Ibarat Langit dan Comberan
Dunia jurnalistik memang unik. Setidak-tidaknya ini yang pernah saya rasakan. Dulu waktu ditugaskan di Desk Politik, mengharuskan saya bertemu dengan para pejabat, baik zaman Rezim Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, sampai Megawati. Mulai sang presiden, para menteri, anggota Dewan, sampai broker-broker politik.
Tentu saja mereka datang dari dunia gemerlap; mobil keluaran baru, pakaian gemerlap, sepatu mengkilat, sampai bau parfum menyengat. Untuk menyentuh mereka, sulit bukan main, sebab para penjaga tubuh (bodyguard) siap mengusir siapapun di kala mendekat, termasuk wartawan. Saya sudah terbiasa dengan suasana menyebalkan seperti ini. Tetapi ini tugas jurnalistik, sudah harus teken kontrak sejak awal: tidak boleh ditolak.
Dalam waktu yang sama, saya juga harus mengunjungi tempat-tempat paling kumuh di seputaran Jakarta, yang mungkin sulit dibayangkan lewat imaji liar sekalipun. Pernah dengar lokalisasi prostitusi "kelas teri" di Bongkaran Tanah Abang? Saya pernah ditugaskan oleh editor ke sana hanya sekadar melihat-lihat keadaan dan menangkap suasana. Juga pernah selama sebulan "ditanam" di kamar mayat RSCM. Semua bagian dari tugas dan panggilan hati.
Mungkin sahabat bertanya, apa menariknya menulis dunia prostitusi yang kotor itu? Juga apa gunanya "menginap" di kamar mayat? Oke, mungkin tidak menarik. Tetapi di sini kita bisa melihat kehidupan yang sesungguhnya. Kita bisa berlajar, bagaimana mereka berjuang untuk hidup dengan mencari penghidupan di sana. Pada akhirnya kita yang bisa berselancar di dunia maya (internet), membaca atau membuat blog, rasanya kita harus lebih banyak bersyukur. Selain kita sudah diberi nikmat kehidupan, perjuangan untuk melanjutkan kehidupan tidaklah seberat mereka.
Tetapi tetaplah saya kadang berpikir "kelas" (mungkin terlalu banyak membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer atau Dominique Lapier), yang gemar mempertentangkan dua kelas kehidupan berbeda: dunia gemerlap (para pejabat) dan dunia muram (prostitusi, penjaga kamar mayat, dan kantong kemiskinan lainnya). Saya selalu menyebut perbedaan itu bukan lagi "bagai langit dan bumi", tetapi "bagai langit dan comberan".
Kembali pikiran "kelas" saya tumbuh setelah menyelami kehidupan para pemulung barang-barang bekas di Desa Jombang, Ciputat, Tangerang. Di sana ada "markas" seluas 1.000 meter persegi. Terdapat 25 bedeng tripleks ukuran 2 x 1,5 meter, mungkin lebih luas dari kamar mandi atau WC kita yang nyaman, yang kadang masih enak buat baca-baca sambil buang hajat. Tetapi di sini 20 keluarga hidup pada masing bedeng yang rekat satu sama lain. Tidur tanpa kasur, tanpa lemari pakaian. Saya pernah mengunjungi tempat-tempat pengungsian di Aceh, Poso maupun Ambon, rasanya tempat-tempat mereka jauh lebih baik.
Hal yang membuat pikiran "kelas" saya tumbuh, sebab bedeng-bedeng mereka itu terpisahkan oleh tembok panjang setinggi tiga meter, tembok yang melingkupi perumahan mewah Bintaro Jaya. Hemmm…. Inilah kehidupan. Barangkali para penghuni rumah mewah itu tidak pernah melongok sekalipun apa yang terjadi di balik tembok betonnya, tidak pernah meraba denyut kehidupan sesamanya, bahwa di balik tembok juga ada orang-orang yang baru bisa hidup setelah mengorek-ngorek sampah mencari-cari barang bekas.
Ironisnya, tempat-tempat sampah di beberapa perumahan kini sudah digembok dengan alasan sampah mereka takut berantakan diacak-acak anjing dan… pemulung! Mungkin sahabat bisa lebih lanjut mengikuti penelusuran dan kisah saya ini di dua tempat: Di http://www.kompas.com/kompas-cetak/0609/16/Fokus/2955116.htm, atau juga di http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0609/25/nasional/2973294.htm. Selamat mengikuti.
Pepih Nugraha
Jakarta, 29 September 2006
Friday, September 29, 2006
Berbagi Pengalaman Menulis (6)
Diposting oleh Pepih Nugraha di 7:23 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
4 comments:
di kamar mayat mas? ih serem ya....
Hai Ratna... namanya tugas jurnalistik, jangankan kamar mayat, Ambon dan Poso saat bergolak dulu, juga Papua dan Bosnia, saya tidak boleh menolak ditugaskan ke sana... Di kamar mayat kita jadi tau kok, sebenarnya kita ini menjadi sangat tidak-tidak ada artinya ketika nyawa sudah meninggalkan raga... Yang dikenal oleh si hidup tentulah amal baik kita.
Klo baca tulisan mas Pepih tentang perbedaan "kelas" antara Langit dan Comberan aku teringat lagunya Iwan Fals yang judulnya Besar dan Kecil.
Iwan Fals - Besar dan Kecil
Kau seperti bus kota atau truk gandengan
Mentang-mentang paling besar klakson sembarangan
Aku seperti bemo atau sandal japit
Tubuhku kecil mungil biasa terjepit
Pada siapa ku mengadu
Pada siapa ku bertanya
Kau seperti buaya atau dinosaurus
Mentang-mentang menakutkan makan sembarangan
Aku seperti cicak atau kadal buntung
Tubuhku kecil mrengil sulit dapat untung
Pada siapa ku mengadu
Pada siapa ku bertanya
Mengapa besar selalu menang
Bebas berbuat sewenang-wenang
Mengapa kecil selalu tersingkir
Harus mengalah dan menyingkir
Apa bedanya besar dan kecil
Semua itu hanya sebutan
Ya.. walau di dalam kehidupan
Kenyataannya harus ada besar dan kecil
Kenyataannya di dunia ini selalu terdapat pertentangan "kelas": Langit x bumi, besar x kecil, miskin x kaya, dan seterusnya. Hampir semua novel selalu bicara "kelas", juga beberapa lagu. Saya setuju-setuju saja.
Post a Comment