Thursday, June 21, 2007

Berbagi Pengalaman Menulis (26)



Pengalaman Adhi KSP Menulis Konflik



ROBERT Adhi Kusumaputra adalah satu dari sekitar 250 wartawan Kompas yang tahan di segala cuaca. Ia sudah banyak makan asam garam di berbagai jenis liputan di berbagai wilayah, termasuk wilayah Sambas yang berdarah-darah, saat konflik etnis Melayu-Madura merebak. Ia termasuk wartawan yang "cepat kaki ringan tangan", tidak pernah menolak tugas. Ditugaskan dimana pun jadi.



Saya pribadi mengenail KSP, demikian ia biasa disapa, sejak masih mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi. Waktu itu, tahun 1988-an, KSP sudah menjadi calon koresponden (cakor), satu tingkatan yang berlaku di Harian Kompas sebelum mendapat brevet menjadi wartawan Kompas. Untuk mendapat brevet itu tidaklah mudah. Perlu merambah sejumlah wilayah.



Waktu KSP masuk Jakarta dan ditempatkan di seputar Tangerang, ia tercatat sebagai wartawan lapangan yang "berpenghasilan paling banyak" alias "paling kaya". Soalnya KSP wartawan yang sangat-sangat rajin dan produktif. Baginya, apa saja bisa menjadi berita dan menarik dibaca. Semangatnya luar biasa besar untuk menghasilkan karya tulis.



Waktu itu sebelum mendapat gaji tetap, penghasilan wartawan diukur dari banyaknya tulisan, juga kualitas tulisan. Kalau tulisannya bisa "leading" terus di halaman satu, jelas penghasilannya semakin banyak. Tidak heran kalau pada masa itu (1990-an) gaji awal wartawan sekitar Rp 500.000/bulan, Adhi bisa berpenghasilan lebih dari Rp 2 juta/bulan!



KSP kini punya blog http://adhikusumaputra.blogspot.com/ yang banyak dikunjungi berbagai kalangan dari berbagai belahan dunia. Sebagai wartawan yang pernah ditugaskan di daerah konflik, KSP (lihat foto di atas) punya pengalaman khusus yang akan ia ceritakan buat sahabat semua di bawah ini...






SAYA diminta sahabat saya Pepih Nugraha untuk menulis pengalaman saya selama menjadi wartawan Kompas di blognya (http://pepihnugraha.blogspot.com/). Dari sekian banyak pengalaman jurnalistik yang pernah saya jalani, ada satu pengalaman yang paling dahsyat, yang tidak mungkin saya lupakan hingga hari ini. Sangat sulit bagi saya untuk melupakannya, meskipun peristiwanya sudah berlangsung delapan tahun yang lalu. Kerusuhan etnis di Sambas, Kalimantan Barat yang menelan korban ribuan orang tewas dan ribuan rumah musnah. Beberapa di antaranya, saya saksikan langsung dengan mata kepala saya sendiri.



Saya sebetulnya sudah terbiasa melihat korban kekerasan pembunuhan. Maklum, saya cukup lama menjadi wartawan crime. Saya sudah terbiasa menjelajahi wilayah Jakarta dan sekitarnya, mencari rumah korban atau pelaku kejahatan. Mengenal polisi dari pangkat terendah sampai tertinggi. Dari tewasnya Aldi di rumah Ria Irawan di Lebak Bulus sampai pembunuhan maestro pelukis Basoeki Abdullah di Cilandak. Sungguh asyik dan menarik mengikuti perkembangan kasus-kasus seperti ini, ibaratnya wartawan pun menjadi detektif, reserse, atau Sherlock Homes!



Bagaimana bisa? Satu prinsip penting ketika Anda ingin menjadi wartawan yang "tahan segala cuaca" adalah menikmati pekerjaan Anda. Ketika Anda harus meliput peristiwa pembunuhan, kerjakan dengan sepenuh hati. Buat detil-detilnya, seperti Anda membaca cerita kriminal atau novel Agatha Christie. Tapi jangan menulis data fiktif, catatlah detil-detil fakta yang Anda lihat dan temukan di lapangan.



Nah, ketika saya bertugas di Kalimantan Barat, saya mengalami peristiwa dahsyat: meliput kerusuhan etnis di Sambas. Peristiwa yang hingga kini, sulit saya lupakan begitu saja. Betapa tidak? Saya melihat langsung pembantaian di depan mata saya. Isi perut dikeluarkan, hatinya dimakan (betul-betul dimakan), dan maaf, saya tak mau meneruskan detil soal ini. (http://adhikusumaputra.blogspot.com/search/label/Konflik%20Etnis%20di%20Sambas).



