Dimanakah Dia Sekarang?
SELAGI membuka-buka file CD dan VCD di perpustakaan pribadi, ketemulah satu VCD dari sekian VCD lagu-lagu Bugis-Makassar yang pernah saya kumpulkan selagi bertugas di Makassar, 2001-2004. VCD itu berisi rekaman suara dan gambar penyanyi Dian Ekawaty. Dia penyanyi daerah yang punya suara khas untuk lagu-lagu Bugis-Makassar, dan karena itulah saya pernah membuat tulisan sosok tentangnya.
Ketika saya dengar ulang suaranya pada lagu Indo Logo, Bulu Alauna Tempe, dan Bangkena Cini, ingatan saya terpaut pada Makassar, serasa tampak di depan mata. Saya mendengar suara Dian untuk pertama kalinya di rumah sahabat dan saudara saya di Makassar, Pak Kiblat Said, lewat MP3 di komputernya. Bangkena Cini yang dinyanyikannya terasa menyentuh, meski saya tidak mengerti artinya. Dari situlah saya terkesan dengan suaranya dan saya harus mencari orangnya. Lewat jasa baik Ashariyati Salam, saya mendapatkan kontaknya dan berkesempatan menemuinya. Tetapi, dimakah Dian Ekawaty sekarang?
Berikut adalah tuliasan saya mengenai Dian Ekawaty yang dimuat Kompas, 28 Oktober 2003. Wawancara berlangsung di Balai Rate, Pantai Losari, Makassar, pada satu senja yang indah. Ketika data kurang, saya beberapa kali meneleponnya sampai kemudian jadilah tulisan di bawah ini:
Dian Ekawaty, Tetap Tegar di Jalur Lokal
DIAN Ekawaty adalah seorang dari sedikit penyanyi Bugis-Makassar yang tetap setia menyanyikan lagu-lagu daerah Sulawesi Selatan. Meski menempuh jalur lagu-lagu pop nasional berbahasa Indonesia diyakini akan lebih cepat mengorbitkan dirinya di pusaran ketenaran sebagai seorang artis penyanyi, Dian bergeming. Dia telanjur larut dalam kecintaan menekuni senandung daerah. Dari larut, kemudian hanyut melantunkan lagu-lagu berbahasa Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja, empat bahasa di ranah Sulawesi Selatan yang sekaligus mewakili empat etnis besar.
Modal untuk go national sesungguhnya sudah lebih dari cukup. Simak saja prestasi dara kelahiran 29 Maret ini-dia merahasiakan tahunnya, tetapi diperkirakan lahir tahun 1972- yang pernah menjadi penyanyi wanita terbaik se-Asia lomba tarik suara Laser Disc Karaoke Pioneer Championships di Singapura tahun 1991, saat ia mulai kuliah di Sastra Inggris Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar.
Sebelum menuju Singapura, Dian harus menyisihkan ratusan rivalnya dari berbagai pelosok Tanah Air. Mula-mula dia menyisihkan ribuan rivalnya di Sulawesi Selatan. Lolos sebagai juara pertama, harus beradu di tingkat nasional yang diadakan di Jakarta.
Juri untuk tingkat nasional, antara lain Is Haryanto, Wieke Gur, Chandra Darusman, dan Purwacaraka. Di sini tersaring finalis masing-masing 12 pria dan wanita. Namun, tim juri menetapkan Dian sebagai juara pertama kelompok wanita dan Julius Vincentin sebagai juara pertama pria.
Di tingkat Asia yang diikuti delapan negara, Dian berjaya setelah menyenandungkan Antara Anyer dan Jakarta, lagu yang pernah dipopulerkan penyanyi Malaysia, Sheila Madjid. Modal sebagai juara Asia membawanya ke Negeri Sakura, Jepang, di tahun yang sama, beradu vokal dengan para penyanyi Jepang.
"Sebagai bintang tamu, saya bangga menjadi juara karena mampu mengalahkan para penyanyi Jepang. Lebih bangga lagi setelah sadar bahwa saya adalah putri daerah," tuturnya saat berbincang dengan Kompas, Jumat pekan lalu, di sebuah kafe di atas empasan ombak Pantai Losari.
