Friday, September 01, 2006

Catatan (7): Kematian

Menyakitkan, Tapi Pasti Datang

TERKEJUT dan terkesima mendengar kematian Inong yang mendadak. Inong seseorang yang sama sekali tidak kukenal. Ia seorang blogger, ibu dari dua anak yang masih kecil, sekaligus pecinta puisi. Ia merasakan kematiannya lebih cepat dari kedatangan el maut itu sendiri, seperti dalam puisi yang ia tulis dua hari sebelum kematiannya.

Dua hari berturut-turut Inong menulis kematiannya saat ia sudah merasakan kematiannya sendiri dan saat ia “bertemu” Tuhan lewat “perjanjian” sebelumnya.
Perhatikan puisi yang ditulis Inong tanggal 27 Agustus 2006, tiga hari sebelum maut menjemputnya:

biar kuakui pada dunia
bahwa rasa itu sudah tak ada
mati bersama angin
hembus keringkan airmata
hilang bersama angan
melayang pada awan
biar kuakui pada dunia
perlahan aku mati bersama cinta

Akan tetapi yang lebih spektakuler dan lebih mendekati kebenaran akan datangnya kematian adalah puisi Inong yang ia tulis 28 Agustus 2006, saat kematian sudah semakin mendekat.

Tuhan, Kau masih ingat janjiku malam itu?
Aku sudah menepatinya bukan?
Lalu...
Mengapa kabut semakin tebal menggigitku
dan tiada setitik pun berkas sinar di kejauhan
Aku semakin kedinginan, Tuhan
Jangan biarkan ku membeku.

“Cerita Buat Orang Yang Lupa”, adalah salah satu judul lagu Iwan Abdulrachman yang juga mengingatkan kita tentang kematian yang datang tak terduga. Berikut penggalan lirik lagunya:

cerita ini kita mulai
buat orang-orang yang lupa
bahwa mati ‘kan datang suatu waktu
menyergap dirimu dikala kau lengah

pulanglah segera
pintu yang sejuk menantimu
tak seorangpun yang dapat menduga
bila saat itu ‘kan datang padanya

Dalam beberapa literatur dikatakan, sesungguhnya orang sudah merasakan kematiannya beberapa hari sebelum kematian itu benar-benar datang. Perilaku yang aneh dan tak biasanya yang dilihat orang lain, pertanda bahwa kematian mungkin telah menantinya.

Ini cerita nyata tentang kisah kepergian ibuku, almarhumah Ny Enok Suhayah yang “diminta” oleh-Nya 20 Oktober 1999. Beberapa hari sebelum anfaal karena kanker mulut rahim yang dideritanya, ibu mengumpulkan seluruh koleksi foto-foto hitam-putihnya yang tercecer. Mengguntingnya, membersihkannya, lalu menempelkannya di album baru, album khusus. Aku yang sempat melihat karya ibu terakhir itu, juga sempat menelusur sejarah hidupku yang terpotong-potong lewat foto-foto masa kecilku itu. Semua tidak menduga bahwa “insting” kematian sesungguhnya sudah datang saat mengumpulkan foto-foto hitam putih itu.
Tanggal 12 Oktober 1999, atau seminggu sebelum kepergian ibu, aku yang dalam perjalanan ke Bali untuk tamasya, aku, anak yang dikandungnya, belahan hatinya, sudah merasakan kepergian ibu lebih cepat. Selama dalam perjalanan sampai kemudian berada di Bali, sesungguhnya aku hanyalah seonggok daging yang ditopang belulang yang tak berjiwa! Jasadku boleh saja berada di Bali untuk suatu kesenangan dunia, tetapi rohku sesungguhnya sudah berada di sisi ibu yang sedang menghadapi sakaratul maut di rumah Bumi Panyawangan dan kemudian RS Hasan Sadikin.

Aku, anak kandungnya, yang telah menyusahkannya mulai saat ibu ngidam, melahirkan, mengurusku, membesarkanku, sampai kemudian menjadi aku yang sekarang ini ada, mestinya ada di sisinya, sama-sama merasakan sakitnya el maut itu datang menjemput. Tetapi itu tidak. Ibu menyambut detik demi detik kematiannya tanpa kehadiranku. Alhamdulillah, di dunia ini ada banyak malaikat penolong yang jasa-jasanya tak akan pernah kulupakan sepanjang jasad ini ada. Merekalah yang justru sangat dekat dengan ibu dan terus menemaninya sampai saat-saat akhir. Nama mereka hanya ada dalam catatan emas batinku saja dan telah kusediakan salah satu pintu kamar hatiku yang paling baik buat mereka tempati.

Aku hanya diberi kesempatan dua jam saja sebelum ibu mengembuskan nafas terakhirnya, itupun kutemui sudah dalam keadaan koma. Tiba di RSHS pukul 19.00 dan pukul 21.00 ibu pergi setelah aku meminta maaf sebesar-besarnya. “Mih, ini Aa dari Jakarta,” panggil ayahku seperempat jam sebelum ibu pergi. Ibu seperti menahan nafas dan saat itulah aku meminta maaf. Ibu mengangguk!

Beberapa menit kemudian ibu memberi isyarat agar semuanya mendekat. Nafasnya sudah satu-dua. Ibu meninggal dengan air mata yang menggenang di kedua pelupuk matanya, yang dengan cepat kuusap sambil meminta maaf sekali lagi. Aku bahkan masih merasakan embusan nafasnya yang terakhir, sampai sekarang.
Hal yang paling menyedihkan dalam hidupku adalah saat menyaksikan suster harus menggunting gaun batik warna oranye cerah saat akan membungkus ibu untuk dimasukkan ke ambulans. Itu adalah gaun terakhir yang dipakainya sebagai oleh-oleh dari Bali.

Suatu saat, aku pasti akan datang untuk bersujud dan bersimpuh di kakinya, memeluknya dan meminta maaf sekali lagi atas kezaliman yang kulakukan semasa aku hidup di dunia. Menyakitkan memang, tetapi cepat atau lambat, waktu itu akan datang juga....

Pepih Nugraha
Palmerah, 1 September 2006

7 comments:

hendragunawan said...

aduh..jadi ikutan sedih

hadik said...

sedih..bin takut sayah...tapi paling ga mengingatkan kita akan sesuatu yang diluar kendali kita...

venus said...

ah, pepih...saya nangis baca postingan kamu. jadi inget dosa2 terutama sama ibu saya. hiks...

Yati said...

...tersentak...lalu lemes denger kabar Mbak Inong.
orang baik...selalu saja...

kiky f said...

sedih...:(

Anonymous said...

Duh, kaduhung aing mah maca. Jadi sedih....Untung didinya mah nungkulan keneh. Tapi kuring, teuing keur di mana jeung keur jeung saha waktu indung kuring ngaleupaskeun nyawa.
Ayeuna, kacinta kuring ka mantena mung ukur du'a....du'a....

Anonymous said...

Sedih banget ..
Turut berduka cita ..

aku juga sedang merasakan
'hawa kematian' itu
Begitu takutnya karena ternyata
amalan ku masih sedikit
sedangkan ajalku terus mendekat
..

Tapi aku terus semangat .. melihat hari yang datang .. karena aku menghargainya ..