorang wartawan. Berdamailah dengan waktu. Dalam arti, ada saatnya kita menghabiskan waktu dengan keluarga, jika mereka menuntut. Pekerjaan memburu berita, tetaplah bisnis inti seorang wartawan, apapun jabatannya.
Di harian Kompas, setelah menjalani "pendaerahan" dengan memegang Indonesia Timur dan Jawa Timur, saya masih diberi kepercayaan untuk tetap duduk di struktural selaku wakil kepala desk investigasi. Tentu saja dengan iming-iming ini, saya (bergantian dengan kepala desk) tinggal merancang liputan untuk rubrik "Fokus" yang biasa muncul setiap hari Sabtu, lantas yang liputan lapangan orang lain. Uniknya, kalau mau, saya juga bisa meminta bantuan anggota desk lain di Jakarta, teman-teman dari daerah, tergantung bahasan "Fokus".
Untungnya, penyakit mapan yang biasa menjangkiti wartawan itu selalu saya halau dengan obat mujarab, obat yang ada dalam diri saya juga, yakni "keresahan": keresahan kalau tidak meliput, keresahan kalau tidak turun ke lapangan, keresahan kalau tidak bertemu orang (sumber), keresahan kalau terlalu lama di rumah, dan terutama... keresahan kalau tidak menulis! Ya, harus resah, sebab pekerjaan wartawan adalah menulis. Sekali lagi beruntung, sebab di desk "Fokus" setiap anggota desk, tidak terkecuali yang punya jabatan struktural, diwajibkan menulis, menulis, dan menulis. Ini menolong wartawan tidak cepat kena penyalit mapan itu tadi.
Maka, tidak aneh untuk mengejar waktu di lapangan, hal-hal praktis masih menjadi pertimbangan utama, yang penting bisa lekas sampai ke tujuan dengan cepat dan tepat dan tidak mengecewakan sumber. Jika punya kendaraan, janganlah digunakan kalau harus menerabas kemacetan untuk menemui Gubernur Sutiyoso di Jalan Medan Merdeka Selatan, misalnya. Ojek yang mangkal di depan kantor biasa menjadi langganan saya. Ke Balai Kota bisa kena Rp 25.000. Memang bisa lebih murah kalau menggunakan bus umum, cuma Rp 5.000. Tetapi waktu? Pasti jauh lebih lambat. Dengan taksi, selain pasti lebih mahal dibanding ojek, tetapi tidak menjamin perjalanan lancar. Ojek adalah pilihan praktis-strategis. Jangan gengsi!
Ke tempat lain ke Departemen Pekerjaan Umum untuk menemui seorang Dirjen, juga naik ojek dan pulang naik bajaj dengan total biaya Rp 30.000. Ini masih lebih mampu mengejar waktu dibanding membawa kendaraan sendiri. Tidak jarang juga harus jalan kaki, menembus banjir, hanya sekadar bertanya kepada para korban dan sesekali ikut merasakan penderitaan mereka. Kalau merasa mapan, bukankah lebih baik duduk-duduk saja di kantor atau bahkan tidur di rumah.
Jadi, hati-hatilah dengan penyakit mapan ini, kawan!
Jakarta, 12 Februari 2007
1 comment:
wahhh,,, kok tulisannya inspiratif banget yaaa...
penyakit mapan wartawan,,,
aku juga pingin nulis sesuatu tentang penyakit mapan bidan, tapi belom berani,,, soalnya masihh junior...
ada nggak, wartawan yang masih idealis banget???
ada juga nggak sihhh wartawan award yahh macam gitu lahh??
Post a Comment