Friday, August 25, 2006

Citizen Journalism (2):


Tertidur Dibuai “Abah”

Malam itu, Rabu 23 Agustus 2006, ratusan penikmat musik dan senandung Iwan Abdulrachman, memenuhi ruang utama Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Penonton duduk di kursi dipan di bagian belakang, tetapi ada juga yang lesehan hampir mendekat “Abah” Iwan. Mereka yang tidak bisa masuk ke auditorium BBJ, terpaksa menikmati petikan gitar dan senandung merdu pria berusia 58 tahun ini dari layar kaca televisi.
Sunyi, gelak tawa, dan tepuk tangan adalah tiga unsur yang menyatu dari penonton beragam warna, saat Iwan mengakhiri setiap lagunya. Penonton yang hadir antara lain mantan menteri Siswono Yudohusodo, aktivis pecinta alam Wanadri dan Mapala, wartawan dan seniman seperti Ully Sigar Rusady.
Aku bersama anakku, Kakang, dan Alet yang kebutulan menemani Kakang di Jakarta, duduk lesehan paling depan. Hanya berjarak sekitar dua meter saja dari sang maestro gitar akustik dan penyenandung alam yang paling legenderis di tanah Parahyangan, bahkan mungkin di negeri ini. Di sebelah kanan duduk Ully Sigar Rusady, juga penyenandung nyanyian alam dari Garut. Setelah bercakap-cakap dengan Ully sejenak, aku berikan kartu nama sebagai sikap profesional.
Acara dibuka dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Semua hadirin berdiri dan bendera dikibarkan seniman Bandung, Aat. Setelah lama tidak menyanyikan lagu kebangsaan, hati mendesir juga, teringat Indonesia yang kian renta, tetapi di usianya ke-61 masih tetap setia sebagai tanah air, tanah tumpah keringat, dan bahkan tanah tumpah darah. Iwan tampil dengan jas hitam, yang tampak terlalu formal untuk aksesori nyanyian sebuah alam. Kelak baju jas ini dibuka untuk digantikan pakaian hutan warna coklat saat dia membawakan nyanyian yang biasa diperdengarkan di saat api unggun menyala di tengah hutan atau gunung.
Lagu pertama terkesan “main-main” karena seperti nyanyian anak-anak. Itu ia bawakan sambil sesekali bercerita tentang lagu itu. Kadang saat menikmati lagu, harus terpotong dengan ocehannya yang seperti tiada henti. Yang mendambakan keheningan dan kesyahduan sebuah pertunjukkan seni, pastilah menggerutu karena terganggu. Sejujurnya, akupun seperasaan. Tetapi apa boleh buat, ia yang di atas pentas punya daulat mutlak untuk membawa kita kemana saja. Toh kalau kita tidak bisa menikmati, bisa saja keluar ruangan pertunjukkan. Tapi itu tidak aku lakukan, tidak akan pernah, tidak juga yang lainnya.
Akan tetapi ketika Iwan mulai bersenandung sepenggal flamboyant penonton histeris, tetapi sejenak kemudian menggerutu saat Iwan tidak melanjutkan lagi lagu legendarisnya itu, malah cerita tentang pohon flamboyant yang menurutnya masih ada di Kota Bandung, masih flamboyant yang dulu. “Aduh, terusin dong, Bah!” pinta Ully.
“Saya akan membawakan sebuah lagu yang pasti belum Anda kenal, karena belum dirilis,” katanya kemudian. Denting gitar pun terdengar jernih, menjentik-jentik bagian terdalam dari hati para penonton, setidak-tidaknya aku… Kau tersenyum dan bunga pun bermekaran…Lagu tentang musim bunga… Burung-burung terbang bersama angin, dan bernyanyi dari balik awan…


Penonton terkesima, termasuk Kakang. Tetapi bagiku, lagu itu sudah tak asing lagi sebab sekitar tahun 1977-an sudah dirilis Bimbo. Di malam pertunjukkan ini juga, sungguh sangat mengherankan, Iwan tidak pernah sekalipun menyebut nama “Bimbo”! Padahal aku tahu persis, hampir sebagian besar lagu Bimbo saat pertama muncul kelompok musik balada itu adalah gubahan Iwan Abdulrachman. Hemmm… mesti ada sesuatunya antara Iwan dan Bimbo. Tetapi, apa peduliku, yang penting bisa menikmati senandung Iwan, sekarang.
Kakang tersihir dan kemudian tertidur saat “Melati dari Jayagiri” berkumandang. Lagu yang demikian menyatu dengan jiwa Iwan sendiri. Kakang sempat memberi aplause untuk kemudian tertidur, sampai akhir pertunjukkan. Anakku dibuai oleh keindahan irama denting gitar, yang barangkali mengusap-usap jiwa dan membuai sukmanya, mengantarkannya ke alam kelelapan tidur.

Iwan terus bernyanyi, penonton lebih banyak menarik nafas. Bagiku, lagu “Sejuta Kabut” adalah puncak dari senandung Iwan malam itu. Suaranya masih prima, melengking tetapi merdu, juga kadang menggema, menggetarkan jiwa. Sejuta kabut turun perlahan, merayapi jemari jalanan…Merapat, melolong, lalu menjauh… menggoreskan kesan curam di hati… Lalu kusibak tirai hatiku, kubuka lebar-lebar pintu jiwaku...


Pikiranku melayang pada saat aku duduk di bangku kelas 5 SD tahun 1976 lalu, teringat saat Iwan dengan kelompok Kalikausar menyenandungkan lagu itu di tengah kabut Puncak Bogor, dengan dentingan tremolo gitar akustiknya. Tetapi malam itu, tanpa teknik tremolo yang bergetar sepanjang lagu telah cukup menggetarkan siapa pun meski dengan petikan gitar apoyando yang kuat, berjiwa, yang setiap dentingnya seperti berkata-kata punya makna. Iwan semakin menekan jiwaku, juga penonton, dengan lagu yang ditunggu…Melati dari Jayagiri, kuterawang keindahan kenangan… Hari-hari lalu di mataku, tatapan yang sejuk dan penuh kasih… Kuingat di malam itu…


Kala kecil, aku sempat ingin mahir bermain gitar akustik seperti Iwan dan Bimbo. Kesempatan datang tahun 1977 ketika diajari Mang Usman, ayah Ayi, meski mengenali beberapa akor gitar seperti C-G-F atau D-A-G. Saat duduk di bangku SMA, 1981-1982, malah sempat ikut les gitar klasik di Yamaha Music Centre Tasikmalaya sampai tingkat II dari XII grade. Tetapi itupun bagiku sudah lumayan, yang penting bisa mengiringi beberapa lagu Bimbo dan tentunya Iwan Abdulrachman. Di Surabaya, Kakang malah sempat privat gitar klasik dari Arnold, tetapi berhenti saat ia pindah lagi ke Jakarta.
Pada akhir pertunjukkan, aku bangunkan Kakang dan meminta dia menyalami Iwan. Tetapi Kakang belum berani. Aku saja yang menyodorkan tangan untuk mengajak Iwan salaman, dan dia menyambutnya hangat … Sebagai wartawan, rasa malu harus kuenyahkan dari alam pikiranku saat berhadapan dengan siapapun, bersikap untuk tidak minder, meski di hadapan orang kaya atau penguasa sekalipun, termasuk Iwan yang mengguncang tanganku kencang. “Nuhun, nuhun…,” kata Iwan yang malah berterima kasih kepadaku.
Mungkin karena aku duduk terpaku selama kurang lebih dua jam, mengunyah rangkaian kata-kata indah, menikmati denting gitar akustik yang dominan klasik, atau mengungkap syukur karena malam itu menikmati penampilan Iwan. Sungguh malam yang sangat berkesan…

Pepih Nugraha
Palmerah, 24 Agustus 2006

Thursday, August 24, 2006

Berbagi Pengalaman Menulis (3)

Yang Penting Cerdik

BENAR kata teori jurnalistik, menjadi wartawan itu tidak harus pintar-pintar amat, tetapi cerdik sajalah. Saat tulisan kita ditolak satu desk, bukan berarti kiamat. Wartawan harus selalu berpikir bahwa tulisannya harus dibaca pembaca, bukan editor tertentu! Jangan sakit hati tulisan kita ditolak satu editor, masih banyak editor yang lainnya.

Tetapi dalam kasus tulisan di bawah yang dimuat Kompas, 23 Agustus 2006, saya bisa memaklumi penolakan desk olahraga karena dikirim saat ramai-ramainya Piala Dunia (sepak bola) Mei-Juni lalu. Jadi, saya sendiri yang mungkin "tidak tahu diri", mengirimkan tulisan tidak tepat waktu. Hemm, jadi menyalahkan diri sendiri.

Setelah diedit ulang dan mengingat isi tulisannya masih tetap current (mutakhir) alias tidak basi, yakni
tentang catur sebagai salah satu cabang baru di Asian Games Qatar Desember mendatang, maka editor lain melihatnya sebagai layak untuk dimuat di Kompas. Apalagi sebelumnya saya sudah menghubungi Utut Adianto, pecatur terbaik Indonesia lewat handphone.

