Tuesday, September 12, 2006

Catatan (9): Kekerasan Kata-kata

Benarkah?

TANGGAL 1 September lalu aku menyempatkan diri menghadiri seminar “Vitalisasi Spiritualitas dalam Pemberdayaan Ekonomi” di Bentara Budaya Jakarta. Bingung ‘kan bagaimana spiritualitas yang biasanya berkaitan dengan hal-hal pencapaian agung harus bersanding dengan ekonomi yang mengenal istilah “homo economicus” untuk merujuk pada ketamakan. Kalau dalam ilmu politik, mungkin sandingannya Machiavelis, yakni menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Pembicara antara lain Gede Prama, Anton J Supit, Moeslim Abdurrahman, dan Jansen Sinamo. Tetapi yang mau kucatat di sini adalah pendapat Gede Prama yang cukup menyentak, tetapi masuk akal. Dia mulai dengan mengungkapkan ketakutan dan kengeriannya atas kekerasan kata-kata dan kekerasan pikiran. Kekerasan dengan kata-kata lebih menyakitkan dari kekerasan fisik,” katanya.

Istri yang cerewet, suami yang suka memaki-maki, anak-anak yang saling ledek, pacar yang membentak-bentak pasangannya, pemimpin yang menyalahkan dengan kata-kata tak pantas hanya untuk menyembunyikan ketidakmampuannya, pengemis yang mengumpat karena tidak diberi, adalah contoh bagaimana kata-kata yang hanya berupa rangkaian huruf lantas membentuk kalimat bisa lebih menyakitkan daripada kekerasan fisik.

Gede Prama menyarankan, seorang ibu yang memaki-maki anaknya yang nakal lebih baik melakukan “kekerasan fisik” dengan menjewer atau mencubit anak itu daripada menghamburkan kata-kata yang tidak hanya menyakitkan hati si anak itu sendiri, tetapi juga merembet menyakitkan suami, saudara, dan bahkan tetangga.Itu sebabnya saya menyukai Mahatma Gandhi dengan gerakan ahimsa atau violence movement-nya, gerakan tanpa kekerasan, tanpa mengeluarkan kata-kata apalagi perlawanan fisik, tetapi mampu mengusir penjajah,” paparnya.

Gede Prama juga tidak setuju dengan kekerasan pikiran yang kalau dilakukan akan sama menyakitkannya dari kekerasaan fisik, bahkan lebih. Elang memangsa makanannya, katanya, hanya sebatas memenuhi perutnya. Setelah kenyang berhenti, dan setelah lapar mulai mencari lagi. Tetapi tidak manusia, katanya lagi, Diberi kesempatan menebang pohon di hutan satu hektar, timbul kekerasan dalam pikirannya untuk menebangi seluruh hutan.”

Aku tercenung. Boleh juga pendapatnya. Tetapi untuk tindakan kekerasan fisik seorang ibu terhadap anak daripada mengumpat tanpa henti, apakah itu sebuah solusi? Bukankah kekerasan fisik terhadap anak hanya mengajarkan anak itu berbuat kekerasan terhadap yang lainnya karena meniru ibunya?

Pepih Nugraha
Palmerah Selatan, 12 September 2006

3 comments:

Yati said...

wah, kalo kekerasan kata2, pasti membekas dalem banget...jauh ke dalam...! Maka lidah yang mengolah kata pun kadang lebih tajam dari sebilah pedang.

ah, sok tau nih saya... :)

Pepih Nugraha said...

Iya Yan... tapi 'kan kalau dalam konteks debat, malah kita harus punya referensi kuat dan pengungkapan kata-kata yang memadai, yang kadang harus dicari untuk "mengalahkan" lawan bicara kita... Tetapi soal kekerasan fisik, meski itu nyubit atau njewer, saya kok nggak setuju ya, apalagi itu dilakukan pada anak!

venus said...

kata2 memang bisa lebih menyakitkan dari kekerasan fisik. saya setuju banget. apa ya istilahnya? kekerasan verbal? tapi kalo untuk anak2, ah, sama gak bagusnya kayaknya ya..:)