Selamat Jalan Pak Harto
SAYA sedang dalam perjalanan ke Makro belanja bulanan bersama keluarga ketika radio swasta di mobil menyiarkan suara khas Pak Moerdiono. "Benar, beliau telah wafat," katanya, Minggu (27/1) pukul 13.55. Tentu saja yang dimaksud "beliau" oleh Pak Moer, adalah mantan Presiden Soeharto atau biasa disapa Pak Harto. Inalillahi....
Sesuai prosedur kerja, saya kontak Pemimpin Redaksi Suryopratomo, selain mengabarkan Pak Harto wafat, siapa tahu Mas Tom, demikian ia biasa dipanggil, belum mengetahui informasi itu. Setelah tersambung, Mas Tom bertanya, "Apakah memungkinkan untuk dicetak Kompas Update. Saya jawab, "Secara teknis memungkinkan, akan tetapi prospek menyebarkan koran itu sampai ke pembaca menghadapi kesulitan."
Saya katakan pula, lebih baik kita mati-matian diproduk saja untuk Kompas pagi besok. Mas Tom ternyata sangat setuju, baru siangnya saya perbarui di Kompas Update. Ya, sejak 4 Januari 2008 saya bertugas di Kompas Update sebagai Wakil Manajer Produksi, merangkap sebagai Chairman of Community Commision di Megaportal Kompas.com. Kompas update adalah Kompas yang beritanya telah diperbarui dan terbit mulai pukul 12.00 siang.
Percakapan pun ditutup. Saya langsung memutar arah, kembali ke rumah mengantarkan keluarga dan ngebut dengan kendaraan lainnya untuk segera sampai di kantor. Di kantor bertemu Taufik Miharja, Pemred Kompas.com, Budiman Tanurejo, Andi Suruji, James Luhulima dan kemudian Mas Tom sendiri. Perencanaan pun dimulai. Tetapi sebagai orang yang diserahi tugas di Kompas Update, saya baru bertugas tengah malam nanti sampai pagi, sampai Pak Harto dikebumikan. Saya pun menginap di kantor.
Kembali kepada Pak Harto. Ia mulai dirawat sejak 14 Januari 2008 lalu di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Karena ada ultimatum Kompas Update harus terbit meski Sabtu atau Minggu kalau Pak Harto wafat, saya jadi tidak bisa bepergian jauh. Ke Cirebon untuk menengok adik yang melahirkan pun tertunda.
Sebagai wartawan yang pernah merasakan suasana kerja saat Soeharto berkuasa, terasalah bahwa Pak Harto adalah orang besar, setidak-tidaknya bagi saya pribadi. Maaf kalau harus membandingkan dengan presiden-presiden setelahnya, tidak bisa disamakan, baik dari wibawa maupun ketegasan sikapnya.
Saya teringat kepada peristiwa 19 Desember 1998, saat saya berhasil masuk Cendana No 8, kediaman Pak Harto, atas jasa baik Yorrys Raweyai. Kala itu Pak Harto kedatangan tamu Ketua PBNU, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Presiden yang sedang menjabat kala itu BJ Habibie. Saya menunggu kira-kira satu jam bersama wartawan senior Suara Pembaruan, yang saya lupa namanya.
Alat perekam sudah di tangan, plus kamera saku. Gus Dur datang bersama putrinya, Yenny dan asistennya, Sastro. Saya harus menunggu di salah satu ruang selama kira-kira satu jam. Sempat berbincang dan bersalaman dengan Bambang Trihatmojo. Bahkan kala Pak Harto berbicara empat mata dengan Gus Dur, saya diberi kesempatan menguping pembicaraan lewat earphone yang dipinjamkan Yorrys, earphone mini yang saya kenal dalam dunia intelijen. Suara Pak harto jernih sekali terdengar, meski saya mendengarnya dari halaman luar. Harus saya katakan, saya bisa menembus Cendana pun dengan menumpang mobil Yorrys.
Setelah menunggu beberapa lama, Pak Harto dan Gus Dur bersama beberapa asistennya dan Yenny keluar. Tanpa menyia-nyiakan waktu, saya ambil posisi persis di depan Pak Harto dan Gus Dur, jepret... jepret.... saya ambil gambarnya. Tentu saja saya menyalahi prosedur karena seharusnya tidak boleh mengambil gambar dari depan. Tapi masak saya hanya dapat gambar punggung Pak Harto? Saya nekat jadinya, meski setelah itu saya diseret para pembantu Pak Harto dan dinasihati asisten terdekat Soeharto, Pak Sweden, dengan keras. Ah, cuwek saja!
Setelah bertanya pada Gus Dur mengenai pertemuan itu, komplitlah saya memperoleh bahan berita untuk Kompas Minggu besok: foto plus berita! Sementara, Pak Harto tidak bersedia diwawancarai dan mengucapkan terima kasih atas kedatangan wartawan di kediamannya.
Esoknya, foto dan berita saya dipasang sebagai berita utama (headline) di Kompas Minggu, bahkan Jakarta Post pun saat itu memuat foto karya saya itu karena meminjam dari Kompas. Memang, hanya saya dan wartawan Suara Pembaruan itu sajalah yang mendapat foto Pak Harto! (lihat foto di atas).
Sahabat bisa melihat foto karya jurnalistik saya di atas, plus berita bareng-bareng dengan judul "Gus Dur-Soeharto Bahas Dialog Nasional, Presiden Habibie Menolak". Barangkali itulah kenangan manis saya sebagawai wartawan bersama Pak Harto, selain juga berkesempatan pernah ke Bosnia tahun 1997 untuk melihat pendirian Masjid Muhammad Soeharto di Bosnia.
Dukanya, Soeharto sangat membatasi gerak wartawan dalam menulis. Bahkan namanya pun harus selalu ditulis "Presiden Soeharto". Tidak bisa "Pak Harto", "Soeharto" atau nama lainnya. Saking kuatnya Soeharto berkuasa, bahkan seorang Camat pun bisa meminta satu berita tidak diturunkan! Di salah satu dinding di Harian Kompas, ada satu "monumen" berupa kertas lebar bertuliskan larangan-larangan berita tertentu dimuat! Sejak Pak Harto lengser 20 Mei 1998, sejarah kelam pers Indonesia pun berakhir.
Sekali lagi, dengan segala kenangan pahit dan manis bekerja di bawah tekanan Soeharto, saya dengan tulus mengucapkan selamat jalan kepada Pak Harto. Semoga menjadi tenang di alam sana....
Sunday, January 27, 2008
Catatan (38): Kenang-kenangan dengan Pak Harto
Diposting oleh Pepih Nugraha di 11:25 PM
Label: Meninggal Dunia, Soeharto
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
nggak diceritaken kenangan pahit dan manisnya ? pasti ada yang lebih manis daripada sekadar mendapat photo dan yang lebih pahit daripada sekadar dimarahin PM
Post a Comment