Ingat, di koran besar seperti Kompas, bersaing mendaptakan kavling (space/tempat), bukan persoalan gampang, bahkan itu untuk wartawannya sendiri! Hanya tulisan yang benar-benar layaklah yang bisa tampil. Jadi ada proses kreatif, kompetitif, dan selektif. Ini juga dimaksudkan sebagai inspirasi bagi para penulis artikel: jangan putus asa hanya karena tulisan kita ditolak satu koran, masih banyak koran lainnya.

Sahabat bisa mengikuti tulisan itu seutuhnya di sini: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0608/23/or/2890951.htm, atau membacanya langsung...

Awas Akal-akalan Qatar!

Sebagai tuan rumah, ada saja akal-akalan untuk "mencuri" medali dari cabang olahraga yang dipertandingkan. Qatar sebagai tuan rumah Asian Games ke-15 Desember mendatang, cukup jeli menerapkan ilmu akal-akalannya ini.

Bayangkan, dari tiga nomor catur yang dipertandingkan, yakni catur standar, catur cepat, dan catur kilat, semuanya harus dimainkan secara beregu. Uniknya, komposisi regu terdiri dari dua pecatur putra plus satu pecatur putri.

"Komposisi anggota tim ini paling aneh di dunia dan belum pernah dipertandingkan sebelumnya di event mana pun," kata pecatur terkuat Indonesia, Utut Adianto, saat dihubungi Kompas beberapa waktu lalu. Utut diminta tanggapannya soal akal-akalan Qatar selaku tuan rumah.

Mengapa Qatar cukup percaya diri untuk mencuri medali di cabang catur? Bukankah negara kaya minyak itu baru "anak kemarin sore" di dunia catur? Bukankah Qatar tidak memiliki pecatur kuat yang malang melintang di turnamen elite dunia? Bagaimana ia merekayasa "pencurian" medali dari cabang catur?

Jawabannya adalah naturalisasi alias menarik seorang atau beberapa pecatur menjadi warga negara Qatar!

Di media massa setempat, isu naturalisasi bukan barang baru. Untuk cabang catur, Qatar siap menggaet pecatur kuat Armenia, Vladimir Akopian. Berdasarkan daftar terbaru FIDE April 2006, pecatur berusia 35 tahun itu berada di peringkat 16 dunia dengan Elo 2706, masuk kategori Grand Master Super. Namun, tentu saja tidak cukup Akopian seorang diri, mengingat ini pertandingan catur beregu.

Lalu, siapa pecatur putri Qatar yang akan dijadikan andalan? Bukankah negara itu tidak memiliki pecatur putri yang kuat? Jawabannya Zhu Chen, pecatur kuat China yang mantan juara dunia!

Zhu Chen kini berstatus sebagai istri Mohamad al-Modiahki, pecatur kuat Qatar yang biasa menjajal turnamen-turnamen dunia bergengsi. Boleh dibilang, Qatar hanya memiliki Al-Modiahki. Memang, dalam daftar peringkat FIDE terakhir pria Arab ini terlempar dari 100 besar dunia, tetapi pengalaman internasional dan prestasinya yang pernah meraih Grand Master Super sangat menjanjikan bagi skuad Qatar.

Percintaan yang berujung pernikahan terjadi saat pria kelahiran 1974 itu menyunting Zhu Chen. Zhu yang saat ini berperingkat 10 besar dunia dengan Elo 2483, otomatis menjadi warga negara Qatar. Sebagai pecatur kuat dan mantan juara dunia putri, Zhu diandalkan sebagai tambang skor.

Terjawab sudah, mengapa Qatar begitu percaya diri merebut medali di cabang yang baru pertama kalinya dipertandingkan dalam pesta olahraga kawasan Asia itu. Kita tahu, menarik masuk pecatur sekaliber Akopian menjadi warga negara Qatar bukanlah hal mudah. Namun, dengan gelontoran uang dan fasilitas nyaman yang bisa dinikmati seumur hidup, segalanya berjalan lancar, mulus berkat aliran fulus.

Peluang merebut medali dari tiga nomor catur pun jelas menjadi sangat terbuka, sebab setiap tim bisa bermain di tiga nomor itu.

Perjuangan masuknya catur sebagai salah satu dari 33 cabang yang dipertandingkan dalam Asian Games Qatar bermula 16 Februari 2002, saat Presiden Dewan Olimpiade Asia (OCA) Sheik Ahmad al-Fahad al Sabah, yang pasti orang Arab, berkirim surat kepada Presiden Organisasi Catur Internasional (FIDE) Kirsan Ilyumzhinov agar catur dapat dipertandingkan di pesta olahraga bangsa-bangsa Asia ini.

Alasannya, catur merupakan permainan yang sangat digemari di kawasan Asia, apalagi catur lahir di India. Tak ayal, Presiden Komite Asian Games pun meluluskan permintaan FIDE yang memang memiliki anggota ratusan negara dunia.
Peluang Indonesia

Negara yang gempita menyambut diputuskannya catur sebagai salah satu cabang olahraga di Asian Games ke-15 di Doha, Qatar, 1 hingga 15 Desember 2006 mendatang itu, adalah India. Negara ini memiliki sejumlah pecatur berkelas dunia, baik di bagian putra maupun putri.
Koran berpengaruh, seperti The Hindu maupun koran virtual Rediff, menyambut senang dimasukkannya catur sebagai salah satu cabang olahraga yang dipertandingkan. "Percasi"-nya India, All India Chess Federation (AICF), langsung menargetkan medali dari tiga nomor cabang catur.

"Benar-benar perkembangan yang mengesankan bagi India," kata PT Ummer Koya, Sekretaris AICF sekaligus Wakil Presiden FIDE, di harian The Hindu, 17 Maret 2002. "Ini penantian panjang bagi kami para pengurus (catur) dan para pecatur India. Kami (India) yakin akan meraih medali, dan yang lebih penting catur akan dikenal lebih luas lagi," sambungnya.
Ketiga nomor cabang catur yang dipertandingkan itu ialah catur standar dengan waktu berpikir 1,5 jam plus tambahan waktu 30 detik setiap melangkah, catur cepat 25 menit plus 10 detik per langkah, dan catur kilat lima menit plus lima detik per langkah.

India yang memiliki pecatur peringkat dua dunia, Viswanathan Anand (Elo 2803), Krisnan Sasikiran (peringkat 21, ELO 2692), dan Pendyala Harikrishna (peringkat 25, ELO 2680), dua pecatur harapan Surya Sekhar Ganguly dan Parijaman Negi, serta pemain putri peringkat dua dunia Koneru Humpy (ELO 2458), jelas sangat berpeluang meraih medali di tiga nomor yang dipertandingkan.

Ancaman terbesar akan datang dari skuad China dan sejumlah negara pecahan Uni Soviet, seperti Kazakhstan dan Tajikistan. Makanya, tim India langsung mengadakan pemusatan latihan dengan mendatangkan pelatih internasional, Evgeny Vladimirov, pelatih yang pernah satu kamp dengan mantan juara dunia catur asal Rusia, Garry Kasparov.

Meski pada kejuaraan Asia di Jodhpur skuad China keluar sebagai juara, tetapi India masih bertepuk sebelah tangan. Soalnya, di kejuaraan beregu itu Viswanathan Anand tidak hadir. Yang membanggakan, harian Rediff masih menganggap tim Filipina dan Indonesia sebagai ancaman, meski kedua negara itu absen dalam kejuaraan beregu Asia itu. Menurut Rediff, Filipina dan Indonesia bukan hanya ancaman bagi India, tetapi juga bagi negara Asia lainnya.

Indonesia, sebagaimana dikatakan Utut, akan coba merebut peluang dari catur kilat. Alasannya, dia dan Susanto Megaranto terbukti telah mampu mengimbangi pecatur mana pun di catur kilat. Namun, Utut mengakui, titik lemah ada pada pemain putri Irene Kharisma, meski tidak tertutup kemungkinan pecatur belia ini membuat kejutan. "Dalam catur kilat ada faktor refleks dan luck yang bisa menentukan," ungkapnya. (PEPIH NUGRAHA)
Palmerah, 25 Agustus 2006

Wednesday, August 16, 2006

Berbagi Pengalaman Menulis: (2)

Menghalau Mitos Lama

ILHAM untuk menulis artikel atau analisa bisa datang setelah kita mengamati, bercakap-cakap dengan teman, membaca, atau mengikuti perkembangan zaman bidang khusus, misalnya jurnalistik. Akan tetapi kesan mendalam tentang seseorang, ikatan batin dengan kota dimana kita tinggal atau singgahi, berikut dengan keunikan penduduknya, bisa juga menghasilkan ilham tulisan.


Ikatan batin saya dengan Kota Makassar yang begitu kuat, membuat saya mencermati dan harus selalu dekat dengan kota ini. Kehadiran koran maya "Panyingkul" dari netizen atau citizen journalism Makassar, termasuk perhatian saya yang kemudian saya tulis dan dimuat Kompas edisi, Rabu 16 Agustus 2006, halaman 48.