Tapi saya harap Anda bisa membayangkan betapa dahsyatnya peristiwa atau tragedi Sambas itu. Saya dengar beberapa polisi dan tentara mengalami gangguan jiwa karena shock melihat warga yang seharusnya mereka lindungi, tapi mereka tak mampu berbuat apa-apa.



Saya sendiri diasuransikan kantor saya, Kompas saat meliput tragedi Sambas itu. Saya dengar itu dari Pak Bambang SP (dulu Sekretaris Redaksi) soal asuransi ini. Ya betapa tidak. Selain menghadapi situasi yang bisa saja suatu hari saat meliput di daerah konflik, saya jadi korban dipanah orang tak dikenal misalnya, atau pada satu situasi, saya mengalami peristiwa di mana suara tembakan terdengar keras. Ternyata tentara dan polisi menghadang massa yang akan menyerang markas Polres Sambas. Ada sepuluh atau sebelas orang yang mati. Terbayang nggak kalau saya kena peluru nyasar waktu itu?



Tapi saya bersyukur, saya mengalami semua peristiwa itu, memandangnya sebagai petualangan jurnalis yang mengasyikkan. Sama mengasyikkannya ketika saya menjelajahi hutan Kalimantan, tidur di hutan di Taman Nasional Bentuang Karimun (belakangan menjadi TN Betung Kerihun). Hutan perawan, sungai jernih tanpa polusi. Waw. Belum lagi kalau saya ingat-ingat, perjalanan di Kalbar itu penuh pengalaman, seperti ban kempes kena paku di tengah hutan. Kalau Anda mengalami hal seperti itu, apa yang Anda pikirkan? Di tengah hutan yang sangat jarang dilalui orang lain lho. Pengalaman-pengalaman jurnalistik seperti ini, bagi saya, merupakan petualangan, adventure yang sesungguhnya. (http://adhikusumaputra.blogspot.com/search/label/Taman%20Nasional%20Bentuang%20Karimun)



Ketika belum lama ini, saya mendapat kesempatan menjelajahi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, saya merasa mendapat satu tantangan baru. Bahkan saya juga ditantang untuk melakukan diving, selam di bawah laut. Sensasi yang luar biasa, bisa melihat ciptaan Tuhan di bawah laut.



Percaya nggak sih, jika kita menganggap setiap perjalanan sebagai suatu sensasi, pasti kita akan mengalami hal-hal baru, bukan sekadar rutinitas. Meliput di laut, saya nikmati perjalanan itu dengan sukacita. Bahkan saat scuba diving pun, saya merasa ada sensasi dalam hidup saya. Ketika saya dapat tugas untuk naik helikopter, keliling Jakarta dan Tangerang, saya pun menikmati sensasi ini sebagai pengalaman yang menyenangkan. Demikian halnya ketika ada sesi driving range, latihan golf, saya menikmatinya sebagai sensasi dalam pengalaman jurnalistik. Tak ada yang tidak menyenangkan.



Saya memang suka lapangan. Jadi kalau Pepih bilang, tahan di segala cuaca, ya ada benarnya. Hujan atau panas terik, di hutan, di laut, di udara, di darat, semua sudah saya jalankan. Jika Anda ingin menjadi wartawan sejati, nikmatilah perjalanan jurnalistik yang penuh sensasi. JIka ada yang bertanya, wah bagaimana, liputan saya cuma mewawancarai pejabat? Ya, mungkin saja mewawancarai pejabat ada seninya, apalagi menembus bahwa kita yang pertama. Tapi carilah waktu, kesempatan untuk menjelajah ke berbagai daerah di Nusantara ini.



Bagi teman yang sedang bertugas di daerah, manfaatkan kesempatan ini untuk melakukan banyak perjalanan ke banyak tempat. Rugi lho kalau cuma keliling di dalam kota. Anda bisa jalan-jalan dan menulis perjalanan Anda.



