Sunday, January 27, 2008

Catatan (38): Kenang-kenangan dengan Pak Harto


Selamat Jalan Pak Harto

SAYA sedang dalam perjalanan ke Makro belanja bulanan bersama keluarga ketika radio swasta di mobil menyiarkan suara khas Pak Moerdiono. "Benar, beliau telah wafat," katanya, Minggu (27/1) pukul 13.55. Tentu saja yang dimaksud "beliau" oleh Pak Moer, adalah mantan Presiden Soeharto atau biasa disapa Pak Harto. Inalillahi....

Sesuai prosedur kerja, saya kontak Pemimpin Redaksi Suryopratomo, selain mengabarkan Pak Harto wafat, siapa tahu Mas Tom, demikian ia biasa dipanggil, belum mengetahui informasi itu. Setelah tersambung, Mas Tom bertanya, "Apakah memungkinkan untuk dicetak Kompas Update. Saya jawab, "Secara teknis memungkinkan, akan tetapi prospek menyebarkan koran itu sampai ke pembaca menghadapi kesulitan."

Saya katakan pula, lebih baik kita mati-matian diproduk saja untuk Kompas pagi besok. Mas Tom ternyata sangat setuju, baru siangnya saya perbarui di Kompas Update. Ya, sejak 4 Januari 2008 saya bertugas di Kompas Update sebagai Wakil Manajer Produksi, merangkap sebagai Chairman of Community Commision di Megaportal Kompas.com. Kompas update adalah Kompas yang beritanya telah diperbarui dan terbit mulai pukul 12.00 siang.

Percakapan pun ditutup. Saya langsung memutar arah, kembali ke rumah mengantarkan keluarga dan ngebut dengan kendaraan lainnya untuk segera sampai di kantor. Di kantor bertemu Taufik Miharja, Pemred Kompas.com, Budiman Tanurejo, Andi Suruji, James Luhulima dan kemudian Mas Tom sendiri. Perencanaan pun dimulai. Tetapi sebagai orang yang diserahi tugas di Kompas Update, saya baru bertugas tengah malam nanti sampai pagi, sampai Pak Harto dikebumikan. Saya pun menginap di kantor.

Kembali kepada Pak Harto. Ia mulai dirawat sejak 14 Januari 2008 lalu di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Karena ada ultimatum Kompas Update harus terbit meski Sabtu atau Minggu kalau Pak Harto wafat, saya jadi tidak bisa bepergian jauh. Ke Cirebon untuk menengok adik yang melahirkan pun tertunda.

Sebagai wartawan yang pernah merasakan suasana kerja saat Soeharto berkuasa, terasalah bahwa Pak Harto adalah orang besar, setidak-tidaknya bagi saya pribadi. Maaf kalau harus membandingkan dengan presiden-presiden setelahnya, tidak bisa disamakan, baik dari wibawa maupun ketegasan sikapnya.

Saya teringat kepada peristiwa 19 Desember 1998, saat saya berhasil masuk Cendana No 8, kediaman Pak Harto, atas jasa baik Yorrys Raweyai. Kala itu Pak Harto kedatangan tamu Ketua PBNU, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Presiden yang sedang menjabat kala itu BJ Habibie. Saya menunggu kira-kira satu jam bersama wartawan senior Suara Pembaruan, yang saya lupa namanya.

Alat perekam sudah di tangan, plus kamera saku. Gus Dur datang bersama putrinya, Yenny dan asistennya, Sastro. Saya harus menunggu di salah satu ruang selama kira-kira satu jam. Sempat berbincang dan bersalaman dengan Bambang Trihatmojo. Bahkan kala Pak Harto berbicara empat mata dengan Gus Dur, saya diberi kesempatan menguping pembicaraan lewat earphone yang dipinjamkan Yorrys, earphone mini yang saya kenal dalam dunia intelijen. Suara Pak harto jernih sekali terdengar, meski saya mendengarnya dari halaman luar. Harus saya katakan, saya bisa menembus Cendana pun dengan menumpang mobil Yorrys.