Ada beberapa penulis cerita pendek atau novel, atau bentuk fiksi lainnya, yang "terpaksa" mendaki gunung atau menyeberang lautan hanya untuk menyepi mencari ilham. Konon ilham menulis akan datang saat kita menyendiri, saat kita menyepi sambil menyeruput kopi. Tetapi mungkin itu berlaku dalam dunia menulis fiksi.


Menyepi dan menyendiri itu diyakini sebagai "cara lama" dalam menghadirkan ilham. Padahal untuk masa sekarang, itu tidak diperlukan lagi dan tidak banyak menolong. Sekarang ilham bisa didapat dengan cara membaca banyak buku berkualitas, berdiskusi dengan teman, menghadiri seminar dan kuliah umum, travel atau bepergian di alam terbuka, menonton film atau mendengar radio, bahkan sekadar window shopping.


Ilham bisa datang dengan sendirinya asalkan kepekaan kita menangkap suatu masalah terus terasah.
Penulis yang jempolan juga harus bisa menulis dalam berbagai medan, termasuk dalam keadaan ramai dan bising sekalipun. Jadi, sepi, hening dan harus menyendiri itu adalah mitos lama. Sekarang menulis bisa lebih enjoy, dan itu bisa kita lakukan di tengah keramaian, di cafe, di tengah gangguan anak kita yang lucu-lucu, atau "gangguan" pacar" yang terus merajuk dan gelendotan. Menulis, jalan terus...


Sahabat dapat mengikuti tulisan saya tentang "Panyingkul" di bawah ini. Datangnya ilham untuk tulisan ini bukan karena adanya "gangguan" pacar yang merajuk atau gelendotan, tetapi setelah saya bercakap-cakap dengan komunitas teman-teman Makassar di Warung Kopi Phoenam di Jalan Wahid Hasyim Jakarta. Kebetulan belum lama muncul "Panyingkul", situs bernuansa Makassar, yang menjadi topik hangat pembicaraan kala itu.


Bila penasaran, sahabat bisa mengikuti tulisan berdasarkan ilham tadi di: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0608/16/ilpeng/2886288.htm. Atau membacanya langsung...

Panyingkul: Di Simpang Jalan?
PEPIH NUGRAHA

Dalam bahasa Makassar, panyingkul berarti sebuah titik yang merupakan hasil persilangan dua jalan. Ia merupakan penanda sebuah persilangan atau perempatan dari empat arah mata angin.
Akan tetapi, dalam dunia maya, Panyingkul berarti sebuah pewarta warga (citizen journalism) yang sejatinya hadir sebagai pelepas dahaga warga Makassar, khususnya warga di perantauan, akan sebuah warta "tanai air" mereka.

Diluncurkan di Hotel Quality yang menghadap Pantai Losari, 1 Juli 2006, sampai 1,5 bulan usianya Panyingkul baru dikunjungi 389 netter, sebuah kunjungan yang boleh dibilang sepi untuk sebuah koran maya yang memproklamirkan diri sebagai citizen journalism. Bandingkan dengan blog pribadi yang bisa dikunjungi ratusan tamu setiap harinya. Apalagi bila dibandingkan blog milik foto model Indonesia yang pernah berpose tanpa busana di majalah Playboy edisi asli, yang dikunjungi ribuan tamu per harinya.

So, ada apa dengan Panyingkul? Tidak cukupkah peluncurannya sebagai penanda kelahirannya dilakukan di sebuah hotel yang cukup ternama di Kota Anging Mamiri? Mengapa hanya segelintir saja warga Makassar, atau mereka yang terikat batin dengan kota ini, yang mampir di Panyingkul? Apakah Panyingkul itu penanda sebuah persilangan atau justru ia sedang berada di persimpangan jalan itu sendiri?

Sejumlah wartawan Makassar saat berkumpul beberapa waktu lalu di Warung Kopi Phoenam Jakarta mengkritik, sajian berita Panyingkul terlalu kaku dan formal karena menggunakan bahasa tinggi jurnalisme sehingga tidak mencerminkan lagi berita itu ditulis oleh warga biasa. Padahal, salah satu kalimat yang keluar saat peluncuran dan juga yang selalu tertera dalam situsnya selalu dikatakan, "Mari merayakan jurnalisme orang biasa"!

"Terlalu bakunya bahasa jurnalistik yang dipergunakan membuat bahasa Panyingkul seperti layaknya bahasa jurnalistik umum yang ditulis wartawan profesional sebuah koran konvensional. Mungkin karena pendirinya ingin koran maya itu tampil perfect," kata Arsyad, wartawan Fajar, sebuah harian yang terbit di Makassar.

Yusran, wartawan Tribun Timur, harian yang juga terbit di Makassar, tidak lupa mengkritik tampilan Panyingkul yang sejak kelahirannya tidak pernah ada tambahan posting baru atau berita-berita baru yang dikirim para pewarta warganya. "Isinya itu-itu saja, tidak berubah, sehingga pengunjung tidak mendapatkan hal baru. Terlalu lama kami menunggu," katanya.

Harus diakui, informasi Panyingkul sejak awal kelahirannya masih berita yang itu-itu saja, tidak lebih dari tujuh cerita seputar Lapangan Karebosi, sebuah kawasan yang menjadi ikon Kota Makassar. Namun, harus diakui pula bahasa yang ditampilkan dengan gaya bercerita itu cukup memikat sehingga terkesan justru tidak ditulis oleh warga biasa.

"Kami mengadakan kelas online tentang jurnalistik, reportasi dan penulisan feature ber-genre narrative journalism, sebuah gaya penulisan yang sulit dikembangkan dengan baik media lokal yang penuh ’statement atau straight news’. Tentu kami ingin hadir tidak ingin menjadi pesaing media mainstream, tetapi justru ingin menjadi bagian dari ekosistem media," kata Lily Yulianti Farid, pendiri Panyingkul, dalam surat elektronik yang kami terima beberapa waktu lalu.

Sedangkan mengenai seretnya tambahan informasi di Panyingkul, Lily yang mantan wartawan sebuah media mainstream itu mengatakan, "Kami menyiasati akses internet yang masih terbatas dan rendahnya minat menulis masyarakat di Makassar. Kami memang menargetkan terbit bulanan di tahun pertama dengan mengedepankan featured-news style tentang Makassar."

Laporan dan tulisan untuk Panyingkul edisi perdana disiapkan oleh peserta "Pelatihan Jurnalisme Orang Biasa" angkatan pertama, yang dilakukan beberapa bulan sebelum peluncurannya. Mereka yang menjadi pewarta warga terdidik ini ialah Aan Mansyur, Nilam Indahsari, Nurhady Sirimorok, Mansyur Rahim, Irayani Queencyputri, dan Rahmat Hidayat. Sedangkan proses editorial dikerjakan oleh The Private Editors dan Dekat Rumah Project.

Salah satu tulisan Panyingkul berjudul Karebosi dan Cinta Seorang Pebasket yang ditulis Nurhady Sirimorok, misalnya, menampilkan profil mantan pebasket lokal. Mukhtar, pemuda berusia 31 tahun, kini tidak lagi menjadi tulang punggung tim basket Sulawesi Selatan, tetapi menjadi medical representative. "Tugas saya membawa brosur produk, menjelaskan keunggulan obat-obatan yang diproduksi perusahaan kami kepada para dokter dan klinik. Jadi, jangan bayangkan saya berkeliling menjajakan obat," kata Mukhtar, sebagaimana ditulis Nurhady.

Diceritakan pula, sudah dua tahun Mukhtar menjalani profesi barunya itu. Dengan mengendarai sepeda motor, ia mendatangi klinik dan para dokter di Kota Makassar. Sumber nafkah utamanya adalah dari profesinya ini, sementara waktu di luar kesibukannya bekerja mempromosikan obat dicurahkan untuk melatih bola basket dua kali seminggu di sebuah SMP swasta yang terletak tidak jauh dari Karebosi, serta ikut menjadi wasit dalam pertandingan.
"Pekerjaan yang pertama adalah demi uang, sementara pekerjaan kedua adalah demi panggilan hati dan kecintaan pada olahraga bola basket," demikian Panyingkul menulis.

Penyampaiannya menggunakan gaya bercerita yang memikat, lepas dari ikatan rumus lawas jurnalistik "5W+1H" dari Rudyard Kipling, yakni what, when, who, where, why, dan how. Bayangkan saja seorang warga yang bercerita tentang seseorang, yang tidak harus diinterupsi dengan pertanyaan. Tulisan ini mendapat tanggapan dari seorang pengunjung, Nesia Andriana, yang menilai tulisan ini bagus. "Karena mengangkat apa yang tidak dilirik media massa mainstream," komentarnya.

Panyingkul sendiri, sebagaimana tertulis dalam pengantar edisi pertamanya, bertekad ingin mendekati peristiwa yang juga didekati media mainstream, tetapi dengan sudut pandang orang biasa. Ia berada di tepi jalan ketika arak-arakan demonstrasi buruh lewat. Pada saat yang lain, ia berada di tengah-tengah buruh itu sendiri.