Tahun-tahun sebelumnya prestasi dari menyanyi kerap diraihnya. Selain menjadi juara nasional kedua Bintang Radio tahun 1996, tahun 1995 ia meraih juara pertama festival menyanyi mahasiswa se-Indonesia. Tahun 1997 dikirim ke Brunei Darussalam sebagai wakil mahasiswa Indonesia dan meraih predikat penyanyi kontemporer terbaik. Atas prestasinya itu, tahun 2000 gadis Bugis-Makassar yang fasih berbahasa Banjar ini menjadi duta wisata Indonesia, yang memungkinkannya bisa menginjakkan kaki di Jerman, Perancis, Belanda, dan sejumlah negara di Asia.
KESEMPATAN menjadi penyanyi nasional sesungguhnya telah terbuka lebar. Bukan hanya karena berbekal prestasi yang komplet, mulai dari prestasi lokal, nasional, regional, dan bahkan prestasi internasional, tetapi karena "garis nasib" yang menentukan bahwa Dian harus dikenal sebagai penyanyi lokal, khususnya untuk kawasan Sulawesi.
Kesempatan pertama datang di tahun 1990 saat dia masuk dapur rekaman JK Record di Jakarta atas sponsor pemimpin sebuah organisasi kepemudaan. Baru membawakan satu lagu ciptaan Pance Pondaag, tidak ada lagi kelanjutan.
Kesempatan kedua di tahun 1997. Namun, rekaman di tempat Rinto Harahap itu gagal total. Sebab, dalam perkembangannya, Jakarta disapu kerusuhan massal yang memaksa Presiden Soeharto lengser. Tahun 2001 ada tawaran rekaman lagi dari Musica Studio, tetapi gagal karena Dian harus tinggal enam bulan di Jakarta. "Orangtua tak mengizinkan saya berlama-lama di Jakarta," kata mantan Ketua Senat Mahasiswa Sastra Inggris UMI ini.
Sadar bahwa dunia rekaman, apalagi di tingkat daerah, tidak akan menuai hasil secara ekonomis, dia memantapkan diri di jalur panggung atau pentas. Hasilnya, seluruh daerah di kawasan timur Indonesia sudah dijelajahinya. Tarifnya bervariasi, dari tidak dibayar untuk urusan amal sampai pernah dibayar puluhan juta karena diundang sebuah kabupaten yang kaya-raya di Kalimantan Timur.
"Tetapi di TVRI Makassar saya biasa diberi honor Rp 3.500," katanya sambil tergelak. Namun, cepat dia menambahkan, "Saya justru berterima kasih kepada TVRI Makassar karena merekalah yang menjadikan saya begini."
Dari hasil jerih payahnya sebagai penyanyi lokal, kini kemana-mana Dian berkendaraan mobil mungil warna biru tua buatan Korea, meski dia mengakui kendaraan itu diperoleh dengan cara mencicil.
Sebuah rumah yang tidak disebutkan lokasinya juga menjadi simbol atas konsistensinya menyanyi. "Bukan bermaksud riya kalau 5 November nanti saya berencana pergi umrah ke Tanah Suci," kata perempuan yang pernah bercita-cita menjadi diplomat dan kini menjadi tulang punggung keluarga ini.
Dian mengaku harus berterus terang soal penghasilan dan pencapaian prestasinya, tidak lain untuk memotivasi dan mendorong sesama penyanyi Sulawesi Selatan.
BAKATNYA dalam menyanyi turun dari sang ayah, M Mappaselleng Dg Maggaoe (75), seniman yang menguasai alat musik tradisional sinrilik. Sedangkan almarhumah ibunya, Insana Dg Bae, menurunkan jiwa seni meski bukan musik. Itu sebabnya, seluruh delapan anak pasangan Mappaselleng-Insana berbakat seni-dari seni drama, pentas, musik, hingga puisi. Bahkan, Dian mengaku, sebelum menjadi mahasiswa, piala juara lebih banyak disabet untuk lomba pidato dan puisi. Mappaselleng yang menjadi juru penerang karena pernah menjadi Kepala Kanwil Penerangan di Kalimantan Timur memberi nama anak-anaknya dengan "Nur" atau "Dian".