Bagi yang bertugas di Jakarta yang macet ini, yah, nikmati gemerlap Jakarta dari berbagai sudut. Dari orang susah sampai orang kaya. Wartawan kan hidup di dua dunia. Mungkin pagi sampai sore, dia melihat kemiskinan di rumah-rumah kumuh, tapi bisa jadi malam harinya, dia sudah menikmati wine dan cerutu di hotel berbintang lima, atau ngopi di Starbucks atau Coffee Bean. Why not? Tak ada yang salah dan jangan merasa bersalah. Ini dunia yang saya nikmati. Yang penting, komitmen kita, mengingatkan yang mapan, menghibur yang papa tetap muncul dalam tulisan-tulisan kita. Saya senang bergaul sehingga saya punya banyak teman dari berbagai kalangan dan lapisan masyarakat. Itu kebahagiaan tersendiri bagi saya.



Jika Anda sudah komitmen memilih bekerja sebagai wartawan, nikmati semua perjalanan jurnalistik Anda di mana pun. Entah di kota kecil, di hutan belantara, di laut lepas, ataupun di kota-kota besar yang macet. Semua dinikmati. Tak perlu berkeluh kesah. Bahkan bersyukurlah bahwa wartawan itu profesi yang luar biasa. Saya yakin, Anda akan betul-betul menikmati hidup Anda setiap saat.



Adhi Kusumaputra

http://adhikusumaputra.blogspot.com/

Saturday, June 16, 2007

Catatan (21): Koran Jepang



Koran Lama




TAHUN 2002 lalu, saat saya menjadi Kepala Biro Indonesia Timur berkedudukan di Makassar, saya mendapat tugas ke Fukuoka, Jepang. Undangan datang dari pemerintah provinsi setempat (perfektur). Saya berangkat sendiri menggunakan JAL dari Jakarta. Mendarat di Narita Tokyo, lalu masih meneruskan perjalanan ke Fukoka dengan pesawat berbeda.


Saya menyiapkan beberapa tulisan, yang tentu saja sudah dimuat di Harian Kompas tidak lama setelah saya kembali ke Jakarta, kemudian ke Makassar. Kelak, saya akan melampirkan beberapa tulisan hasil perjalanan saya ke Fukuoka di sini.


Dalam satu sesi, saya berkesempatan mengunjungi koran lokal, namanya Nipponishi Shimbun. Saya menyaksikan proses mereka rapat sore dan menentukan perencanaan buat besok. Saat saya makan malam dengan ikan yang serba mentah (sushi), saya bisa bertatap muka dengan sejumlah wartawan, seusia saya kira-kira.


Harus saya katakan, saya tidak begitu menikmati ikan mentah, apalagi beberapa ikan yang disajikan dan telah diiris-iris berbentuk fillet itu masih hidup! Tidak tega rasanya, meski orang Jepang bilang "Oh, I'm sorry," sebelum men-chop ikan malang segar itu.


Sehabis makan, saya didaulat berfoto-foto. Lalu salah seorang editor meminta saya menuliskan kesan perjalan saya untuk korannya. Saya menyetujuinya. Sesampainya di Makassar, teman Jepang ini menagih lagi lewat imel. Saya ladeni permintaannya. Saya menulis menggunakan bahasa Inggris (yang pasti kacau balau), sebab tanpa disadari, inilah artikel pertama yang saya tulis dalam bahasa Inggris!


Artikel itu kemudian mereka terjemahkan dalam bahasa Jepang untuk dimuat, plus headshot saya yang mereka ambil diam-diam. Isinya mengenai suka-duka saya ditempatkan di Makassar yang harus meliput hot area alias daerah-daerah rawan konflik seperti Ambon, Papua, dan Poso. Saya tidak punya lagi kopian artikel dalam bahasa Inggris itu, mungkin masih nyangkut di komputer yang saya gunakan di Makassar.



Konon pula, koran itu memberi honor atas pemuatan tulisan itu, tetapi saya tidak pernah tahu karena Kompas tidak pernah memperkenankan kita menerima apapun dari pihak lain selain dari Kompas sendiri. Bagi saya, tulisan itu untuk mempererat tali silaturahmi saja, antara saya dan kawan-kawan Jepang saya. Tidak ada urusan bisnis, apalagi mendua dari Kompas. Setiap wartawan yang berkunjung ke Jepang, juga selalu diminta untuk membuat tulisan baik tentang perjalanan ke negeri sakura itu ataupun pengalaman meliput di tanah air, seperti yang saya tulisa kemudian.


Saya ternyata masih menyimpan koran asli Nipponishi Shimbun yang terselip di perpustakaan kecil pribadi saya di lantai dua. Saya ambil kamera dan memotret bagian foto diri saya, sementara tulisannya tidak bunyi sama sekali karena saya memang tidak bisa membaca hiragana, katakana, maupun kanji. Hanya foto itulah yang berbicara...