Ia, katanya, bisa tiba-tiba berada di rumah wali kota atau gubernur, kemudian juga hadir di kamar para pegawai rendah. Ia mengembangkan gairah bercerita, bukan sekadar melaporkan peristiwa. Ia, antara lain, membagi kesan mendalam tentang kemiskinan dan bukan sekadar mengabarkan berapa jumlah orang yang dikategorikan miskin di suatu tempat di suatu masa.

"Berangkat dari gairah bercerita inilah, kami tidak mengembangkan jurnalisme yang angkuh dan tentu tak pernah berangan-angan untuk menjadi bagian dari elitisme media mainstream. Jurnalisme kami adalah berbagi dengan segenap inisiatif dan gairah. Berbagi kabar, juga impresi, bahkan emosi yang menyertainya, seperti dalam kehidupan sehari-hari kala kita saling bertukar cerita," demikian tekad Panyingkul.

Pendirinya, Lily, kini bekerja sebagai spesialis bahasa untuk NHK dan tinggal di Tokyo. Ia kini menjadi salah satu warga biasa penyumbang tetap blog ternama di Korea Selatan, Ohmynews International yang didirikan Oh Yeong Ho. Lily bergabung sejak Oktober tahun 2005 dan kini sudah masuk satu dari 20 penulis pilihan yang memiliki kolom yang harus diisi minimal tiga kali sebulan.

Dalam kata pengantar Panyingkul yang disebut Kitakita itu juga disebutkan, semangat yang diusung koran tanpa kertas beralamat di www.panyingkul.com ini adalah menjadi bagian dari ekosistem media secara keseluruhan dan selalu berharap terjadinya dialog dinamis dengan melibatkan masyarakat biasa dalam proses lahirnya sebuah berita. Persoalannya, mengapa Panyingkul masih sepi dari pengunjung?

Rusman Madjulekka, mantan wartawan dan kini bekerja sebagai penerbit rumahan, mengusulkan, sebaiknya Panyingkul tidak usah terlalu diformalkan dengan gaya bahasa baku yang sudah pasti terkesan kaku.

"Biarkanlah warga biasa yang melaporkan berita mereka, bukan warga yang sudah dilatih secara khusus. Pelatihan akan menciptakan keseragaman, padahal yang kita inginkan adalah keberagaman. Kalau Panyingkul mengubah paradigma ini, saya mau kembali berkunjung ke Panyingkul dan bahkan dengan sukarela akan mengajak warga mengirimkan beritanya," papar Rusman.
Pepih Nugraha
Palmerah, 18 Agustus 2006

Monday, August 14, 2006

Citizen Journalism (1):


Turnamen Catur Anak-anak VBI

Dua hari berturut-turut, Sabtu sampai Minggu (12-13 Agustus 2006), di Pendopo Vila Bintaro Indah (VBI), berlangsung kejuaraan catur anak-anak se-RT 02. Tak dinyana dan tak diduga, yang mendaftar cukup banyak, 18 anak! Ini karena ada dua atau tiga anak dari RT lain yang ikut turnamen catur dengan uang pendaftaran Rp 5.000 itu (setara 50 sen dollar AS).

Kejuaraan menggunakan Sistem Swiss 5 babak dengan Ketua Panitia Pak Rosal dan Ketua RT, Pak Eko. Kejuaraan layaknya turnamen betulan karena menggunakan jam catur untuk masing-masing sembilan papan! Salut buat Pak Rosal yang menyediakan jam catur berikut papan caturnya sebanyak itu, plus dua jam catur yang ada di RT 02. Pak Rosal sangat jeli, teliti, dan sabar menghitung skor akhir, bahkan sampai menggunakan Sistem Solkoff kalau ada beberapa pecatur yang meraih angka sama. Persis turnamen sungguhan, sebab ada juga panggung kehormatan bagi pemimpin teratas!

Alhasil, selama dua hari itu, 18 anak saling berhadapan di atas sembilan papan catur plus jam catur mereka masing-masing. Waktu berpikir dibatasi 25 menit untuk masing-masing pemain. Tetapi kadang baru dua menit dan baru lima langkah pun sudah ada yang teriak, “Skak mat!”. Lucunya ada juga anak, Raki namanya, masih belum bisa bagaimana cara memukul lawan. Raki memukul bidak lawan dengan cara “nyerong” seperti dam-daman. Tetapi setelah diberi tahu, Raki menurut dan melanjutkan permainan!

Satu-satunya pemain puteri adalah Rani. Maka jelaslah dia menjadi bintang turnamen. Rani juga langsung menyabet predikat: pemain tercantik! Yang mengagumkan, Rani mampu menduduki empat besar. Mestinya peringkatnya akan lebih tinggi bila pada partai terakhir mampu memetik angka. Lawannya, Farhan, yang kemudian menjadi juara dua, menahannya remis, padahal Farhan kalah jauh kualitas dari Rani. Sayang, Rani yang berpenampilan “tomboy” itu tidak melihat jebakan remis yang memang sengaja dipasang Farhan.

Dalam turnamen ini adik Farhan, Fadli, keluar sebagai juara turnamen. Pak Rosal memang melatih ketiga putera-puteranya bermain catur menggunakan jam. Alhasil, sudah sangat terlatih. Farhan dan Fadli adalah dua dari tiga puteranya yang menduduki empat besar. Sedang si bungsu, menang dua partai terakhir atas lawan-lawannya dengan mat indah.
Rani bersama adiknya, Remo. adalah puteri dan putera dari Pak Djoni Irawan. Ingat nama ini? Dia adalah pemeran “Roy” yang berkepala plontos dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan, yang naksir berat sama Si Sarah (Cornelia Agatha). Pak Djoni sudah sejak lama menjadi tetangga kami, setua VBI berdiri. Dia sangat berjiwa sosial, senang bergaul, dan rendah hati, meski rumah-rumahnya mentereng dan kekayaannya melimpah (Alhamdulillah). Dia juga sangat religius karena merupakan donatur tetap bagi mesjid di luar kompleks. Saya pribadi merupakan musuh besarnya saat bermain catur, tetapi sahabat yang hangat saat berdiskusi dan bertutur.
Bukan bermaksud menyombongkan diri, gairah catur di VBI kembali muncul sekembalinya aku dari pengembaraan selama kurang lebih 4,5 tahun (Makassar dan Surabaya). Setibanya di VBI, aku mengajak “ummat” catur seperti Pak Djoni, Pak Naela, Pak Kadmita, Pak Dinan, Pak Eko (kurang aktif tetapi mahir catur) dan pendatang baru, Yudhi (adik Pak Haryono) dan Dian. Ada juga tetangga lain, Pak RW, yang kadang nimbrung, juga seorang polisi yang kadang mampir main catur saat patroli. Kami biasa menggunakan jam catur dengan waktu berpikir 5 menit atau 7 menit!
Harus diakui, Yudhi-lah yang kemudian mengajarkan Rani dan Remo, mungkin juga anak-anak lainnya bermain catur dengan menggunakan jam catur di pendopo. Baron, putera Pak Panggabean, dilatih oleh Pak Naela. Eki dilatih ayahnya, Pak Eko, seperti halnya Kesit yang dilatih ayahnya, Pak Kadimita. Kesit dalam turnamen ini bahkan dijuluki “pemain bersertifikat” karena konon dilatih khusus oleh ayahnya sebelum bertanding. Benar-benar dipersiapkan.
Sedang Kakang, anakku, kadang bermain catur dengan ayahnya, aku sendiri, tetapi tidak pernah ingin belajar sungguh-sungguh. Yang membanggakan, dalam lima partai, Kakang menang dua kali atas Dendy (putera Pak Uripto) dan Jedi (putra Pak Samsir), meski tiga partai kalah oleh “kakak-kakaknya”: Kesit, Willy, dan Raki . Kakang ternyata sangat serius dalam berpikir, meski dia belum cermat atas langkah teralhir lawan. Tetapi secara prinsip bagaimana bermain catur, Kakang sudah tahu.

Oh ya, sedikit cerita tentang Pak Samsir. Dia adalah satu-satunya warga VBI yang sudah bergelar Doktor yang diraihnya di salah satu universitas di Malaysia. Selamat, kami sebagai warga bangga atas gelar yang disandangnya, semoga menjadi inspirasi bagi anak-anak kami di VBI!
Turnamen catur dilanjutkan oleh bapak-bapak warga VBI, berlangsung dari Minggu sore sampai malam harinya. Pesertanya lumayan banyak, antara lain Pak Rosal, Pak Djoni, Pak Dinan, Pak Naela, Pak Eko, Pak Kadmita, Dian, Yudhi, Budhi, dan aku sendiri. Berlangsung menggunakan sistem round robin, dimana masing-masing pemain bertemu dua kali. Aku kalah telak 0-2 dari Pak Rosal, tetapi menang telak juga dengan 2-0 atas Pak Eko, Pak Kadmita, Pak Djoni, Yudhi, Dian. Aku belum bertanding dengan Pak Naela, Pak Dinan, dan Budhi. Menurut rencana, pertandingan akan berlanjut Sabtu atau Minggu pekan depan (19-20 Agustus). Saat berlatih dengan Pak Rosal, kami bisa saling mengalahkan.
Berita menggembirakan lainnya, Pak Rosal yang memang mahir catur (dialah yang terkuat di antara kami), bersedia mengajarkan anak-anak VBI bermain catur di pendopo. Dia kembali akan menyediakan jam dan papan catur yang banyak.
Berita menggembirakan lainnya, Kakang anakku, meminta diajari bagaimana bermain catur yang baik. Senin pagi, 14 Agustus, sebelum berangkat ke sekolah, dia membawa papan catur lipat dan menggelarnya untuk berlatih. Hem, mungkin dia geram atas tiga kekalahan dari “kakak-kakaknya” tetapi kurang puas atas dua kemenangan melawan “adik’adiknya”. Baguslah, Nak!
“Kakang sekarang mau belajar catur, Ayah,” katanya mencium tanganku sebelum berangkat sekolah.