Dian mengaku sangat menghormati orangtuanya. Bukan karena mereka mengajari anak-anaknya budaya siri, di mana dalam kearifan lokal ini harga diri di atas segala-galanya, tetapi juga sikap mandiri yang luar biasa. "Mereka punya pengetahuan luas, teguh, dan punya memori yang kuat, serta selalu mengajarkan kemandirian, termasuk mandiri buat perempuan. Mereka adalah idola saya dalam segala hal," kata Dian, anak ketujuh pasangan Mappaselleng-Insana.
Sadar bahwa menyanyi mengenal batas usia, Dian berusaha memacu diri untuk selalu berprestasi (baca profesional) dalam menyanyi. Karena dunia panggung diyakini telah memberinya penghidupan, dia melakukan yang terbaik buat hadirin. Dalam setiap kesempatan, tidak jarang Dian turun panggung untuk sekadar menyapa dan menyentuh hadirin, dalam bahasa daerah tentunya. Cara berkomunikasi dengan hadirin inilah yang menurut Dian tak banyak dimiliki penyanyi lokal.
"Kadang mereka menyanyi sekadar melaksanakan tugas sesuai dengan tarif, padahal sapaan dan sentuhan kepada hadirin sangat penting," kata perempuan yang mengaku ingin cepat-cepat menikah ini.
Setelah dunia panggung pudar dan menjauh seiring berjalannya waktu, Dian sudah siap mendirikan bina vokalia untuk menampung anak-anak berbakat Sulsel dalam berolah suara. Obsesi lain yang akan diwujudkannya dalam waktu dekat ialah mendirikan wadah atau paguyuban tempat seniman Sulsel bisa bertemu dan bertukar pikiran menyiasati "hidup setelah nyanyi". Di sini seniman sepuh dan seniman muda bisa berbagi pengalaman. "Saya sedih melihat kebanyakan seniman lokal menderita di saat beranjak tua," kata Dian, yang pernah membacakan teks sumpah setia di depan Presiden (saat itu) BJ Habibie.
Satu hal yang disesali dalam hidupnya, Dian tidak bisa lagi berbagi waktu untuk membalas surat-surat dari penggemar yang tersebar di berbagai pelosok Nusantara akibat termakan kesibukannya sendiri. Padahal, tanpa mereka, "Saya bukanlah siapa-siapa," akunya. (PEPIH NUGRAHA)
7 comments:
Kang Pepih, Thanks atas artikelnya. Saya termasuk penggemar berat Dian Ekawati waktu masih mahasiswa dulu di Makassar. Suaranya jernih dan memukau. Dimana ya dia sekarang? :D
Sampai saat ini Dian Ekawaty masih di Makassar. Dan setahu saya masih menjomblo. Masih juga aktif menerima order menyanyi untuk acara-acara tertentu...
Dian aktif dalam kampanye kemarin, membantu Amin Syam. ternyata salah dalam meprediksi patron :)
Iyya, Dian masih tetap di Makassar. Januari 2008 yang lalu, Dian sempat menghibur untuk masyarakat KKSS di Anjo-Nagoya, Jepang dalam rangka pengumpulan dana untuk korban banjir di Sulawesi Selatan.
bro, kalo ada yang tau contact person nya Dian ato Dian baca post ini, tlg beri tahu gw ke andiziad@yahoo.com
thx so much.
kang pepih
dian memang mempesona, suaranya keren dan memuakau deh
saya juga lagi nyari contactnya dian ini. teman lama yang lama banget ngga jumpa.
bem [for hp]
Adaji dian ekawati n' sekarang lg nyambi jg jd penyiarx Bharata FM program film n' film.. dengarmi ..
Post a Comment