Setelah menunggu beberapa lama, Pak Harto dan Gus Dur bersama beberapa asistennya dan Yenny keluar. Tanpa menyia-nyiakan waktu, saya ambil posisi persis di depan Pak Harto dan Gus Dur, jepret... jepret.... saya ambil gambarnya. Tentu saja saya menyalahi prosedur karena seharusnya tidak boleh mengambil gambar dari depan. Tapi masak saya hanya dapat gambar punggung Pak Harto? Saya nekat jadinya, meski setelah itu saya diseret para pembantu Pak Harto dan dinasihati asisten terdekat Soeharto, Pak Sweden, dengan keras. Ah, cuwek saja!

Setelah bertanya pada Gus Dur mengenai pertemuan itu, komplitlah saya memperoleh bahan berita untuk Kompas Minggu besok: foto plus berita! Sementara, Pak Harto tidak bersedia diwawancarai dan mengucapkan terima kasih atas kedatangan wartawan di kediamannya.

Esoknya, foto dan berita saya dipasang sebagai berita utama (headline) di Kompas Minggu, bahkan Jakarta Post pun saat itu memuat foto karya saya itu karena meminjam dari Kompas. Memang, hanya saya dan wartawan Suara Pembaruan itu sajalah yang mendapat foto Pak Harto! (lihat foto di atas).

Sahabat bisa melihat foto karya jurnalistik saya di atas, plus berita bareng-bareng dengan judul "Gus Dur-Soeharto Bahas Dialog Nasional, Presiden Habibie Menolak". Barangkali itulah kenangan manis saya sebagawai wartawan bersama Pak Harto, selain juga berkesempatan pernah ke Bosnia tahun 1997 untuk melihat pendirian Masjid Muhammad Soeharto di Bosnia.

Dukanya, Soeharto sangat membatasi gerak wartawan dalam menulis. Bahkan namanya pun harus selalu ditulis "Presiden Soeharto". Tidak bisa "Pak Harto", "Soeharto" atau nama lainnya. Saking kuatnya Soeharto berkuasa, bahkan seorang Camat pun bisa meminta satu berita tidak diturunkan! Di salah satu dinding di Harian Kompas, ada satu "monumen" berupa kertas lebar bertuliskan larangan-larangan berita tertentu dimuat! Sejak Pak Harto lengser 20 Mei 1998, sejarah kelam pers Indonesia pun berakhir.

Sekali lagi, dengan segala kenangan pahit dan manis bekerja di bawah tekanan Soeharto, saya dengan tulus mengucapkan selamat jalan kepada Pak Harto. Semoga menjadi tenang di alam sana....

Wednesday, January 23, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (43)


Berita Dibuang Sayang


SETIAP hari Senin, saya biasa menyiapkan dua atau tiga tulisan untuk "Telusur", rubrik teknologi informasi yang muncul setiap Kamis di Harian Kompas. Kali ini saya siapkan tulisan mengenai para kandidat presiden Amerika Serikat yang menggunakan internet sebagai "media baru" kampanye mereka. Tulisan sudah selesai saya kerjakan dan siap saya kirimkan ke editor Humaniora.


Akan tetapi, hari Selasa (22/1) lalu saya tertegun saat membaca berita yang sama di Kompas. Tentunya bukan tulisan saya karena memang belum dikirimkan, tetapi tulisan rekan senior saya, Diah Marsidi. Apa boleh buat, saya tak mungkin mengirimkan tulisan yang sama karena sumbernya pun sama.


Biar sekalian belajar dari senior mengenai kelemahan saya dalam menulis, di sini saya sertakan tulisan saya yang tidak saya kirimkan dengan tulisan Diah Marsidi yang dimuat Kompas, Selasa (22/1). Selamat menikmati:


Internet, “Ladang Baru” Pemilihan Presiden AS

SETELAH pemilihan presiden Perancis tahun lalu dihiasi perang blog antarkandidat, kini perang pengaruh di dunia maya dalam pemilihan presiden Amerika Serikat berlangsung seru, seperti halnya kampanye di dunia nyata.