Saat menjadi single parent seperti ini (bunda Kakang masih “nyangkut” di Surabaya), yang tersisa hanyalah rasa haru di dada saat memandang Kakang keluar mengenakan batik seragam sekolah SIT Auliya, untuk segera menuju mobil “ummi” yang sudah menunggunya di luar. Kakang anak yang tabah. Dua setengah tahun dia ditinggalkan ayahnya tugas ke Makassar, dan kini harus ditinggalkan bunda yang masih belum juga ditarik ke Jakarta. Sabar ya, Kang… anakku, matahariku….

Pepih Nugraha
Palmerah, 14 Agustus 2006.

Sunday, August 06, 2006

Catatan (6): Belajar dari Iwan Abdulrachman


Pecinta Alam Sejati

JUMAT (4/8/06) sehabis kerja, aku menyempatkan membawa Kakang, anakku, jalan-jalan ke Bintaro Plaza. Maklum, sehabis ditinggal bundanya yang masih “nyangkut” di Surabaya, ia sepertinya kehilangan “induk” yang biasa mendampinginya. Sudah sangat biasa aku meninggalkannya karena tuntutan tugas, tetapi tidak oleh bundanya. Aku tahu dia terpukul, tetapi tidak pernah terungkap dalam kata-katanya.

“Boleh Kakang minta dibelikan Pokemon untuk Games Boy, Ayah?”
“Insya Allah!”
Tidak sulit mencari apa yang diinginkannya. Barang itu memang sudah lama diincarnya dan selama ini selalu pinjam temannya. Tetapi Kakang tahu diri, setiap ada permintaan, dia bisa memaklumi soal “waktu”. Dia mengerti, baru kalau ayahnya punya uang dan waktu, keinginannya itu diungkapkan kembali. Ia juga membeli Bread Talk dan Hoka-hoka Bento kesukaannya.

Tetapi yang ingin kuceritakan di sini adalah sebuah kebetulan. Sebelum pulang, kami menyempatkan diri ke Disc Tara di lantai 2. Tak dinyana, aku menemukan satu cakram baru dari Iwan Abdulrachman. Kucari-cari kaset lamanya, tetap tidak kutemukan sampai kini. Berharap kaset baru, pasti lebih mustahil karena Iwan pernah “bersumpah” tidak mau rekaman lagi karena kecewa atas ulah “pembajak” (pirates), yang membuatnya ia tidak pernah kebagian royalti. Aku sampai menitip-nitip kepada adik ipar (Yanti), siapa tahu dia menemukan kasetnya, tetapi tetap nihil.

Siapa Iwan Abdulrachman? Tidak banyak orang yang tahu, kecuali orang-orang seangkatanku atau lebih. Orang mungkin lebih tahu “Melati dari Jayagiri” atau “Flamboyant”, dua lagu ciptaannya yang dilantunkan Bimbo. Sebagai Alumnus Universitas Padjadjaran, aku juga tidak akan pernah melupakan nama ini, sebab Iwan “Abah” Abdulrachman adalah sang penggubah “Hymne Universitas Padjadjaran”.

Iwan kini sudah berusia 58 tahun. Pria kelahiran Sumedang, Jawa Barat, ini memang sudah malang melintang dalam musik balada. Tahun 1976, saat aku sekolah di kelas 5 SD, video klipnya sering muncul di TVRI dengan latar belakang kabut di perkebunan teh Puncak, Bogor . Aku melihat video klip ini di rumah Agus Ridar, teman sekelas yang mengajakku ke Bandung saat berlibur. Tahu sendiri, orangtuaku baru mampu membeli televisi tahun 1978 atau dua tahun kemudian.

Lagu yang dibawakannya bersama Kelompok Kali Kautsar (tolong dibetulkan jika salah, sebab aku hanya mengandalkan daya ingatku atas peristiwa yang pernah terekam persis 30 tahun lalu) saat itu adalah “Sejuta Kabut” (tolong juga diralat kalau judulnya salah). Petikan gitar tremolo (bergetar) sangat mendominasi musiknya: Begini syairnya:

(1) Sejuta kabut turun semalam
merayapi jemari jalanan
merapat, melolong, lalu menjauh
menggoreskan kesan curam di hati
(2) Sejuta kabut turun semalam
mengetuk-etuk jendela kamarku
merapat, melolong, lalu menjauh
menggoreskan kesan nyeri di hati
(Reff) ‘Kan kusibak tirai hatiku
kubuka lebar-lebar pintu jiwaku
kuterjuni kabut yang di kakiku
berbekal matahari yang berjalan
yang membara…..
(
Kembali ke 2 dan Reff
)

Pada Jumat 21 April 2006 lalu sebenarnya Iwan manggung di Hall C Senayan. Tanggal itu sudah kutandai dengan spidol merah. Ehh, miss juga karena harus tugas ke daerah lain. Padahal, sejak 6 April 2006, sebenarnya aku sudah berada di Jakarta. Rabu tanggal 23 Agustus 2006 nanti, Iwan akan kembali manggung di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Tanggal di kalender mejaku sudah kutintamerahkan. Bahkan akau sudah mengajak Kakang untuk menonton konsernya. Kakang belum menyatakan kesiapannya, “Nanti Kakang lihat dulu, Ayah,” katanya.

Aku perlu mengajak Kakang menonton Iwan agar mampu sedari dini menghayati syair-syairnya yang kuat saat melukiskan alam, cinta, dan perasaan indah lainnya. Juga bagaimana kepasrahan dan pertanyaan kemana diri ini hendak melangkah selanjutnya, seharusnya diungkapkan, seperti tercermin dalam lagu “Detik Hidup”. Seingatku, lagu “Detik Hidup” pernah dibawakan Iin Parlina dari Bimbo, hanya saja suaranya terlalu “ngaheos” (mendesah).

Berikut syairnya yang juga ternukil dalam album Iwan Abdulrachman yang ia beri judul “Mentari” (karena lagu “Mentari” dalam dua versi [gitar akustik dan konser] juga ada di dalamnya). Begini syairnya:

Detik-detik berlalu dalam hidup ini
perlahan tapi pasti menuju mati
kerap datang rasa takut menyusup di hati
takut hidup ini terisi oleh sia-sia
pada hening dan sepi aku bertanya
dengan apa kuisi detikku ini
tuhan kemana kami setelah ini?
adakah Engkau dengar doa’ku ini?
amien, ya Robb al’ alamien…

Masih banyak lagu Iwan lainnya yang penuh makna dalam, yang tidak bisa diresapi sambil lalu. Di album ini ada lagu “1.000 Mil Lebih Sedepa” yang mengisahkan tentang percintaannya di tengah alam atau “Nyanyian Alam” tentang sepinya sebuah malam. Banyak lagi yang belum masuk album “Mentari” seperti lagu “Akar” (seingatku) yang mengisahkan kesendirian sebuah akar.

Kata Iwan, hidup itu harus seperti akar. Dia tidak tampak menonjolkan diri. Ia tersembunyi di dalam tanah. Tetapi ia kuat mencengkeram bumi, yang membuat batang, dahan, ranting dan daun tetap kokoh meski diterpa angin. Akar jugalah yang menyerap makanan, mengalirkannya ke seluruh batang, dahan, ranting dan daun. Bekerja dalam diam sunyi bagi yang lain, tanpa harus berkoar-koar
.
Tetapi sayang, ya Abah Iwan, sekarang tidak banyak lagi orang yang hidup seperti akar itu. Orang menolong orang karena pamrih. Atau orang menyumbang sesama yang terkena impitan hidup (bencana), selalu ingin dipampangkan di koran, diumumkan di radio, atau ditayangkan di televisi. Tetapi tidak seperti akar yang Abah Iwan bayangkan: tersembunyi, meski tetap berbuat banyak bagi yang lainnya!

Kelak kalau masih diberi usia, Rabu 23 Agustus 2006 mendatang, Insya Allah aku menonton konser tunggalnya (bersama Kakang kalau ia sudah memutuskannya pergi) dan akan kutulis kembali tentang konser itu di blog ini. Aku akan upayakan bertutur sapa dengannya, bercakap-cakap atau sekedar melontarkan kekagumanku saja, pada seorang pecinta alam sejati: Iwan Abdulrachman.

Pepih Nugraha
Jakarta, Minggu 6 Agustus 2006.

Thursday, August 03, 2006

Catatan (5): Jangan Matikan TV Anda!



