Berita Dibuang Sayang
SETIAP hari Senin, saya biasa menyiapkan dua atau tiga tulisan untuk "Telusur", rubrik teknologi informasi yang muncul setiap Kamis di Harian Kompas. Kali ini saya siapkan tulisan mengenai para kandidat presiden Amerika Serikat yang menggunakan internet sebagai "media baru" kampanye mereka. Tulisan sudah selesai saya kerjakan dan siap saya kirimkan ke editor Humaniora.
Akan tetapi, hari Selasa (22/1) lalu saya tertegun saat membaca berita yang sama di Kompas. Tentunya bukan tulisan saya karena memang belum dikirimkan, tetapi tulisan rekan senior saya, Diah Marsidi. Apa boleh buat, saya tak mungkin mengirimkan tulisan yang sama karena sumbernya pun sama.
Biar sekalian belajar dari senior mengenai kelemahan saya dalam menulis, di sini saya sertakan tulisan saya yang tidak saya kirimkan dengan tulisan Diah Marsidi yang dimuat Kompas, Selasa (22/1). Selamat menikmati:
Internet, “Ladang Baru” Pemilihan Presiden AS
SETELAH pemilihan presiden Perancis tahun lalu dihiasi perang blog antarkandidat, kini perang pengaruh di dunia maya dalam pemilihan presiden Amerika Serikat berlangsung seru, seperti halnya kampanye di dunia nyata.
SETELAH pemilihan presiden Perancis tahun lalu dihiasi perang blog antarkandidat, kini perang pengaruh di dunia maya dalam pemilihan presiden Amerika Serikat berlangsung seru, seperti halnya kampanye di dunia nyata.
Para kandidat, baik dari Partai Demokrat maupun Republik, memanfaatkan “ruang maya” yang tak terbatas ini dengan mendirikan stan atau café maya di berbagai portal jaringan sosial ternama seperti MySpace, Facebook dan YouTube. Di café maya itu, kandidat presiden bisa berinteraksi dan beramah tamah dengan para pemilih yang umumnya kaum muda Amerika yang menganggap internet bagian dari hidup sehari-hari. Tengok di depan mimbar saat seorang kandidat kampanye, pastilah tertera nama dan alamat situs pribadinya!
Kantor berita Perancis AFP baru-baru ini melaporkan satu jajak pendapat yang dilakukan Pew Research Center, lembaga penelitian khusus internet. Jajak pendapat itu mengungkapkan, sekitar seperempat masyarakat AS secara teratur menggunakan internet untuk mengetahui berita mengenai pemilihan presiden yang kini sedang berlangsung.
Tentu saja jumlah ini masih jauh lebih sedikit dibanding penggunaan televisi untuk mengetahui perkembangan pemilihan presiden. Akan tetapi, angka ini menunjukkan peningkatan dua kali lipat dibanding pemilihan presiden empat tahun lalu (2004) dan tiga kali lipat dibanding pemilihan Presiden 2000. Pada kedua pemilihan itu George W. Bush dari Republik keluar sebagai pemenang.
Mike Feldman, mantan penasihat senior untuk Al Gore dalam kampanye presiden 2000 menyebutkan, pembahasan mengenai kampanye dan isu-isu yang dilontarkan makin banyak dilakukan lewat internet. “Kalau masih ada yang belum melakukannya, maka dia ketinggalan," katanya.
Jajak pendapat itu mengungkapkan, 42 persen pengguna internet di AS adalah mereka yang berusia di bawah 30 tahun dan akrab menggunakan situs jejaring sosial seperti MySpace atau Facebook untuk mempromosikan kandidat, sebagaimana mereka mempromosikan film atau grup musik di kamar masing-masing situs jejaring sosial yang setiap harinya diakses ratusan juta netter itu.
Feldman berpendapat, sejumlah kandidat presiden mencoba untuk mengulangi sukses situs web Howard Dean saat pemilihan presiden tahun 2004 lalu. Disebutkan, seorang calon yang berpeluang tipis seperti Ron Paul dari Republik, tiba-tiba menjadi berita ketika web-nya mampu mengumpulkan 20 juta dolar AS pada bulan-bulan terakhir tahun 2007. Sementara, calon presiden berkulit hitam Barack Obama dari Demokrat, menggunakan internet untuk menyaingi popularitas lawan separtainya, Hillary Clinton, dalam pengumpulan dana dan kampanye agar datang saat hari pencoblosan.
Obama mengklaim, hingga 3 Januari lalu 60 persen dari 500.000 penyumbang menyetor dana secara online lewat internet. Dengan kampanye online, Obama berhasil “merekrut” 6.000 kelompok sukarelawan dan 20.000 web untuk pengumpulan dana bagi kubunya.
Para calon pemilih dapat membandingkan para kandidat lewat situs www.techpresident.com yang mencatat seberapa lama dan sering para kandidat menggunakan internet sebagai “media baru” kampanye sekaligus media komunikasi politik mereka. Ada pula situs www.electoralcompass.com dimana para calon pemilih disodori 36 pertanyaan seperti masalah Irak, pemanasan global, dan hak kepemilikan senjata. Setiap jawaban dirujuk kepada kandidat yang pandangannya yang paling dekat dengan pandangan pemilih.
Meskipun internet terbukti banyak digunakan dalam kampanye pemilihan presiden, sejumlah analis mengingatkan, penggunaan internet yang makin meluas ini bukanlah satu-satunya cara untuk menang. Tetapi tidak menggunakan internet, kata analis Alamcy, “Jelas merupakan sesuatu yang tidak termaafkan.”
Harap diingat pula, kandidat dari Republik, George Allen, justru hancur lebur dan kalah dalam pemilihan di tingkat Senat gara-gara di internet beredar video amatir dirinya yang mengatakan "macaca". Kata-kata yang bisa diartikan secara bebas sebagai “monyet” itu ditujukan kepada salah seorang master campaign-nya yang keturunan India.
Kata-kata yang dianggap ejekan etnik itu meluncur begitu saja dari mulut Allen sambil menunjuk anak muda keturunan India itu. Sakit hati dengan gaya rasis Allen, si pemuda menyebar video kampanye itu di internet. Hasilnya, Allen terlempar sejak dini dari putaran pemilihan presiden yang bergengsi itu. (PEP)
No comments:
Post a Comment