Para kandidat, baik dari Partai Demokrat maupun Republik, memanfaatkan “ruang maya” yang tak terbatas ini dengan mendirikan stan atau café maya di berbagai portal jaringan sosial ternama seperti MySpace, Facebook dan YouTube. Di café maya itu, kandidat presiden bisa berinteraksi dan beramah tamah dengan para pemilih yang umumnya kaum muda Amerika yang menganggap internet bagian dari hidup sehari-hari. Tengok di depan mimbar saat seorang kandidat kampanye, pastilah tertera nama dan alamat situs pribadinya!

Kantor berita Perancis AFP baru-baru ini melaporkan satu jajak pendapat yang dilakukan Pew Research Center, lembaga penelitian khusus internet. Jajak pendapat itu mengungkapkan, sekitar seperempat masyarakat AS secara teratur menggunakan internet untuk mengetahui berita mengenai pemilihan presiden yang kini sedang berlangsung.

Tentu saja jumlah ini masih jauh lebih sedikit dibanding penggunaan televisi untuk mengetahui perkembangan pemilihan presiden. Akan tetapi, angka ini menunjukkan peningkatan dua kali lipat dibanding pemilihan presiden empat tahun lalu (2004) dan tiga kali lipat dibanding pemilihan Presiden 2000. Pada kedua pemilihan itu George W. Bush dari Republik keluar sebagai pemenang.

Mike Feldman, mantan penasihat senior untuk Al Gore dalam kampanye presiden 2000 menyebutkan, pembahasan mengenai kampanye dan isu-isu yang dilontarkan makin banyak dilakukan lewat internet. “Kalau masih ada yang belum melakukannya, maka dia ketinggalan," katanya.

Jajak pendapat itu mengungkapkan, 42 persen pengguna internet di AS adalah mereka yang berusia di bawah 30 tahun dan akrab menggunakan situs jejaring sosial seperti MySpace atau Facebook untuk mempromosikan kandidat, sebagaimana mereka mempromosikan film atau grup musik di kamar masing-masing situs jejaring sosial yang setiap harinya diakses ratusan juta netter itu.

Feldman berpendapat, sejumlah kandidat presiden mencoba untuk mengulangi sukses situs web Howard Dean saat pemilihan presiden tahun 2004 lalu. Disebutkan, seorang calon yang berpeluang tipis seperti Ron Paul dari Republik, tiba-tiba menjadi berita ketika web-nya mampu mengumpulkan 20 juta dolar AS pada bulan-bulan terakhir tahun 2007. Sementara, calon presiden berkulit hitam Barack Obama dari Demokrat, menggunakan internet untuk menyaingi popularitas lawan separtainya, Hillary Clinton, dalam pengumpulan dana dan kampanye agar datang saat hari pencoblosan.

Obama mengklaim, hingga 3 Januari lalu 60 persen dari 500.000 penyumbang menyetor dana secara online lewat internet. Dengan kampanye online, Obama berhasil “merekrut” 6.000 kelompok sukarelawan dan 20.000 web untuk pengumpulan dana bagi kubunya.

Para calon pemilih dapat membandingkan para kandidat lewat situs www.techpresident.com yang mencatat seberapa lama dan sering para kandidat menggunakan internet sebagai “media baru” kampanye sekaligus media komunikasi politik mereka. Ada pula situs www.electoralcompass.com dimana para calon pemilih disodori 36 pertanyaan seperti masalah Irak, pemanasan global, dan hak kepemilikan senjata. Setiap jawaban dirujuk kepada kandidat yang pandangannya yang paling dekat dengan pandangan pemilih.