Televisi




TELEVISI selalu menarik perhatian saya, sejak pertama orangtua saya memiliki sebuah televisi Sharp 17 Inci hitam-putih di tahun 1978, saat saya duduk di bangku kelas satu SMP. Ini gara-gara ibu tergugah oleh ulah adik, Dadang, yang tidak bisa lagi menonton program televisi di tetangga karena tetangga itu menutup gordennya rapat-rapat.


Sekarang perkembangan televisi dari segi program acara sudah sedemikian pesat. Sebagai orang komunikasi, karena saya lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (1985-1990), saya coba mengikuti perkembangan ini dan menuliskannya di Kompas, 12 Juni 2006. Artikel lain tentang televisi, seperti televisi internet, segera menyusul...


Current TV, Pemirsa Sekaligus Produser
Oleh: Pepih Nugraha


Pada awal tahun 1980-an, acara televisi America's Funniest Home Videos sangat digemari tidak saja oleh pemirsa Amerika Serikat, tetapi juga pemirsa global. Acara ini menampilkan gambar video kejadian unik dan lucu yang direkam warga biasa. Kemudian, hasil rekaman dikirim ke rumah produksi yang membikin acara tersebut.


Acara yang boleh dibilang lintas generasi ini menerabas sekat-sekat usia karena anak-anak, remaja, sampai manula tergila-gila menontonnya. Bukan itu saja, demam kamera genggam pun merebak di mana-mana. Warga ingin hasil karyanya dapat ditayangkan di America's Funniest Home Videos (AFHV). Terlebih lagi, mereka berharap dapat meraih hadiah utama gambar video terlucu yang nominalnya cukup besar saat itu.


Tidak ada yang menduga bila seperempat abad kemudian, mantan Wakil Presiden AS Al Gore, bekerja sama dengan pengusaha Joel Hyatt, meluncurkan televisi kabel interaktif pertama yang mereka namai Current TV. Kelahirannya boleh jadi terinspirasi AFHV.


Seperti AFHV, Current TV menayangkan gambar video yang dibuat oleh pemirsa atau pelanggannya. Bedanya kalau AFHV sekadar lucu-lucuan dengan tujuan menghibur pemirsa, Current TV benar-benar serius karena ia menampilkan gambar atau berita yang dibuat warga (citizen reporter). Pemirsa bertindak selaku reporter, editor, sekaligus produser.


Pada awal pemunculannya 1 Agustus 2005, Current TV sudah mencanangkan 30 persen air time-nya untuk gambar-gambar video yang disebut pod, yang dikirim warga. Dalam waktu dekat, karena antusiasme pemirsa, air time-nya segera bertambah menjadi 50 persen dan akan lebih besar lagi. Selebihnya acara diisi berita-berita nasional (AS) maupun internasional dan acara-acara khas yang dibuat rumah-rumah produksi.


Sebagaimana galibnya terhadap barang baru, kehadiran Current TV mulanya ditanggapi dingin para pemilik televisi kabel lainnya, yang karena kehadiran Current TV terpaksa harus disebut pemilik "televisi kabel konvensional". Bahkan sebagaimana dilaporkan majalah The Economist akhir April lalu, beberapa pemilik televisi kabel mencemoohnya.


"Apa yang tidak mereka mengerti adalah puluhan ribu orang di luar sana dapat membuat sesuatu (berita) yang besar dalam beberapa menit saja," kata Hyatt menanggapi cibiran itu. Pun saat Hyatt berkata demikian, para pemilik televisi kabel yang sudah ada belum sepenuhnya sadar apa yang bakal terjadi. Apa hebatnya sebuah tayangan (berita) yang dibuat oleh warga? Kira-kira begitulah pikir mereka.


Segeralah para pemilik televisi kabel sadar akan kata-kata Hyatt tadi setelah perlahan tapi pasti Current TV semakin menyedot dan digemari pemirsa kaum muda, yang memang lebih akrab dengan dunia digital. Kini Current TV hadir dengan lebih dari 20 juta pemirsa! Sebuah pencapaian yang spektakuler untuk televisi kabel di AS mengingat bisnis media jenis ini sudah cukup jenuh.


Duet Gore-Hyatt dengan demikian melakukan terobosan atas kejenuhan. Topi pun harus diangkat lebih tinggi lagi bila mengingat latar belakang Gore-Hyatt bukanlah pebisnis media, tetapi politisi!


Current TV yang mengudara sebagai Direct TV mengklaim diri sebagai TV satelit dan TV kabel independen baru, yang berbeda genre dari televisi kabel yang sudah ada. Pada menit-menit awal peluncurannya, Current TV masih menampilkan berita-berita internasional yang diambil dari jaringan televisi milik Kanada, CBC.


Akan tetapi, "jualan" Current TV yang penting adalah segmenpod, yakni gambar video pendek berdurasi lima detik sampai 15 detik mengenai cerita, berita, atau gagasan yang dibuat pemirsanya sendiri. Namun, situs resmi Current TV menyebutkan, durasi gambar bisa 30 detik sampai tujuh atau delapan menit. "Gambar video dibuat orang-orang independen, mungkin seperti Anda," jelas situs tersebut.


Gambar video yang dibuat pemirsanya Current TV menyebutnya sebagai VC2 (VC Squared) atau Viewer Created Content. Artinya, pemirsa yang membuat atau menciptakan isi (pesan). Dalam hal ini tentu saja gambar video yang dikirim pemirsanya. VC2 dibuat pemirsa independen menggunakan kamera digital (bahkan telepon seluler berkamera video) dan seperangkat komputer. Komputer ini harus terhubung dengan jaringan internet untuk meng-upload (memuat) gambar lewat blog yang dimiliki Current TV, yakni http://www.current.tv/.


Setiap minggu dipilih sepuluh VC2 terbaik dari ratusan VC2 yang ditayangkan. Masing-masing karya yang terpilih diberi honor bertingkat mulai 500 dollar AS, 750 dollar AS, hingga 1.000 dollar AS. Sekali tampil imbalannya 500 dollar AS. Bila ditayangkan untuk yang kedua kalinya, dapat imbalan lagi 500 dollar AS. Bila ditayangkan untuk yang ketiga kalinya atas permintaan associate producer honor dinaikkan menjadi 750 dollar AS. Dan bila bisa tampil untuk keempat kali dan seterusnya atas permintaan producer, maka 1.000 dollar AS berhak diterima si pengirim VC2. Jelas ini peluang kerja baru yang cukup merangsang kreativitas anak-anak muda!


Karya para pemirsa yang pernah ditayangkan sederhana. Misalnya, berita berjudul "We Remember" yang memperlihatkan seorang anak membawa poster bertuliskan "Never Again". Video bercerita tentang aksi damai warga Los Angeles memperingati genosida di Armenia yang terjadi beberapa tahun lalu. Aksi damai ini luput dari perhatian juru kamera televisi profesional, tetapi tidak dilupakan oleh warga yang menjadi citizen reporter, khususnya Anastasia yang mengirim VC2 karya Adrineh G ini pada 25 Mei lalu.


Gore-Hyatt mengklaim Current TV sebagai perusahaan media TV kabel dan TV satelit independen yang dibiayai oleh investor partikelir dan perorangan, khususnya kalangan anak-anak muda, sesuai pangsa pasar yang dibidik. Gore menyebut televisi kabel yang redaksinya berkantor di San Francisco dan studionya di Los Angeles serta kantor pemasarannya di New York itu sebagai saluran televisi kabel interaktif untuk "generasi internet".


Ikon yang dijual televisi kabel yang semula bernama IndTV ini adalah menggabungkan blog video dengan hasrat menonton reality televisi yang interaktif. Pangsa pemirsa yang mau digarap mereka adalah yang berusia 18 tahun sampai 35 tahun. "Pemirsa didorong tidak hanya menonton, tetapi juga membidik, mengedit, dan meng-upload gambar video yang mereka hasilkan melalui situs Current TV," kata Niall McKay, reporter untuk koran tanpa kertas Wired News, 6 April 2005.


"Kami meminta Anda mengirimkan video hasil karya Anda agar dapat ambil bagian dalam jaringan (televisi) yang baru ini," tantang Gore saat mengumumkan rencana pendirian televisi genre barunya itu. Selain program VC2 unggulannya, Current TV yang bermodal awal 70 juta dollar AS memanjakan pelanggan dengan acara-acara berkarakter anak muda seperti Current Playlist (musik), Current Parent (keluarga), Current Gig (karier), dan Current Soul (spiritual). Fashion dan games juga tidak lupa ditayangkan.


Kini Current TV telah melenturkan kekakuan acara televisi konvensional yang bersifat satu arah. Lambat tetapi pasti, ia telah mendapat tempat di hati masyarakat, setidak-tidaknya 20 juta pemirsanya. Siapa tidak mau hasil shooting kita (warga) ditayangkan televisi yang ditonton jutaan pemirsa, dikomentari secara interaktif, dan mendapat honor lagi! Kapan ada di Indonesia?