Thursday, June 14, 2007

Berbagi Pengalaman Menulis: (25)









Nia Sihasale Yang Sopan



SAYA bertemu Nia Sihasale Zulkarnaen 26 Mei 2007 di Hotel Santika, saat ada acara pelatihan MDG's. Dia datang bersama sang suami, Ari Sihasale. Pasangan yang keren abis, kata anak-anak gaul sekarang, so pasti juga serasi.



Nia kebetulan duduk di samping kanan saya. Di sebelah kanannya duduk Ari. Dulu saya kenal dia bernama Nia Dicky Zulkarnaen. Tetapi setelah menikah, saya membaca di kartu namanya, berubah menjadi Nia Sihasale Z.



Nia ternyata sangat sopan, jauh dari yang saya bayangkan. Mungkin karena saya terlalu terpaku pada layar kaca dimana Nia sering muncul. Atau karena pada film "Denias" yang dibintangi suaminya ia berperan sebagai kepala sekolah yang tegas dan tanpa kompromi. Di dunia nyata, Nia perempuan yang sopan dan senang diajak bicara.



Maka, Nia banyak bercerita mengenai "Denias", film yang bukan saja menurut Nia fenomenal, tetapi juga oleh banyak pengamat film. Beruntung, saya sudah menonton film yang diputar di banyak festival ini, sehingga saya bisa "nyambung" saat Nia bercerita mengenai cerita di balik layar film itu. Teman saya, Aris Jauhari, mengambil kamera saya saat saya asyik bicara dengan Nia. Sungguh, tanpa saya sadari, tahu-tahu di kamera sudah ada beberapa sekuel gambar saya dengan Nia (salah satunya foto di atas).



Bagi saya, Nia tetaplah "objek" berita, bukan hanya sekedar teman bercerita, meski hanya di ruangan MDG's itu. Saya punya cerita dari obrol-obrolan itu. Dia cerita kegiatan terakhirnya memuat film "Denias" di ketinggian Puncak, Jawa Barat, bersama anak-anak di sana. Saya tawarkan kepada editor Sosok, dan bisa diterima, meski pemuatannya agak lama karena menunggu giliran. Tulisan untuk "Nama & Peristiwa" itu juga saya lengkapi dengan hasil percakapan telepon dan SMS Nia.



Berikut tulisan tentang Nia yang dimuat Kompas hari Kamis (14/6) ini:



Nia Sihasale Didatangi GK



Nia Sihasale Z—setidak-tidaknya demikianlah nama yang tercantum di kartu namanya—kedatangan tamu istimewa, yakni Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita, yang biasa disingkat GK. Bukan ke rumahnya, tetapi ke Blitz Megaplex di lantai delapan Grand Indonesia, Jakarta, untuk menonton film Denias Senandung di Atas Awan. GK rupanya membawa anggota DPD lainnya plus sejumlah gubernur yang kebetulan sedang berada di Jakarta.



"Ini permintaan menonton Denias bersama yang sangat mendadak, tetapi saya senang," kata Nia, Selasa (5/6). Menurut putri pasangan aktor Dicky Zulkarnaen dan Mieke Wijaya ini, seluruh kursi yang berjumlah 144 terisi.



Nia membintangi film itu meski bukan pemeran utama, sedangkan sang suami, Ari Sihasale, menjadi produser film tentang perjuangan seorang anak Papua untuk bisa bersekolah tersebut. Nia memang selalu bersemangat tatkala bercerita tentang Denias, tokoh utama film yang diperankan Albert Faxdawer. Denias yang asli kini mendapat beasiswa di Australia.



Tentang Denias, kata Nia, film yang mengambil setting Papua ini masuk nominasi Festival Film Shanghai, China. Di Tanah Air Denias-Denias baru bakal lahir sebab Nia dan suami berencana membuat 13 serial Denias untuk televisi. Tokoh utamanya tidak lagi dipercayakan kepada Albert Faxdawer, tetapi kepada "Denias-Denias" lain dari berbagai daerah. "Hanya semangat Denias-nya saja yang kami ambil untuk serial televisi itu," ungkapnya.