Meskipun internet terbukti banyak digunakan dalam kampanye pemilihan presiden, sejumlah analis mengingatkan, penggunaan internet yang makin meluas ini bukanlah satu-satunya cara untuk menang. Tetapi tidak menggunakan internet, kata analis Alamcy, “Jelas merupakan sesuatu yang tidak termaafkan.”

Harap diingat pula, kandidat dari Republik, George Allen, justru hancur lebur dan kalah dalam pemilihan di tingkat Senat gara-gara di internet beredar video amatir dirinya yang mengatakan "macaca". Kata-kata yang bisa diartikan secara bebas sebagai “monyet” itu ditujukan kepada salah seorang master campaign-nya yang keturunan India.

Kata-kata yang dianggap ejekan etnik itu meluncur begitu saja dari mulut Allen sambil menunjuk anak muda keturunan India itu. Sakit hati dengan gaya rasis Allen, si pemuda menyebar video kampanye itu di internet. Hasilnya, Allen terlempar sejak dini dari putaran pemilihan presiden yang bergengsi itu. (PEP)

Monday, January 14, 2008

Catatan (38): Dian Ekawaty




Dimanakah Dia Sekarang?


SELAGI membuka-buka file CD dan VCD di perpustakaan pribadi, ketemulah satu VCD dari sekian VCD lagu-lagu Bugis-Makassar yang pernah saya kumpulkan selagi bertugas di Makassar, 2001-2004. VCD itu berisi rekaman suara dan gambar penyanyi Dian Ekawaty. Dia penyanyi daerah yang punya suara khas untuk lagu-lagu Bugis-Makassar, dan karena itulah saya pernah membuat tulisan sosok tentangnya.

Ketika saya dengar ulang suaranya pada lagu Indo Logo, Bulu Alauna Tempe, dan Bangkena Cini, ingatan saya terpaut pada Makassar, serasa tampak di depan mata. Saya mendengar suara Dian untuk pertama kalinya di rumah sahabat dan saudara saya di Makassar, Pak Kiblat Said, lewat MP3 di komputernya. Bangkena Cini yang dinyanyikannya terasa menyentuh, meski saya tidak mengerti artinya. Dari situlah saya terkesan dengan suaranya dan saya harus mencari orangnya. Lewat jasa baik Ashariyati Salam, saya mendapatkan kontaknya dan berkesempatan menemuinya. Tetapi, dimakah Dian Ekawaty sekarang?

Berikut adalah tuliasan saya mengenai Dian Ekawaty yang dimuat Kompas, 28 Oktober 2003. Wawancara berlangsung di Balai Rate, Pantai Losari, Makassar, pada satu senja yang indah. Ketika data kurang, saya beberapa kali meneleponnya sampai kemudian jadilah tulisan di bawah ini:

Dian Ekawaty, Tetap Tegar di Jalur Lokal

DIAN Ekawaty adalah seorang dari sedikit penyanyi Bugis-Makassar yang tetap setia menyanyikan lagu-lagu daerah Sulawesi Selatan. Meski menempuh jalur lagu-lagu pop nasional berbahasa Indonesia diyakini akan lebih cepat mengorbitkan dirinya di pusaran ketenaran sebagai seorang artis penyanyi, Dian bergeming. Dia telanjur larut dalam kecintaan menekuni senandung daerah. Dari larut, kemudian hanyut melantunkan lagu-lagu berbahasa Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja, empat bahasa di ranah Sulawesi Selatan yang sekaligus mewakili empat etnis besar.

Modal untuk go national sesungguhnya sudah lebih dari cukup. Simak saja prestasi dara kelahiran 29 Maret ini-dia merahasiakan tahunnya, tetapi diperkirakan lahir tahun 1972- yang pernah menjadi penyanyi wanita terbaik se-Asia lomba tarik suara Laser Disc Karaoke Pioneer Championships di Singapura tahun 1991, saat ia mulai kuliah di Sastra Inggris Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar.