Catatan (4): Slide Foto Catur

Catatan (3): Jadi Teringat Mendiang


Obat Setengah Resep

KEMARIN, Rabu (2/8/06), pukul 19.00-20.30, saat menunggu obat diracik di Apotik Palmerah, seorang bapak, barangkalai seusiaku atau malah lebih muda, berusaha menawar si penjaga apotik agar resep obatnya bisa dibuatkan setengahnya saja. Dua jenis obat bisa dibuatkan setengah resep dengan harga Rp 40.000 (kalau penuh seharusnya Rp 80.000). Persoalannya untuk obat antibiotik, tidak bisa dibuatkan setengah resep.

“Obat antibiotik harus penuh untuk lima hari, tidak bisa setengah-setengah,” kata penjaga apotik.
“Jadi berapa yang harus saya bayar?” tanya si bapak.
“Tujuh puluh lima ribu rupiah ditambah empat puluh ribu rupiah. Bagaimana?”
“Jadi yang antibiotik itu tidak bisa setengah resep saja ya, Bu?”
“Tidak bisa, Pak.”

Percakapan ini mengingatkanku pada kebiasaan mendiang ibu (wafat 20 Oktober 1999 pukul 19.00 di RS Hasan Sadikin Bandung) kalau menebus obat dari apotik. Ibu, dan juga ayah, adalah pegawai negeri. Bagi keduanya yang berprofesi guru SD, harga obat pastilah terlalu mahal karena dengan gaji yang mereka terima, seharusnya aku, adikku, pergi berobat ke Puskesmas. Karena ingin anak-anaknya lekas sembuh, ibu selalu membawa kami ke dokter swasta dengan konsekuensi menebus obat dengan harga mahal. Cara mengatasi obat yang mahal itu, ibu selalu memesan setengah resep saja. Ini sah saja, meski tidak baik dari segi medis.

Aku membayangkan betapa obat dan berobat kini kian mahal dan mahal saja. Sehingga kupikir, orang miskin di negeri ini tidak boleh sakit. Kalau sakit, urusannya lebih sakit lagi: sakit hati (karena tidak bisa beli obat di apotik dan berobat di dokter bagus), juga sakit betulan karena sakit yang lama tidak tersembuhkan.

Mungkin aku masih beruntung, sebab perusahaan dimana aku bekerja, harian Kompas, cukup bagus dalam mengganti uang obat, berobat, dan pengobatan. Sekadar contoh, semahal apapun obat yang harus kubeli, untukku maupun keluarga, aku hanya dikenakan biaya 10 persen saja dari harga obat. Uang dokter juga diganti dengan plafon yang telah ditentukan. Tidak ada salahnya kalau aku berterima kasih pada perusahaan ini.

Hanya saja atas peristiwa bapak itu tadi, aku jadi teringat mendiang ibuku. Itu saja.
Pepih Nugraha
Palmerah Selatan, 2 Agustus 2006

Wednesday, August 02, 2006

Berbagi Penglaman Menulis (1)



Terus Menggali


KADANG di medan liputan yang beragam, kalau jeli kita dapat menemukan hal-hal menarik untuk digali, untuk kemudian ditulis. Salah satunya adalah kiprah Agus Suharto ini, yang saya temukan saat meliput tsunami Pangandaran 17 sampai 20 Juli 2006 kemarin.


Pertama kali bertemu Agus, justru tidak sengaja. Saat itu kami sehari setelah tsunami menerjang Pangandaran, kesulitan mencari tempat menginap. Hotel dan wisma tidak ada yang berani buka. Beruntung ada sejumlah warga yang merelakan rumahnya dijadikan tempat menginap, salah satunya rumah milik Agus ini.


Malamnya saya berbincang-bincang dengan Agus yang pemalu ini. Semua baru terungkap setelah Agus menunjukkan siapa dirinya, kegiatannya, dan upayanya memelihara kelestarian terumbu di tanah kelahirannya, Pangandaran. Dari sini, saya tertarik membuat ceritanya.


Saya mencoba menelusuri jejak terumbu buatan yang telah hancur diterjang tsunami dan kini hanya menjadi "bangkai" saja di pantai. Inilah kisah lengkapnya yang di muat Kompas, Rabu 26 Juli 2006, plus foto hasil rekan Amir Sodikin.


Terumbu Ban Bekas Agus Suharto


Oleh Pepih Nugraha


Beberapa saat setelah bencana tsunami menghantam pantai barat dan timur Pangandaran, 17 Juli 2006, yang kemudian terpikir oleh Agus Suharto adalah nasib "terumbu karang" buatannya yang ia tanam tujuh bulan sebelumnya.


Seusai memastikan seluruh anggota keluarganya selamat, Agus berjalan menyusuri pantai barat dan timur Pangandaran. Di pantai barat ia temukan tiga gugus terumbu buatannya yang sudah tercerabut, terdampar, dan teronggok di pantai, berbaur dengan puing-puing lainnya. "Di pantai timur saya temukan terumbu 'menclok' di atas batu-batu karang," kata Agus saat mengajak kami melihat terumbu karang buatannya, Rabu (19/7).


Terumbu karang yang ia maksud adalah rangkaian ban-ban mobil bekas yang dipertautkan satu sama lain menggunakan tali tambang plastik. Satu gugus terdiri atas 30 ban mobil bekas yang disusun hingga membentuk kerucut atau piramida. Pada alas kerucut, celah-celah ban bekas diberi semen sebagai pemberat.


Antara 5-12 Desember 2005, terumbu karang buatan berbentuk kerucut itu dilarung ke pantai barat dan timur Pangandaran, dibenamkan ke dasar laut di kedalaman lebih kurang 10 meter dari bibir pantai. Seluruh terumbu karang buatan yang dilarung berjumlah 40 gugus. Itu berarti Agus membenamkan 1.200 ban mobil bekas di pantai barat dan timur Pangandaran!


"Saat mulai menggagas dan memproses pembuatan terumbu buatan ini, banyak orang mengira saya sudah stres. Soalnya saya mengerjakan sendirian saja, paling dibantu Suherman, rekan yang sudah mengerti maksud saya," kenang Agus.


Proyek nyleneh yang membuat tetangga dan kenalannya mengernyitkan dahi itu bermula saat ia mengenang masa kecilnya. Pria kelahiran 6 Agustus 1966 ini memang anak Pangandaran tulen. Sebagai anak nelayan, ia sudah akrab dengan lingkungan laut. Cagar Alam Pananjung yang diapit pantai barat dan timur adalah tempat bermainnya sehari-hari. Menyelam tanpa alat atau menggunakan snorkle di Taman Laut adalah kegemarannya, di mana ia dapat berakrab-akrab dengan terumbu karang dan ikan-ikan di sekitarnya.


Jadi surga


Tahun 1970-an, Agus masih merasakan betapa Pangandaran merupakan surga dari berbagai jenis ikan. Itu berkat terumbu karang sebagai tempat bersemayam ikan, yang masih terpelihara khususnya di pantai timur. "Peribahasa orang sini, pokoknya asal mau basah (ke laut), kita pasti hidup," katanya.


Akan tetapi, saat tahun terus berganti, nyatalah bahwa terumbu karang di sekeliling Pantai Pangandaran itu bukan hanya rusak, tetapi bahkan ada di antaranya yang hilang tak berbekas. Terang saja, ikan menjadi sulit didapat. Nelayan pun terpaksa berlayar jauh meninggalkan bibir pantai untuk mencari ikan. "Ibaratnya bukan cukup berbasah-basah, sudah menyelam pun ikan sulit didapat," kata Agus lagi.


Kesadaran akan pentingnya memelihara terumbu karang sebagai tempat bermain-mainnya ikan menggerakkan suami Shad Aprilla ini menciptakan terumbu karang buatan. Dari pengalamannya menyelam, ia tahu bahwa bentuk terumbu karang itu berongga-rongga. Rongga-rongga itu adalah tempat yang baik bagi hidup ikan.


Saat menyelam, Agus menemukan wahana apa pun, khususnya yang berongga, bisa dijadikan tempat tumbuhnya karang baru. Membuat rongga buatan dari semen beton, itu ideal tetapi biaya pembuatannya pasti mahal. Menggunakan ban bekas, ini lebih masuk akal karena bisa terjangkau kocek.


Untuk membeli ban bekas, ia menagih janji kepada rekan sekelasnya saat bersekolah di Akademi Usaha Perikanan (AUP) yang kebetulan saat ini telah menjadi Ketua DPRD Ciamis, Jeje Wiradinata. Sebagai teman, Jeje berjanji akan memberi Agus uang Rp 1 juta kalau ia berhasil "menjadi orang". Saat Jeje telah "menjadi orang", yakni menjadi Ketua DPRD Ciamis, Agus pun menagih janji teman sekelasnya itu. "Saya katakan bahwa uang itu untuk membeli ban bekas. Eh, Pak Jeje ketawa, dikiranya saya beralih pekerjaan sebagai tukang tambal ban," kata Agus.


Setelah Agus mengutarakan maksudnya, sang wakil rakyat pun tergugah dan berjanji akan mengusulkan anggaran khusus bersama Bupati Ciamis Engkon Komara.