GK, masih menurut Nia, mengemukakan perlunya film seperti Denias di zaman sekarang ini. Bukan sekadar menghibur, tetapi memiliki misi pendidikan, baik untuk anak-anak maupun keluarga, selain memperkenalkan keberagaman budaya Tanah Air. (PEP)

Monday, June 11, 2007

Citizen Journalism (4)



Tak Ada Istilah Bekas Guru




RUMHARDJONO adalah wartawan Harian Kompas, tetapi sekarang sudah purnatugas. Tadi siang saya bertemu dengannya. Saya salami orangtua itu. Ketika ada kesempatan, saya berbincang-bincang dengannya. Tidak jauh-jauh, tentang dunia kewartawanan.


Rumhardjono adalah guru saya di bidang ilmu kewartawanan, selain Luwi Iswara. Mengapa harus dua orang ini yang saya sebut, sebab dua orang inilah yang bertanggung jawab terhadap kaderisasi wartawan Kompas. Mereka berdua diberi tugas di pendidikan dan pelatihan.

Pak Rum, demikian Rumhardjono biasa dipanggil, adalah kepala diklat saat itu, saat saya digembleng selama kurang lebih satu tahun sebelum diterjunkan menjadi wartawan lapangan. Penampilannya masih sama seperti sepuluh tahun lalu. Kacamata persegi besar, rambut yang putih keperakan (lihat foto). Gaya berpakaian pun sama seperti dulu, saat masih aktif sebagai wartawan.

Pak Rum sangat menikmati masa pensiunnya, setidak-tidaknya demikianlah pengakuannya. Tidak ada lagi kegiatan yang berkaitan dengan tulis-menulis. "Membaca pun saya jarang," katanya.

"Bukankah kalau kebiasaan menulis dihilangkan, 'keterampilan' menulis itu akan hilang dengan sendirinya?" tanya saya. Pak Rum menjawab, "Bagaimana saya bisa menulis kalau tidak lagi pergi ke lapangan!"


Saya tercenung mendengar ucapannya. Belum lagi saya mencerna dalam-dalam ucapannya, ia sudah berkata, "Saya tahu you suka menulis catur. Tapi jangan harap tulisan you akan bagus, hidup, dan mendalam jika you tidak bergaul dengan orang-orang catur, dengan orang-orang Percasi, dengan para pecatur? Kalau tidak, yang you laporkan hanyalah hasil-hasil pertandingan saja, tidak lebih!"

Saya kaget bukan kepalang, seakan-akan ia tahu apa yang saya lakukan! Pak Rum yang biasa memanggil orang yang lebih junior dengan panggilan "you" itu melanjutkan. "You tentu tahu Irene (Kharisma Sukandar, pecatur). Dia punya karakteristik menang di awal turnamen, tetapi selalu kedodoran di tengah atau di akhir turnamen. Tugas you sebagai wartawan, beritahu pembaca mengapa Irene seperti itu. You harus tanya dia, tanya pelatihnya, dan analisis permainannya!"

Saya semakin khidmat mendengarnya. Pak Rum melanjutkan, "Setelah semua jawaban berhasil you temukan, tugas you adalah beritahu Irene bagaimana seharusnya dia bersikap, sekaligus beritahu juga pembaca you apa yang seharusnya Irene dan pelatihnya lakukan. Catur hanyalah contoh kecil saja, tetapi bisa menjadi menarik jika digarap dengan sungguh-sungguh. Ini berlaku buat segala jenis liputan."

Saya semakin menundukkan kepala mendengar guru yang satu ini berbicara. "You tahu," katanya lagi, "Yang saya ajarkan dulu di pendidikan bukanlah bagaimana caranya you meliput lalu menulis. Itu gampang, sehari saja bisa selesai. Yang saya ajarkan adalah pemahaman dan pengetahuan tertentu tentang sebuah peristiwa, mengapa peristiwa itu terjadi, bagaimana memahami latar belakang, dan apa konsekuensi dari sebuah peristiwa. Jadi jangan harap you punya cerita yang bagus kalau tidak turun ke lapangan dan bertanya kepada banyak orang. Yang saya ajarkan dulu adalah logika dan pemahaman!"

Pak Rum masih bercerita banyak dan masih memperlakukan saya sebagai muridnya. Sementara saya tidak pernah ragu memposisikan dirinya sebagai guru, bukan mantan guru. Bagi saya, tidak ada istilah mantan guru. Pak Rum bisa saja mengatakan saya adalah "bekas muridnya", terserah saja. Tetapi saya tidak akan pernah mengatakan Pak Rum adalah "bekas guru" saya. Tidak akan pernah!