Sebelum menuju Singapura, Dian harus menyisihkan ratusan rivalnya dari berbagai pelosok Tanah Air. Mula-mula dia menyisihkan ribuan rivalnya di Sulawesi Selatan. Lolos sebagai juara pertama, harus beradu di tingkat nasional yang diadakan di Jakarta.

Juri untuk tingkat nasional, antara lain Is Haryanto, Wieke Gur, Chandra Darusman, dan Purwacaraka. Di sini tersaring finalis masing-masing 12 pria dan wanita. Namun, tim juri menetapkan Dian sebagai juara pertama kelompok wanita dan Julius Vincentin sebagai juara pertama pria.

Di tingkat Asia yang diikuti delapan negara, Dian berjaya setelah menyenandungkan Antara Anyer dan Jakarta, lagu yang pernah dipopulerkan penyanyi Malaysia, Sheila Madjid. Modal sebagai juara Asia membawanya ke Negeri Sakura, Jepang, di tahun yang sama, beradu vokal dengan para penyanyi Jepang.

"Sebagai bintang tamu, saya bangga menjadi juara karena mampu mengalahkan para penyanyi Jepang. Lebih bangga lagi setelah sadar bahwa saya adalah putri daerah," tuturnya saat berbincang dengan Kompas, Jumat pekan lalu, di sebuah kafe di atas empasan ombak Pantai Losari.

Tahun-tahun sebelumnya prestasi dari menyanyi kerap diraihnya. Selain menjadi juara nasional kedua Bintang Radio tahun 1996, tahun 1995 ia meraih juara pertama festival menyanyi mahasiswa se-Indonesia. Tahun 1997 dikirim ke Brunei Darussalam sebagai wakil mahasiswa Indonesia dan meraih predikat penyanyi kontemporer terbaik. Atas prestasinya itu, tahun 2000 gadis Bugis-Makassar yang fasih berbahasa Banjar ini menjadi duta wisata Indonesia, yang memungkinkannya bisa menginjakkan kaki di Jerman, Perancis, Belanda, dan sejumlah negara di Asia.

KESEMPATAN menjadi penyanyi nasional sesungguhnya telah terbuka lebar. Bukan hanya karena berbekal prestasi yang komplet, mulai dari prestasi lokal, nasional, regional, dan bahkan prestasi internasional, tetapi karena "garis nasib" yang menentukan bahwa Dian harus dikenal sebagai penyanyi lokal, khususnya untuk kawasan Sulawesi.

Kesempatan pertama datang di tahun 1990 saat dia masuk dapur rekaman JK Record di Jakarta atas sponsor pemimpin sebuah organisasi kepemudaan. Baru membawakan satu lagu ciptaan Pance Pondaag, tidak ada lagi kelanjutan.

Kesempatan kedua di tahun 1997. Namun, rekaman di tempat Rinto Harahap itu gagal total. Sebab, dalam perkembangannya, Jakarta disapu kerusuhan massal yang memaksa Presiden Soeharto lengser. Tahun 2001 ada tawaran rekaman lagi dari Musica Studio, tetapi gagal karena Dian harus tinggal enam bulan di Jakarta. "Orangtua tak mengizinkan saya berlama-lama di Jakarta," kata mantan Ketua Senat Mahasiswa Sastra Inggris UMI ini.

Sadar bahwa dunia rekaman, apalagi di tingkat daerah, tidak akan menuai hasil secara ekonomis, dia memantapkan diri di jalur panggung atau pentas. Hasilnya, seluruh daerah di kawasan timur Indonesia sudah dijelajahinya. Tarifnya bervariasi, dari tidak dibayar untuk urusan amal sampai pernah dibayar puluhan juta karena diundang sebuah kabupaten yang kaya-raya di Kalimantan Timur.

"Tetapi di TVRI Makassar saya biasa diberi honor Rp 3.500," katanya sambil tergelak. Namun, cepat dia menambahkan, "Saya justru berterima kasih kepada TVRI Makassar karena merekalah yang menjadikan saya begini."