Singkat cerita, APBD pun keluar di mana Rp 45 juta di antaranya untuk perbaikan lingkungan di Pangandaran. Tetapi, ia bingung karena untuk mencairkan dana itu tidak boleh atas nama perorangan.


"Saya tidak punya LSM (lembaga swadaya masyarakat), juga bukan anggota LSM. Akhirnya saya membentuk Kelompok Masyarakat Peduli Pangandaran. Semula hanya saya dan Suherman yang menjadi anggotanya. Belakangan ada 20 anak muda yang menyatakan peduli terhadap lingkungan Pangandaran," urai Agus.


Bersama kelompoknya, ayah dari Otheon, Marvin, dan Egan ini mulai mengadakan gerakan menanam pohon pelindung, yakni pohon ketapang dan nyamplung, di pantai timur dan barat Pangandaran.


Agus boleh berbangga. Meski mengaku tidak berpretensi ingin menjadi pendekar lingkungan agar meraih penghargaan dan semacamnya, ia senang karena hanya lima gugus terumbu karang ban mobil bekas yang terbawa hanyut tsunami. Itu berarti, 35 gugus terumbu karang buatannya masih ada di dasar laut Pantai Pangandaran. "Saya sudah mengeceknya. Masih ada. Bahkan sekarang rongga-rongga ban bekas sudah ditempeli karang halus dan tumbuhan laut lainnya," katanya.

Catatan (2): Cinta Catur



Mengalahkan GM Ardiansyah


Terus terang, sampai menjelang kuliah tahun 1984, aku sama sekali tidak tertarik dengan permainan catur. Bagiku waktu itu, hanya orang-orang malas dan tidak punya pekerjaan saja yang main catur!


Adalah mendiang ibuku, Ny Enok Suhayah, yang “memperkenalkan” permainan ini, meski hanya sebatas kata-kata. Itu terjadi tahun 1976, saat aku sekolah di kelas 5 SD Ciawi I, Tasikmalaya, Jawa Barat.



Ibu dengan bangga memperkenalkan, katanya saudara-saudara sepupuku lainnya di Garut, semuanya jago-jago catur. Bahkan senior-seniornya yang sudah duduk di ITB, Unpad, maupun AMN, tidak ada yang tidak jago main catur. Tapi ibu tidak juga membelikanku papan catur, dan aku hanya bisa membayangkan salah satu bentuk bidak catur paling eksentrik: kuda.


Masih duduk di kelas enam SD, tahun 1977, ada seorang teman pindahan dari SD lainnya, namanya Mamat. Aku biasa memanggilnya ‘Gan Mamat karena dia anak mantan Camat, tapi masih terbilang saudaraku, karena salah satu anak mantan camat itu nikah dengan paman dari pihak ayahku. Mamat ini memperkenalkan sekaligus “menyombongkan” dirinya sebagai juara catur antar-SD di kecamatannya yang lama. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana hebatnya anak ini.


Tetapi tatkala ada waktu luang saat kenaikan kelas tiba (ke SMP), Mamat menjajal kemampuan caturnya dengan Dadan Hamdani, teman sekelasku juga. Di luar dugaan, Mamat dilumat 2-0! Aku kagum sama Dadan yang tidak pernah berkoar-koar, tetapi mampu menaklukkan juara catur kecamatan. Baru aku tahu belakangan, Dadan dan juga Asep Dedi, juga teman sekelasku, sering ber-sparring partner di kampungnya, Sukamantri. Bahkan Dadan pulalah yang mengajariku notasi catur aljabar, meski waktu itu kutangkap sebagai sekadar tahu saja.
Beberapa pekan sebelumnya, aku diperkenalkan main catur sama Mang Usman, ayah Ratih (Ayi), tetapi hanya sekadar mengenal langkah-langkah dasar bidak saja. Ketika mencoba dengan gagah-gagahan melawan Asep Dedi, jelas saja aku dilumat dalam partai pendek, entah berapa kosong.
SMP dan SMA lewat begitu saja tanpa catur. SMP lagi senang-senangnya belajar karena harus mengejar ketertinggalan. SMA lagi seneng-senangnya pacaran. Hemmm… gini-gini juga ternyata pacar-pacarnya manis-manis (sepengggal kenangan manis maupun pahit, yang suatu saat kutulis juga).
Waktu gagal kuliah di universitas negeri dan harus ngendon setahun di IKOPIN, tahun 1984, juga belum begitu tertarik catur kendati orang-orang seasrama seperti Dadang dan Iman, kerap bermain catur di ruang tamu, juga anak-anak kos main dengan Dede Uron yang punya asrama.


Momen itu terjadi pada 1985. Saat itu di Bola ada pelajaran catur dasar dari Lugito Hayadi. Dia merupakan juara nasional catur surat. Orang keturunan China, tetapi hebat dalam memberikan pelajaran. Sebelumnya, berbekal pelajaran notasi dari Dadan, aku sudah mulai mempraktikkan permainan ini di atas papan catur dari rubrik catur Kompas, yang juga ditulis Lugito Hayadi, Bola waktu itu menjadi suplemen Kompas. Papan catur, waktu itu malah adikku, Dadang, yang membeli.



Baru kemudian aku jatuh cinta abis sama catur dan mampu belajar secara cepat langkah-langkah, pertahanan, serangan, pembukaan berikut varian-variannya. Mungkin kalau saja mendiang ibu memperkanalkan catur sejak bayi, barangkali aku sudah dan masih tercatat sebagai juara dunia hahaha… Tapi sudahlah, tak perlu sesali masa lalu.
Waktu kuliah di Unpad, yang menjadi sparring partner adalah Erpan Faryadi, teman sekelasku yang orang Bangka Belitung. Mulanya aku selalu kalah, belakangangan aku yang selalu menang. Ada juga tetangga lain di kost-kost-an Bang… aku lupa namanya, dia dari Medan. Kami saling mengalahkan. Dia pernah berkomentar, “Wah, langkah-langkahmu di luar dugaan, Pep.”
Erpan orangnya sportif, kalau kalah dia akan kasih selamat. Tetapi dia juga lucu, kalau terserang atau kepepet, wajahnya berubah merah seperti kepiting rebus. Biasa, kami ditemani kopi panas dan tape singkong saat bertanding. Di radio FM biasanya berkumandang lagu “Hello”-nya Lionel Richie, “No More Lonely Night”-nya Sir Paul McCartney, atau “Percayalah Kasih”-nya Trio Iwan Fals-Vina Panduwinata-Yoky Suryoprayogo.



Waktu itu tahun 1986, saya ketemu seseorang yang kelak menjadi ikon catur Indonesia: Utut Adianto. Dia waktu itu sudah semester lima di FISIP Hubungan Internasional. Ketemu hanya berpasasan, dia pakai celana jeans putih plus T-shirt. Saya kenal dia dari foto-fotonya, waktu itu dia sudah juara nasional, tetapi belum bergelar Grandmaster. Nanti kuceritakan pertemuan berikutnya dengan Utut, setelah aku menulit tentangnya di Harian Kompas……
Baru kemudian aku tahu bahwa aku lumayan berbakat. Buktinya aku mampu mengalahkan GM Ardiansyah dalam sebuah pertandingan simultan yang hanya diikuti 38 karyawan Kelompok Kompas Gramedia (KKG). Itu terjadi pada 10 September 1994, saat saya sudah empat tahun bekerja di Kompas dan siap-siap mengikuti pendidikan wartawan selama satu tahun sepanjang tahun 1995.


Berikut jalannya partai GM Ardiansyah (putih) melawan Pepih Nugraha (hitam) dalam sebuah partai simultan: 1. d4 g6 2. c4 Gg7 3. Kc3 Kf6 4. Kf3 c6 5. e4 d6 6. Ge2 h6 7. 0-0 Kd7 8. h3 Kf8 9. e5 dxe5 10. Kxe5 Gd7 11. c5 Kd5 12. Kxd5 cxd5 13. Gf4 Ke6 14. Gg3 0-0 15. Gg4 f5 16. Gf3 f4 17. Gh2 Gxe5 18. dxe5 Gc6 19. Bc1 Kg5 20. Be1 e6 21. b4 a6 22. a4 Rg7 23. h4 Kxf3+ 24. Mxf3 Mxh4 25. Ba1 Bf5 26. g3 fxg3 27. Gxg3 Mxb4 28. Me3 Bf8 29. Bd1 Bf3 30. Mc1 Mg4 31. Bd2 Bf5 32. Ba3 d4 33. Md1 Kh3. Putih menyerah.


(Tidak ada obat mujarab untuk menghindarkan mat. Jika… 34. Bxf6, maka 34. … Gxf3! Putih hanya dapat menyelamatkan diri dari ancaman mat di h1 jika mengorbankan menterinya untuk ditukar dengan gajah).

Dari 38 pecatur lokal KKG, hanya sembilan orang yang mampu meraih kemenangan, salah satunya adalah kemenanganku dengan kemenangan tercepat. Makanya saat pemberian hadiah, aku dapat dua penghargaan: sebagai orang yang mampu mengalahkan GM Ardiansyah dan mampu mengalahkan paling cepat GM tersebut. Mengesankan.


Pepih Nugraha


Jakarta