Hari ini saya diingatkan lagi mengenai pentingnya wartawan turun ke lapangan. Bagi Pak Rum, bukan alasan jabatan struktural seperti editor menyebakan wartawan tidak turun ke lapangan. Saat menjadi wartawan bidang luar negeri, Pak Rum bercerita, "Saya kerap mendatangi pesta-pesta para duta besar hanya sekadar mendengar percakapan mereka. Saya juga harus berebut majalah dengan Daoed Joesoef, Direktur CSIS kala itu, hanya sekadar menyerap analisis berita dari luar negeri."

Hal terakhir yang ia katakan sebelum kami berpisah, Pak Rum berpesan agar saya tetap memelihara gaya kepenulisan saya yang katanya kental dengan gaya fiksinya. Ia tahu saya sering membaca novel dan berbagai jenis buku. "Gaya itu jangan sampai hilang, itu modal you," pungkasnya.

Terima kasih, Pak Rum. Semoga Bapak panjang usia...

Friday, June 01, 2007

Berbagi Pengalaman Menulis (24)



Ikke Nurjanah




SABTU pekan lalu, secara tak terduga saya bertemu pelantun lagu dangdut Ikke Nurjanah di Hotel Santika, Jakarta, dalam acara pelatihan untuk para pelatih jurnalistik yang diselenggarakan komunitas jurnalis televisi dan MDG's, Millenium Development Goal. Insting wartawan saya mulai mencuat, ada apa Ikke akrab dengan wartawan senior dan cawe-cawe dengan MDG's?


Otak saya bekerja. Ini berita! Setidak-tidaknya saya bisa bikin cerita ringkas tentang Ikke untuk rubrik Nama dan Peristiwa di Harian Kompas. Toh Ikke masuk orang ternama di negeri ini, bukan? Berbekal ingatan saya tentang Ikke yang serba sedikit, antara lain bahwa dia meroket setelah mendendangkan lagu Terlena, lantas petaka rumah tangganya bersama Aldi Bragi, saya memilih memasang "insting" untuk hal yang pertama, yakni soal lagu Terlena.


Tentu saja karena saya bukan pekerja infotainment yang konon dalam menjalankan pekerjaannya sering mengganggu privasi orang, khususnya artis papan atas dan orang-orang ternama lainnya alias prominent people. Cerita tentang Ikke harus saya sesuaikan dengan selera pembaca Kompas yang pasti menghindari unsur-unsur berbau gosip, sensual, dan urusan pribadi orang. Blessing in disguise, Yousrul, wartawan senior melempar kelakar "plesetan" yang menurut saya lucu dan aktual.


Kelakar itu saya tangkap dan saya jadikan tulisan tentang Ikke di bawah ini, plus pertanyaan singkat saya kepada Ikke. Saya juga meminta izin Ikke untuk diambil gambarnya. Tulisan dimuat Harian Kompas, Senin 28 Mei 2007. Berikut oret-oretan saya:


Ikke Nurjanah, "My Sister Ingat di Telingaku"


Ikke Nurjanah (33) "dikerjain" wartawan. Itu terjadi saat pelantun lagu dangdut ini muncul dalam pelatihan jurnalistik untuk para pelatih sebagai acara rutin program Tujuan Pembangunan Milenium (MDG’s) di Jakarta, Sabtu (26/5).



Ia terbengong-bengong saat didaulat harus ke daerah bersama wartawan untuk memberi pelatihan jurnalistik. "Wah, masak sih?" ucapnya dengan nada tak percaya.



Belum selesai rasa herannya, Ikke kembali mengernyitkan dahi saat seseorang bilang bahwa dia adalah satu-satunya penyanyi dangdut yang melantunkan lagu dangdut berlirik bahasa Inggris. Lagu apa ya?



Orang itu pun melanjutkan, "Itu, lagu yang berjudul My Sister!" Benarkah Ikke pernah menyanyikan lagu dangdut berjudul My Sister? Ketika orang tersebut melantunkan lagu itu, Ikke baru tertawa. "My Sister ingat, di telingaku...," senandungnya. Ini adalah pelesetan lagu Terlena, yang aslinya berbunyi: Masih teringat di telingaku....



Kembali pada soal program MDG’s yang bertujuan mulia, meniadakan kemiskinan dan keterbelakangan di Bumi Pertiwi ini, Ikke dengan serius berkata insya Allah dia bisa dan bersedia bila ada yang memintanya menjadi duta MDG’s. (PEP)