Dari hasil jerih payahnya sebagai penyanyi lokal, kini kemana-mana Dian berkendaraan mobil mungil warna biru tua buatan Korea, meski dia mengakui kendaraan itu diperoleh dengan cara mencicil.

Sebuah rumah yang tidak disebutkan lokasinya juga menjadi simbol atas konsistensinya menyanyi. "Bukan bermaksud riya kalau 5 November nanti saya berencana pergi umrah ke Tanah Suci," kata perempuan yang pernah bercita-cita menjadi diplomat dan kini menjadi tulang punggung keluarga ini.

Dian mengaku harus berterus terang soal penghasilan dan pencapaian prestasinya, tidak lain untuk memotivasi dan mendorong sesama penyanyi Sulawesi Selatan.

BAKATNYA dalam menyanyi turun dari sang ayah, M Mappaselleng Dg Maggaoe (75), seniman yang menguasai alat musik tradisional sinrilik. Sedangkan almarhumah ibunya, Insana Dg Bae, menurunkan jiwa seni meski bukan musik. Itu sebabnya, seluruh delapan anak pasangan Mappaselleng-Insana berbakat seni-dari seni drama, pentas, musik, hingga puisi. Bahkan, Dian mengaku, sebelum menjadi mahasiswa, piala juara lebih banyak disabet untuk lomba pidato dan puisi. Mappaselleng yang menjadi juru penerang karena pernah menjadi Kepala Kanwil Penerangan di Kalimantan Timur memberi nama anak-anaknya dengan "Nur" atau "Dian".

Dian mengaku sangat menghormati orangtuanya. Bukan karena mereka mengajari anak-anaknya budaya siri, di mana dalam kearifan lokal ini harga diri di atas segala-galanya, tetapi juga sikap mandiri yang luar biasa. "Mereka punya pengetahuan luas, teguh, dan punya memori yang kuat, serta selalu mengajarkan kemandirian, termasuk mandiri buat perempuan. Mereka adalah idola saya dalam segala hal," kata Dian, anak ketujuh pasangan Mappaselleng-Insana.

Sadar bahwa menyanyi mengenal batas usia, Dian berusaha memacu diri untuk selalu berprestasi (baca profesional) dalam menyanyi. Karena dunia panggung diyakini telah memberinya penghidupan, dia melakukan yang terbaik buat hadirin. Dalam setiap kesempatan, tidak jarang Dian turun panggung untuk sekadar menyapa dan menyentuh hadirin, dalam bahasa daerah tentunya. Cara berkomunikasi dengan hadirin inilah yang menurut Dian tak banyak dimiliki penyanyi lokal.

"Kadang mereka menyanyi sekadar melaksanakan tugas sesuai dengan tarif, padahal sapaan dan sentuhan kepada hadirin sangat penting," kata perempuan yang mengaku ingin cepat-cepat menikah ini.

Setelah dunia panggung pudar dan menjauh seiring berjalannya waktu, Dian sudah siap mendirikan bina vokalia untuk menampung anak-anak berbakat Sulsel dalam berolah suara. Obsesi lain yang akan diwujudkannya dalam waktu dekat ialah mendirikan wadah atau paguyuban tempat seniman Sulsel bisa bertemu dan bertukar pikiran menyiasati "hidup setelah nyanyi". Di sini seniman sepuh dan seniman muda bisa berbagi pengalaman. "Saya sedih melihat kebanyakan seniman lokal menderita di saat beranjak tua," kata Dian, yang pernah membacakan teks sumpah setia di depan Presiden (saat itu) BJ Habibie.

Satu hal yang disesali dalam hidupnya, Dian tidak bisa lagi berbagi waktu untuk membalas surat-surat dari penggemar yang tersebar di berbagai pelosok Nusantara akibat termakan kesibukannya sendiri. Padahal, tanpa mereka, "Saya bukanlah siapa-siapa," akunya. (PEPIH NUGRAHA)